Di antara debur ombak yang menenangkan, terselip bisikan ancaman dari Laut China Selatan. Hamparan biru yang luas itu tak hanya menyimpan keindahan terumbu karang dan kekayaan biota laut, tapi juga menyimpan bisikan ancaman. Ancaman yang tersirat dari sengketa wilayah maritim yang membelenggu negara-negara seperti Taiwan dan Kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, termasuk Indonesia.
Kita, anak muda Indonesia, yang mewarisi lautan ini, harus jeli menangkap pesan yang dibawa oleh suara ombak tersebut. Jangan sampai kita terlena oleh debur ombak yang menenangkan, lalu lalai terhadap bahaya yang bersembunyi di baliknya.
Konflik Laut China Selatan bukanlah isapan jempol. Klaim sepihak China telah terjadi sejak adanya konsep nine-dash-line, China mengklaim 90% wilayah laut yang luasnya 2 juta kilometer persegi ini, yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, menjadi biang kerok ketegangan. Layaknya benalu yang melilit pohon, klaim China ini mengancam kedaulatan dan hak ekonomi kita di perairan sendiri.
Bayangkan laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan para nelayan kita, tempat lalu lintas kapal niaga yang menggerakkan ekonomi, tiba-tiba terusik kehadiran armada militer asing. Aktivitas penangkapan ikan terganggu, kapal niaga pun was-was melintasi jalur yang disengketakan. Bukankah ini gambaran masa depan yang suram jika kita tak sigap menjaga kedaulatan laut?
Laut China Selatan tak hanya soal ekonomi. Di sana terhampar cadangan minyak dan gas bumi yang menjanjikan. Ini pun menjadi rebutan. Jika kita lemah, bukan tidak mungkin kekayaan alam tersebut akan lepas dari genggaman. Bukankah mencederai rasa keadilan jika sumber daya alam yang ada di wilayah kita sendiri justru dinikmati pihak lain?
Para pejuang kemerdekaan dulu berjuang mati-matian merebut kemerdekaan. Mereka tak ingin generasi selanjutnya terjajah secara ekonomi dan sumber daya alam. Menjaga kedaulatan laut adalah wujud nyata menghormati perjuangan mereka. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga tanggung jawab kita bersama, para pemangku masa depan bangsa.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, tingkatkan rasa cinta bahari. Laut bukan hanya sumber daya alam, tapi juga jati diri sebagai bangsa maritim. Laut kita luas membentang, namun kita belum sepenuhnya akrab dengan laut kita sendiri. Ibaratnya pepatah, percuma memiliki permata di lumbung namun kelaparan. Rasa cinta Bahari yang rendah membuat kita seolah berpaling dari potensi maritim yang sesungguhnya. Ini saatnya kita memutar haluan.Â
Laut bukan hanya bendungan air asin, tapi urat nadi bangsa. Â Cintai lautan dengan cara mengenalnya lebih dekat. Gali sejarah nenek moyang kita yang berjaya mengarungi samudra. Kunjungi museum bahari, atau bahkan ikuti program edukasi menyelam dan mengenal biota laut. Dengan mengenalnya, kita akan timbul rasa memiliki dan tanggung jawab untuk menjaga kelestariannya.
Kedua, jangan biarkan Laut China Selatan menjadi "laut lepas" bagi kepentingan negara lain. Ikuti terus perkembangan di sana, bagaikan perwira muda sigap yang mengamati pergerakan armada asing di wilayah perairan Indonesia.Â
Dengan wawasan kebangsaan yang membara dalam dada, kita bisa menjadi garda terdepan. Suarakan kepentingan nasional di forum-forum internasional layaknya diplomat muda yang lantang dan tegas. Â Namun, perlu diingat bahwa dunia internasional kerap kali menghormati kekuatan nyata.
Ketiga, dukung pemerintah dalam upaya "membentengi" Laut China Selatan. Â Ini bukan tentang citra semata, melainkan kedaulatan bangsa. Â Dukung langkah pemerintah dalam memperkuat kekuatan militer dan penegakan hukum di laut. Â Wujudkan mimpi tentang Indonesia sebagai negara maritim yang disegani, dengan armada laut yang siap menjaga setiap jengkal wilayah perairan. Â
Selain kekuatan militer, jangan lupa dukung inovasi teknologi tepat guna. Â Misalnya, dengan merancang drone canggih untuk patroli maritim yang lebih efisien. Â Dengan semangat inovatif, Laut China Selatan bisa kita kawal dengan lebih optimal. Tanpa kekuatan yang nyata, suara kita akan diabaikan.
Ingat, kedaulatan laut dijaga bukan hanya dengan kapal perang dan pesawat tempur. Kedaulatan juga dijaga dengan pengetahuan, kesadaran, dan solidaritas kita sebagai anak muda Indonesia. Laut China Selatan memang mengirimkan bisikan ancaman, tapi kita pun bisa membalasnya dengan nyanyian semangat nasionalisme yang teguh.Â
Jangan biarkan ombak itu menenggelamkan masa depan bangsa. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Suara kita harus lebih kencang daripada bisikan ancaman itu!
Source:
Dr. Yayat Ruyat, M.Eng. (2017). Peran Indonesia dalam Menjaga Wilayah Laut Natuna dan Menyelesaikan Konflik Laut Tiongkok Selatan. Jurnal Kajian Lemhannas RI Edisi 29.
Irvin Avriano Arief. (2019). RI Sewot dengan China Gegara 'Nine Dash Line', Apa itu? CNBC Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H