Jantungmu berdesir saat anak usia belasan tahun itu menawarkan jasanya.  Kau merasa aneh. Kau bukan pedofilia. Istrimu sangat cantik beberapa tahun lalu. Wajahnya sering berseliweran di media sebagai bintang iklan. Tapi kau merasa aneh, merasa jatuh sayang kepada anak itu. Ada sosok yang kau kenang di tubuhnya yang gempal. Mata itu, permata yang tak kunjung kau lupa untuk mengasahnya. Rambut hitam legam itu. Kau ingat sering mengelus dan  menciuminya. Ah, apakah kau terbawa perasaan?
Kau ingat masa itu jauh dari hari ini. Hampir dua ribu kilometer dari tempat kau sekarang berdiri tegak. Dan bukan maumu berteduh di emperan toko itu. Kau baru saja mengurusi bisnis dengan seorang rekan. Kau sambilan membeli mangga manalagi pesanan istrimu. Tapi belum sampai ke pasar, hujan menghalang langkahmu. Berkejaran dengannya, siapa yang lebih dulu mencampai  emperan toko. Ternyata larimu lebih lambat dari kejaran hujan. Rambutmu kuyup. Sepatu sedikit basah. Anak itu mengangsurkan handuk kudel. Kau diam-diam mencium handuk itu. Kau pun menyerahkannya kembali. Daripada kau muntah, bagaimana?
"Semir, Om?" rayunya lagi. Sudah dua kali kau menolak. Dia kukuh, tetap merayu agar kau luluh. "Dari pagi belum ada yang menyemir sepatu. Pokoknya om kukasih diskon?" Dia nyengir kuda. Â Kau mulai tertarik. Pertama, karena seperti ada magnet di mata dan rambutnya. Kedua, kau tertarik dengan caranya berbisnis semir sepatu. Awal yang baik!
Akhirnya kau duduk di bangku plastik. Sepatumu telaten dia buka. Dia berceloteh tentang sepatumu yang bagus. Pasti mahal. Kulit sepatu itu berbahan kulit jeruk. Tahan lama. Boleh juga ilmunya tentang persepatuan. cocok dengan pekerjannya.
Dia memperlakukan sepatu itu seperti manusia. Â Dielus, digendong, bahkan dicium perlahan. Kau tertawa sambil menegor, sepatu kok diciumi. Kotorlah! Dia kata lantaran senang, karena yakin sepatuku mahal.
Entah kenapa kau iseng-iseng menanyakan namanya. Dia menyebutkan; Manto. Kau kata namanya cukup bagus. Lalu, tanpa kau tanya, dia mengatakan kampung asalnya nun di Sumatera. Medan tepatnya. Kau ingat masa kecil sering bermain sepada di Lapangan Merdeka. Atau kuat-kuatan jalan dengan temanmu dari Amplas ke Pasar Petisah. Tapi, baru saja di depan kampus UISU, kalian terkapar di  warung es. Tak pernah-pernah kalian menghabiskan tiga gelas es cendol. Hasilnya kantong kalian tongpes. Perjalanan diputuskan menumpang Sudako. Tapi uang tak mencukupi. Kalian berjalan kaki ke rumah masing-masing. Dan kau terkapar di lantai hingga tengah malam. Ayahmu memindahkan kamu ke atas kasur.
Kau juga teringat perempuan itu; Aminah. Dia anak penjaga kantin ketika kau masih SD. Meski dia putus sekolah, tapi otaknya cerdas. Kalian sering bermain dan belajar bersama. Buku-bukumu seringkali kau pinjamkan kepadanya. Satu lagi yang kau suka, masakan ibunya. Gurih bukan buatan. Nikmat sejagat. Kau belum pernah merasakan masakan dari tangan ibumu. Semua dikerjakan Bik Nah. Lagi-lagi Bik Nah. Ibumu terlalu sibuk dengan bisnisnya. Terutama ayahmu. Â
Hingga kau SMP, kalian tetap berteman dekat. Sepulang sekolah, kau selalu bernostalgia tentang kantin itu. Tentang teman-temanmu yang lucu. Bukankah kau sebenarnya mencoba berbohong? Kau terkadang merasakan tumbuh benih-benih cinta di hatimu. Ah, mungkin saja hanya cinta monyet. Kau tiba-tiba merasa bersoda menjadikan Aminah pacarmu. Kau terlalu sayang kepadanya. Lho, bukankah sayang itu sama  dengan cinta? Dan bukankah cinta itu artinya kalian akan berpacaran?  Menikah? Aduh, kau selalu mengetok-ngetok jidat ketika memikirkan permasalahan pelik pada otakmu yang beranjak remaja.
Yakinlah kau, bahwa hati Aminah ingin kau petik. Ketika itu kau duduk di bangku SMA. Kau mulai sering membawanya coklat ketika hari valentine. Kalian juga sering merayakan hari ulang tahun di restoran tempat kongkow anak muda. Teman-temanmu juga sering ikut meramaikan. Mereka setuju melihat kalian. Pasangan yang cocok. Seperti pelangi dan langit  yang saling melengkapi keindahan.
Setamat SMA, akhirnya hubungan kalian terbongkar. Padahal kau sudah sembunyikan rapat-rapat. Kau ingin mengatakan kepada kedua orangtuamu pada saatnya nanti. Ya, ketika kau sudah selesai kuliah dan mendapat pekerjaan. Aminah akan kau perkenalkan kepada mereka, sebagai calon mantu.
Awalnya kau menebak terbongkarnya hubunganmu dengan Aminah akan berakhir biasa saja, alias kalian direstui, tapi ternyata membuat berang mereka. Apakah kau ingin seperti abangmu yang menikah dengan anak penjual jamu? Lihatlah hasilnya. Â Mereka seperti orang kere kebanyakan, mengontrak rumah, dan sering kali mengemis kepada orangtua. Apakah kau ingin meneruskan tahta orang kere itu?