Hujan begitu deras memaku bumi. Senja pertengahan Nopember berkabut. Seharusnya kau sedang menari di halaman itu. Menyenandung gemetar sampai bibirmu biru. Matamu takjub melihat jutaan---tentu tak dapat dapat kau hitung---permata luruh. Kau menjelma putri raja dengan kemilau cahaya. Sebelum akhirnya mamamu mengalahkan gelegar petir, menyuruh masuk ke dalam rumah. Menghadiahiku gerutuan.
Aku berlari ketakutan ke balik semak. Â Kau mengirimku kecupan lewat hujan. Mamamu ligat menjebloskanmu ke dalam rumah. Hahaha, masa kecil yang indah!
Saat ini kau mungkin setengah menggigil di sudut ruangan. Kupasangkan syal di lehermu. Mungkin kau benci. Tapi syal itu lumayan hangat.
Kau masih sama seperti dulu, penyuka hujan, meski sekarang hujan hanya bisa kau nikmati lewat jendela. Tempiasnya lekas menjangkau tubuhmu. Â Aku rasa kau bersin-bersin. Aku menghangatkanmu dengan inhaler.
"Espresso?" tanyaku. Kau sangat suka itu. Aku terseok pelan mendekati lemari.
Masih ada jejak barista di retak tanganku. Sayang sekali, tangan ini tak sanggup lagi menggiling kopi. Semua terbungkus rapi di lemari. Aku meramunya dengan hati-hati. Bubuk coklat kutaburkan di pucuk kopi yang berbusa.
Kau mungkin lagi-lagi bersin. Ini salahku. Terseok kututup jendela. Terseok lagi menghidangkan dua cangkir kopi di meja. Hmm, sedap sekali minum kopi di senja muram yang dingin ini. Aku jadi teringat masa sekitar lima puluh tiga tahun lalu.
Kau kala itu mengetuk pintu kafe pagi sekali. Aku belum bangun benar, refleks bangkit dari sofa. Membersihkan wajah seperlunya di wastafel. Membersihkan tahi mata yang mengeras dan bandel.
"Hai," katamu bergairah, saat aku membuka pintu kafe yang terbuat dari kaca. Rambutmu basah. Butiran hujan berhamburan dari rambut itu saat kau menggeleng-gelengkan kepala.
Aku sedikit protes, kenapa kau datang saat kafe baru akan buka sembilan jam lagi. Bukankah belum genap pukul tujuh pagi?
Katamu kau rindu espresso buatanku. Aku menggoda, rindu esprosso atau barista. Dua-duanya, kau jawab dengan tawa. Mencubit genit pinggangku. Memercikkan bau hujan di hidungku. Cepat kuralat ucapan yang bernada protes sebelumnya. Sebenarnya aku amat senang kau kunjungi sepagi itu. Malahan sampai siang, sampai malam. Atau selamanya.
Kita duduk di sudut kafe dengan lampu temaram. Menikmati secangkir kopi agar terlihat mesra. Juga dengan sepotong roti. Untuk urusan roti itu, kita bukan lantaran ingin terlihat mesra. Melainkan hanya tinggal sepotong roti yang kupunya. Meski sedikit, yah, rompal digigit tikus.
Kau geli mendengar kata "tikus". Kesal, kau menggelutku. Aku ralat ucapan itu. Maksudku tikus kepala hitam. Lelaki yang sedang kau tindih. Hampir saja kau mendaratkan ciuman di bibirku. Ciuman kepalan mungil yang tangkas kutangkis. Ringisanmu membuatku iba. Tapi tidak setelah kau akhirnya mendaratkan jarimu di bibirku
Kau bergegas merapikan rok. Kita sama-sama gugup berdiri. Seseorang mengetok pintu; loper koran pagi. Aku membuka pintu sedikit. Menerima koran yang dia angsurkan, lalu bergegas menutup pintu. Aku tak ingin dia tahu ada perempuan di kafe saat jam buka masih lama. Aku juga tak ingin seluruh kota kiamat, kalau saja mereka tahu perempuan yang kusimpan itu putri walikota. Mati aku!
Kita kemudian bercerita apa saja. Tentang sepatu hak tinggi yang baru tampil di etalase butih termahal di kota kita. Atau cita-citaku ingin memiliki tongkat termahal bertatah permata.
"Tapi kau akan kelihatan tua dengan tongkat," katamu saat itu.
