Review ArtikelÂ
Judul Artikel : Dampak Pernikahan Dini di Lereng Merapi dan Sumbing
Penulis      : Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.
Sumber     : Jurnal Al-Awl, Vol. 13, No. 1, Tahun 2020 M/1441 H
Reviewer    :  Rifa'i Taufik AnasÂ
NIM Â Â Â Â Â Â Â : 212111062
Prodi       : HES 5B
PERNIKAHAN DINI DI LERENG MERAPI DAN SUMBINGÂ
Pokok bahasan artikel ini yaitu pernikahan dini yang terjadi di lereng Gunung Merapi dan Gunung Sumbing tepatnya di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali dan Kecamatan Kaliangkrik Kabupaten Magelang. Kasus pernikahan dini tertinggi di Kabupaten Boyolali terjadi di Kecamatan Selo, kasus ini masih lebih rendah daripada kasus pernikahan dini yang terjadi di Kecamatan Kaliangkrik Kabupaten Magelang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sosiologis dimana data diperoleh dari respon responden dalam bentuk kata verbal.
Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali terletak di lereng Gunung Merapi, sedangkan Kecamatan Kaliangkrik Kabupaten Magelang terletak di lereng Gunung Sumbing. Karakteristik masyarakat di Kecamatan Selo dan Kaliangkrik sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Kehidupan yang nyaman sebagai petani membuat masyarakat Selo banyak yang putus pendidikan. Keagaaman di Kecamatan Selo dan Kecamatan Kaliangkrik masih bercorak tradisional dan masih menganut kebudayaan Jawa.Â
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor utama pendorong terjadinya pernikahan dini yaitu faktor budaya dan kasus hamil diluar nikah.Â
a. Faktor budayaÂ
- merasa mampu secara finansial sebagai petani,Â
- rasa bangga orang tua yang anaknya payu atau ada yang menanyakan,Â
- pemahaman sederhana dalam rumah tangga,Â
- praktik turun temurun,Â
- merasa anaknya beban sehingga cepat dinikahkanÂ
- rasa malu apabila anaknya tidak segera menikahÂ
b. Kasus hamil diluar nikah, masyarakat beranggapan bahwa hamil diluar nikah merupakan aib keluarga sehingga harus segera dinikahkan.Â
Upaya pencegahan pernikahan dini di Kecamatan Selo dan Kecamatan Kaliangkrik dilakukan oleh tokoh masyarakat hingga pemerintah. Upaya pencegahan di Kecamatan Kaliangkrik yaitu edaran KUA yang tidak menerima lagi pernikahan dini dengan batas usia laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Sedangkan pada Kecamatan Selo, tokoh masyarakat sangat berperan dalam sosialisasi UU pernikahan, organisasi masyarakat seperti Srikandi, adanya peraturan desa, sangsi masyarakat dan denda asusila.
Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor pendorong pernikahan dini di Kecamatan Selo dan Kecamatan Kaliangkrik adalah budaya, dorongan orang tua, minimnya pemahaman rumah tangga dan kebiasaan masyarakat yang turun temurun serta hamil diluar nikah. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun tokoh masyarakat tersebut cukup efektif untuk menekan angka pernikahan dini di Kecamatan Selo dan Kecamatan Kaliangkrik.Â