Kita duduk di sudut kafe dengan lampu temaram. Menikmati secangkir kopi agar terlihat mesra. Juga dengan sepotong roti. Untuk urusan roti itu, kita bukan lantaran ingin terlihat mesra. Melainkan hanya tinggal sepotong roti yang kupunya. Meski sedikit, yah, rompal digigit tikus.
Kau geli mendengar kata "tikus". Kesal, kau menggelutku. Aku ralat ucapan itu. Maksudku tikus kepala hitam. Lelaki yang sedang kau tindih. Hampir saja kau mendaratkan ciuman di bibirku. Ciuman kepalan mungil yang tangkas kutangkis. Ringisanmu membuatku iba. Tapi tidak setelah kau akhirnya mendaratkan jarimu di bibirku
Kau bergegas merapikan rok. Kita sama-sama gugup berdiri. Seseorang mengetok pintu; loper koran pagi. Aku membuka pintu sedikit. Menerima koran yang dia angsurkan, lalu bergegas menutup pintu. Aku tak ingin dia tahu ada perempuan di kafe saat jam buka masih lama. Aku juga tak ingin seluruh kota kiamat, kalau saja mereka tahu perempuan yang kusimpan itu putri walikota. Mati aku!
Kita kemudian bercerita apa saja. Tentang sepatu hak tinggi yang baru tampil di etalase butih termahal di kota kita. Atau cita-citaku ingin memiliki tongkat termahal bertatah permata.
"Tapi kau akan kelihatan tua dengan tongkat," katamu saat itu.
"Tongkat itu akan kugunakan memukulmu. Ya, kalau saja kau nakal." Habislah bahuku kau pukul.
Hingga senja itu saat aku ingin membeli roti di jalan kampung, seorang lelaki membekap menyapaku. Mulutku dibekap dan aku terkulai. Begitu mataku terbuka, walikota itu sudah seperti ingin mengerkah kepalaku. Dia ayahmu. Sebuah bogem dia hantamkan di pipiku. Dua gigi seriku tanggal. Bibirku berdarah.
Dia menyuruhku lebih banyak berpikir. Oh, ya, mungkin aku lamban berpikir, karena terlalu banyak dicekoki kafein. Sungguh, aku ingin menghajarnya. Tapi aku ingat kau. Apalagi saat dia mengatakan kita tak setaraf, aku semakin ingat kau yang tak pernah membandingkan strata. Andainya kau ada di dekatku kala itu, tentu kau bisa membelaku dengan kata "cinta". Sekarang hanya aku seorang yang mengungkapkannya.
"Cinta? Hah, non sense." Ayahmu semakin marah. Dia sesaat terdiam ketika seorang lelaki masuk membawa sebuah tas koper. Perlahan ayahmu membuka  tas koper, lalu mempertontonkan isinya. Sejumlah uang yang membuat mataku biru. Dia mengejekku. Otak orang miskin sama saja. Cintanya juga bisa tergadai karena uang.
Dia mengatakan, kalau aku mau minggat dari kota kita, uang itu akan berpindahtangan. Aku aman, dan kau lebih aman lagi. Dia akan mengatur sesosok jasad tiba-tiba ditemukan di pinggir kota. Wajahnya remuk karena dihajar orang, sehingga sangat sulit dikenali. Hanya kartu jati dirinya yang memberi tahu bahwa itu adalah aku. Sementara jasadku sebenarnya sudah pergi sangat jauh, mencari penghidupan sejauh ribuan kilometer. Kita tak akan pernah bertemu. Tak akan pernah bertemu. Kecuali aku tak sayang pada nyawaku.
"Tidak! Itu pekerjaan rendahan, Tuan. Aku bukan orang rendahan!." Tiba-tiba beberapa lelaki menghajar tubuhku. Pandanganku nanar. Mereka membuangku ke sungai.