Dewasa ini, media sosial sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. Setiap harinya, terdapat miliaran pengguna internet yang mengakses media sosial seperti Facebook, Instagram, X, dan Threads untuk berbagi informasi, berita, atau hanya untuk membagikan pengalaman sehari-hari mereka. Tidak hanya itu, media sosial juga memainkan peran penting dalam gerakan aktivisme dan perubahan sosial khususnya di bidang politik.Â
Media sosial kini telah hadir dalam lingkup pemerintahan sehingga mengubah perspektif lembaga publik dan birokrasi di seluruh dunia. Kehadiran media sosial dalam bidang politik dapat dilihat dari munculnya istilah 'politik digital' dalam perbincangan masyarakat Indonesia, khususnya para generasi muda yang tergolong sebagai "Gen-Z". Jurnalisme, kampanye politik, dan berbagai kegiatan aktivisme digital lainnya kini dapat dilakukan hanya dari genggaman tangan saja.
John Postill dalam Digital Politics and Political Engagement menyatakan bahwa konsep politik digital dibagi menjadi beberapa bidang, yaitu 1) pemerintahan digital, 2) demokrasi digital (masyarakat, musyawarah, partisipasi), 3) kampanye digital (partai, kandidat, pemilihan umum), dan 4) mobilisasi digital (kelompok kepentingan dan gerakan sosial) (Postill, 2020).Â
Dengan kehadiran politik digital, masyarakat akan semakin baik dalam hal keterlibatan dengan dunia politik dan dapat meningkatkan pengawasan terhadap lembaga dan birokrasi yang berhubungan dengan politik. Selain itu, lingkup pembicaraan mengenai politik digital bukan hanya tentang bagaimana kegiatan politik direplikasi secara daring, melainkan politik digital membuka ruang tindakan baru (Coleman & Freelon, 2015).
Peran media sosial dalam aktivisme dan perubahan sosial di bidang politik di Indonesia yang dapat kita telaah adalah tren yang terjadi akhir-akhir ini yaitu "Peringatan Darurat Garuda Biru". Gerakan Peringatan Darurat Garuda Biru sendiri adalah sebuah pesan kampanye yang berisi visual lambang Garuda Pancasila dengan latar belakang biru dan tulisan putih "PERINGATAN DARURAT' atau "RI-00" dengan model visual analog horor.Â
Gerakan ini adalah sebuah bentuk aksi protes masyarakat Indonesia dalam menyikapi keputusan parlemen yang berniat untuk melakukan revisi UU Pilkada yang termuat dalam Putusan MK. Gerakan Peringatan Darurat Garuda Biru telah sukses sebagai contoh dari politik digital yang tergolong dalam bidang demokrasi digital dan mobilisasi digital.Â
Melalui gerakan ini telah berhasil menciptakan kesadaran masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dan menciptakan ikatan solidaritas kuat untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia serta hak-hak warga negara.
Gambar garuda biru pada peringatan darurat merupakan tangkapan layar dari unggahan video YouTube pada akun Emergency Alert System (EAS) Indonesia Concept yang diunggah pada Oktober 2022. Adapun bagaimana Gerakan Peringatan Darurat Garuda Biru bisa viral bermula dari media sosial X pada tanggal 21 Agustus 2024 dini hari, sekitar pukul 03.00 WIB, muncul cuitan dengan nada bercanda tentang pendudukan kantor-kantor pemerintahan oleh militer. Cuitan ini dibalas oleh @BudiBukanIntel dengan unggahan gambar Peringatan Darurat sekitar pukul 08.00 pagi di media sosial pada hari yang sama.Â
Kemudian pada 21 Agustus 2024, sekitar pukul 14.00 WIB, Peringatan Darurat Garuda Biru diunggah oleh beberapa akun ternama, diawali oleh Najwa Shihab, narasi tv, @ivooxid, hingga kalangan komika dan artis di Indonesia dengan narasi menghubungkan Garuda (Indonesia) dan Darurat (darurat politik, hukum, etika). Unggahan Peringatan Darurat tersebut dengan cepat meluas di kalangan mahasiswa, aktivis, pakar hukum, akademisi, hingga masyarakat umum.Â
Gerakan Peringatan Darurat Garuda Biru kemudian berubah menjadi simbol ajakan untuk menyelamatkan Indonesia dari segelintir orang yang dianggap bisa membahayakan demokrasi Indonesia. Pada akhirnya Peringatan Darurat Garuda Biru menjadi simbol protes dan seruan aksi demo kawal putusan MK di berbagai daerah.
Gerakan Peringatan Darurat ini tidak hanya membawa dampak positif, tetapi juga memunculkan tantangan baru yang perlu diatasi, seperti penyebaran hoaks dan disinformasi. Konten yang keliru dan menyesatkan berpotensi cepat menyebar sehingga menyebabkan kebingungan dalam pemahaman publik.Â