Saya harus berlari ketika mendengar anak sulung saya menangis. Dia memegangi kakinya yang memar. Ketika saya sudah di dekatnya, dia langsung menunjuk anak perempuan berambut bob yang ketakutan. Matanya mengerjap-ngerjap seperti akan menangis. Saya yakin anak perempuan itu yang mencelakai putri saya. Hanya saja saya hanya bisa mematung. Saya seolah melihat Siska junior yang bersedih ketika akan berangkat ke Kota Bandung. Dia pun menangis. Â Maksud saya Siska. Oh, anak perempuan itu menangis juga.
Seorang perempuan segera berlari dan merangkulnya. Aku  terpana. Puluhan tahun terlewat alangkah dia tetap memesona. Saya mengerjapkan mata. Tapi saya tidak sedang bermimpi.
Anak saya sudah berhenti menangis. Dia memegang erat kaki saya.
"Siska!" Hati saya luluh. Seorang lelaki gagah mendekatinya.
"Ada apa, Ma?" Dia bertanya.
"Biasa, anak-anak!" jawabnya salah tingkah.
Lelaki itu menatap saya sendu. "Maafkan putri saya, ya. Dia memang suka nakal. Mari, Mas." Dia membawa Siska pergi. Sementara saya hanya bisa  terpaku. Lumayan lama. Sampai akhirnya sebuah sentuhan lembut menggamit lengan saya. Apakah Siska kembali untuk mengatakan dia rindu? Ah, saya salah. Seorang perempuan bernama Safitri berdiri di sebelah saya.
"Ada apa, Mas?" tanya istri saya.
"Ah, biasa, anak-anak," jawab saya sambil menggendong si bungsu.
"Apakah semua baik-baik saja?"
"Ya, pasti," jawab saya mantap. Tapi saya tak yakin apakah hati saya sedang baik-baik saja. Saya melihat dari jauh Siska, suaminya, dan anak perempuan itu naik ke dalam perahu bebek-bebekan. Saya membayangkan orang yang memegangi tangan Siska itu adalah saya. Saya membayangkan orang yang membiarkan dada bidangnya menjadi tumpuan kepala Siska adalah saya.