"Tongkat itu akan kugunakan memukulmu. Ya, kalau saja kau nakal." Habislah bahuku kau pukul.
Hingga senja itu saat aku ingin membeli roti di jalan kampung, seorang lelaki membekap menyapaku. Mulutku dibekap dan aku terkulai. Begitu mataku terbuka, walikota itu sudah seperti ingin mengerkah kepalaku. Dia ayahmu. Sebuah bogem dia hantamkan di pipiku. Dua gigi seriku tanggal. Bibirku berdarah.
Dia menyuruhku lebih banyak berpikir. Oh, ya, mungkin aku lamban berpikir, karena terlalu banyak dicekoki kafein. Sungguh, aku ingin menghajarnya. Tapi aku ingat kau. Apalagi saat dia mengatakan kita tak setaraf, aku semakin ingat kau yang tak pernah membandingkan strata. Andainya kau ada di dekatku kala itu, tentu kau bisa membelaku dengan kata "cinta". Sekarang hanya aku seorang yang mengungkapkannya.
"Cinta? Hah, non sense." Ayahmu semakin marah. Dia sesaat terdiam ketika seorang lelaki masuk membawa sebuah tas koper. Perlahan ayahmu membuka  tas koper, lalu mempertontonkan isinya. Sejumlah uang yang membuat mataku biru. Dia mengejekku. Otak orang miskin sama saja. Cintanya juga bisa tergadai karena uang.
Dia mengatakan, kalau aku mau minggat dari kota kita, uang itu akan berpindahtangan. Aku aman, dan kau lebih aman lagi. Dia akan mengatur sesosok jasad tiba-tiba ditemukan di pinggir kota. Wajahnya remuk karena dihajar orang, sehingga sangat sulit dikenali. Hanya kartu jati dirinya yang memberi tahu bahwa itu adalah aku. Sementara jasadku sebenarnya sudah pergi sangat jauh, mencari penghidupan sejauh ribuan kilometer. Kita tak akan pernah bertemu. Tak akan pernah bertemu. Kecuali aku tak sayang pada nyawaku.
"Tidak! Itu pekerjaan rendahan, Tuan. Aku bukan orang rendahan!." Tiba-tiba beberapa lelaki menghajar tubuhku. Pandanganku nanar. Mereka membuangku ke sungai.
Saat itulah kau datang dengan histeris. Ayahmu yang berada di dalam mobil mewah, mencoba mengejar. Tapi seiring tubuhku meluncur ke sungai, kau juga ikut terbang seperti merpati. Saat itulah aku tidak ingat apa-apa lagi.
Kau tahu, ketika aku tersadar, mungkin beberapa hari kemudian, aku telah berada di sebuah rumah kecil. Seorang lelaki mengobati lukaku. Â Katanya, dia menemukan tubuhku yang penuh luka, terdampar di pinggir sungai.
"Tanggal berapa ini?" tanyaku terbata. Dia menyebutkan sebaris angka. Kepalaku tiba-tiba pening.
Saat aku terbangun, seorang ibu langsung memberiku segelas susu. Lelaki itu---mungkin suaminya---entah kenapa menjerit. Tapi dia kemudian berkata kepada istrinya, berita koran yang dia baca, mengatakan putri walikota terjatuh ke sungai.
"Masih hidupkah?" selaku. Aku berusaha duduk. Tapi aku tak bisa. Luka di pinggangku amat perih.
"Ya, katanya sekitar sejam. Sempat dilarikan ke rumah sakit. Tapi tak lama kemudian, dia tinggal nama."
Aku mendadak pingsan. Terdengar suara histeris si ibu dan lelaki itu.
***
Hujan semakin membesar. Malam semakin buta. Aku rapatkan semua pintu dan jendela. Satu demi satu  kunyalakan lampu. Kemudian mendekatimu yang mungkin kedinginan.
"Sudah mulai malam. Kau istirahat, ya!" ucapku sambil menggendongmu
Kau kumasukkan ke lemari. Mengecup pipimu pelan. Kau terlihat cantik, apalagi sedang terpejam. "Selamat tidur, Manekin Sayang!" Aku juga lelah dan ingin istirahat.
Sebelum masuk ke kamar, aku menghabiskan dua cangkir kopi di meja itu. Aku yakin mataku tetap terang hingga tengah malam. Aku menutup pintu rapat-rapat. Sebelumnya kukirim ciuman lewat lembab udara malam.
Sapta, 151119
----sekian---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H