Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Mangga Manalagi

16 November 2019   11:35 Diperbarui: 16 November 2019   12:55 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak! Orangtuamu tak ingin anaknya jatuh  ke lobang yang sama. Dari anak penjual jamu berpindah ke anak penjaga kantin. Apa itu? Sama sekali tak ada peningkatan! Hasilnya, sebulan kemudian kau sangat terkejut ketika sepulang bermain sepak bola, melihat baju-bajumu sudah di dalam koper. Belum sempat bertanya kepada orangtua, ibumu tiba-tiba dengan santai menyerahkan tiket ke Jerman. Kau akan tinggal di rumah bibimu, dan sekolah di universitas favorit di negara itu.

Kau ingin membantah. Orangtuamu mengancam, apakah kau tetap dengan Aminah dan harus hengkang dari rumah, atau kalian berpisah dan kau akan hidup tenang. Saat itu kau bingung. Otak jebolan SMA belum dapat mencerna yang begituan. Kau, untuk pertamakalinya mengadukan kegundahan itu ke sebotol  Whisky. Kau mabuk berat. Kau menelepon Aminah, dan kalian menikmati suasana kota hingga pagi.

***

Manto menyadarkanmu. Kau tersentak telah bersepatu. Kapan-kapan dia menyelesaikan tugasnya? Melihat dia menadahkan tangan meminta bayaran, kau malahan mengajaknya ke sebuah rumah makan. Kau tiba-tiba lapar berat. Entah kenapa pula kau mengajaknya. 

Kau merasa terhipnotis ketika melihat cara makannya. Sangat rapi, meski dia cuma seorang tukang semir sepatu. Persis sekali Aminah.

Setengah memaksa, kau ingin ikut ke rumahnya Dia menolak karena tugasnya menyemir sepatu hingga pukul enam sore. Tapi ketika kau berjanji akan membayar waktunyanya sebesar lima ratus ribu, anak itu pun luluh.

Kau tak perlu mengendarai mobil ke sana. Manto dengan lincah melompati genangan sisa hujan , mengajakmu agar mengikutinya. Tentu saja sepatumu kembali kotor. Kau tak perduli. Kau bergegas mengikutinya seperti pemburu mengejar kijang. Meski bertubuh gempal, langkahnya sangat lihay. Seolah kakinya memiliki mata.

Lebih tiga lorong yang kalian masuki, akhirnya Manto berhenti di sebuah rumah kumuh. Sama kumuhnya dengan rumah tetangga. Anak-anak sedang bermain kelereng di antara genangan air. Kau juga melihat seorang perempuan bertubuh gempal sedang menjemur pakaian. Saat itulah kau sadar telah tertipu perasaan. Ibu Manto bukan Aminah. Betapa bodohnya dirimu.  Kau kehilangan uang lima ratus ribu hanya oleh syakwasangka.  Ah, tenanglah, Amar. Anggap saja itu untuk bekalmu di akhirat nanti.

"Dia ibumu?" Kau bertanya. Perempuan itu menoleh.

"Bukan! Aku uwaknya." Perempuan itu yang menjawab. "Kawan Manto, ya?" Kau tertawa dalam hati. Bagaimana mungkin orang setua kamu berkawan dengan anak ingusan.

Manto mengajakmu masuk ke rumahnya. Kau menunduk. Atap rumah terlalu rendah untuk tubuhmu yang jangkung. Kau pun dipersilahkan Manto duduk. Kau mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan sempit itu. Tiba-tiba matamu berhenti di sebuah foto seorang perempuan yang sangat kau kenal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun