Ayah memang beda. Tubuhnya tinggi besar dan berotot. Kulitnya coklat gelap. Pagi-pagi dia berangkat ke hutan. Dia penyadap aren yang tangguh, dan berkulit badak. Terkadang ketika malam tiba, Ayah memintaku memijit bahunya. Aku merasa sedang mengurut besi. Terbit pun keringatku sebesar jagung, dia masih mengatakan tetap tak terasa.
Setiap Sabtu, Ayah berjualan aren di pasar kalangan. Dari situlah penghidupan kami sekeluarga. Juga ditopang kebun karet---diselang-selingi kacang--- di belakang rumah.
Ayah memang beda. Tak jarang dia menjelma perempuan cantik. Pagi sekali dia sudah hilir-mudik di dapur. Macam-macam yang dia masak. Rasanya pastilah enak. Pantangan baginya jika aku dan adik kelaparan. Terlebih aku perlu nutrisi, agar mudah menangkap pelajaran di sekolah. Meskipun aku perempuan, Ayah ingin aku menjadi orang sukses.
Ayah yang mengurus seluruh pekerjaan rumah setelah ditinggal mati Ibu. Mulai dari urusan mencuci, memandikan adik, hingga menisik pakaian anaknya yang koyak. Belum lagi membereskan atap yang bocor. Kecuali menyapu rumah, dia serahkan kepadaku. Dia tak ingin sekolahku terganggu bila terlalu banyak mengurusi pekerjaan rumah. Â Urusan tetek-bengek, biarlah dia yang urus.
Di situlah mengapa aku seringkali sedih. Ayah jadi jarang bergaul ke tetangga. Dia tak pernah bertandang ke warung kopi. Sementara ayah orang lain, bertahan di sana sepulang berladang hingga tengah malam. Hanya shalat dan makan yang membuat mereka jeda.
Maka itu aku pernah mengusulkan agar dia mencari ibu baru seperti ayah si Saf. Istri ayah si Saf saja baru meninggal dua bulan. Sekarang dia sudah menikah lagi dengan perempuan yang sangat muda. Sedangkan ibuku sudah meninggal tiga tahun lampau. Tapi Ayah seakan fobia istri baru. Dia tetap bertahan menjadi orangtua tunggal. Baginya untuk apa dia menikah lagi, jika hanya akan menyengsarakan kami? Benar, ibu baru akan menyayangi Ayah. Bagaimana dengan kami anak-anaknya?
Hingga usiaku tujuh belas tahun, Ayah bertahan seorangan. Tubuhnya yang dulu gagah, perlahan layu. Perlahan pula ditinggalkannya usaha gula aren. Dia hanya fokus bertanam-tanaman di kebun belakang rumah. Akan hal karet, telah lama dipapasnya habis karena sudah terlalu tua.
Saking kasihan kepada Ayah, berkali-kali aku membawa foto perempuan ke rumah. Kata Ayah, mereka semua dia kenal. Dia tak ingin menikah lagi. Terakhir kali aku membawa foto perempuan dari kota. Ayah belum kenal dia. Ayah tertegun karena perempuan di dalam foto itu cukup menarik. Aku yakin Ayah goyah. Tapi lagi-lagi aku harus siap mengelus dada. Perempuan itu mirip boneka. Ayah tak suka.
Selain karena bosan merayu Ayah, pun aku harus melanjutkan kuliah ke kota, aku tak lagi berhasrat membincangkan calon istri untuknya. Tugas merayu kuserahkan kepada adik. Aku kemudian fokus mengurusi kuliah. Juga sambil kerja menjadi pembantu rumah tangga. Agak memalukan. Tapi merawat malu sama saja aku akan kehilangan waktu yang bisa dijadikan uang.
Sesekali aku menelepon adik. Hasil yang kudapat cukup mengecewakan. Terkadang  Ayah ogah makan karena kesal dirayu terus oleh adik. Sekali waktu dia puasa bicara. Aku menjadi ngeri jika Ayah nekad. Bisa saja sepulang dari sekolah, adik mendapati kaki Ayah mengapung di ambang pintu. Lehernya berada di buhul tali, dengan lidah  terjulur. Akankah Ayah senekad itu hanya untuk urusan perempuan? Sepertinya tak mungkin. Aku kelewat parno. Tapi bagaimana jika ketakutanku berakhir nyata? Tak ingin menyesal di kemudian di hari, aku bersepakat dengan adik, berhenti menyinggung masalah ibu baru dengan Ayah, sampai kapan pun. Tentu agar Ayah tak risau.
***