"Dengar, sekarang kelompok tani itu sudah mulai berhasil. Tapi aku dengar mereka baru saja membeli alat pertanian yang lebih canggih," ujar seorang warga, Bapak Samsul, dengan nada curiga.
"Ya, kalau alatnya makin canggih, mereka akan lebih cepat kaya, kita malah semakin tertinggal," timpal seorang warga lainnya.
Arman merasa hati nya semakin berat. Ia tahu bahwa kecemburuan sosial ini bisa menghancurkan apa yang telah mereka bangun bersama. Sementara itu, Pak Hasan yang duduk di sudut warung hanya diam mendengarkan percakapan ini dengan tenang.
Setelah beberapa saat, Pak Hasan mengangkat bicara. "Pak Samsul, Bapak-bapak semua, perubahan itu memang sulit dimengerti oleh banyak orang, terutama yang tidak langsung terlibat. Tapi ingat, yang kita bangun ini bukan hanya untuk kelompok tani, melainkan untuk kita semua. Alat pertanian baru itu justru akan meningkatkan hasil panen kita semua, bukan hanya mereka yang punya. Dan kalian tahu, tak ada yang namanya 'tertinggal' jika kita semua mau berusaha bersama."
Namun, beberapa warga tetap tidak yakin. Mereka merasa bahwa hanya beberapa orang saja yang mendapatkan keuntungan, sementara yang lain tetap terpinggirkan. Arman, yang merasa tergugah, memutuskan untuk berbicara lebih banyak dengan mereka.
Pada malam itu, ia mengundang beberapa warga yang skeptis untuk berkumpul di rumah Pak Hasan, berharap bisa berbicara lebih terbuka dan saling mendengarkan. Dalam suasana yang lebih akrab, Arman menjelaskan bahwa manfaat dari sistem baru yang mereka terapkan akan dirasakan oleh seluruh desa, bukan hanya sebagian orang.
"Jika kita bekerja sama, kita bisa memperkenalkan produk kita ke pasar yang lebih luas. Kita bisa mengembangkan desa ini menjadi lebih baik, lebih mandiri. Tidak ada yang tertinggal, karena kita akan berbagi keuntungan dan manfaat ini bersama," ujar Arman dengan keyakinan.
Namun, meski ia sudah berusaha keras menjelaskan, banyak dari mereka yang tetap menaruh keraguan. Bahkan Pak Iwan, yang sejak dulu menjadi pemimpin tak resmi di desa, tidak terlalu yakin. Ia masih menganggap cara lama sebagai yang terbaik.
"Arman, aku tahu kamu punya niat baik. Tapi, orang-orang di desa ini lebih nyaman dengan cara mereka sendiri. Banyak yang takut berubah. Tak mudah bagi kami untuk memercayai hal-hal baru yang belum terbukti sepenuhnya," kata Pak Iwan dengan suara pelan, seakan memberikan pengertian.
Arman menghela napas. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari proses yang harus ia lalui. Tapi semakin hari ia merasa bahwa perjuangannya semakin berat. Bukannya menghindari tantangan, ia justru semakin yakin bahwa masalah utama yang ia hadapi bukan hanya sistem atau alat, tetapi mentalitas dan ketakutan untuk berubah. Orang-orang desa sudah terbiasa dengan rutinitas mereka. Perubahan terasa seperti ancaman bagi mereka.
Namun, Arman tidak bisa mundur sekarang. Ia memutuskan untuk lebih intens terlibat dalam kehidupan sosial masyarakat. Ia mulai mengadakan pertemuan rutin untuk membahas kemajuan proyek dan mengedukasi warga tentang pentingnya perubahan. Ia mengundang ahli pertanian, pengusaha sosial, dan bahkan beberapa anak muda dari kota yang berpengalaman dalam pemberdayaan komunitas untuk berbagi pengetahuan.