Mohon tunggu...
RIDWAN ZAMRONI
RIDWAN ZAMRONI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Indonesia

Manusia yang bercita-cita hidup tenang dan apa adanya. Menyukai proses berpikir meski hasilnya tak seberapa. Doyan bola dan olahraga lainnya sedikit-sedikit.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Representasi Waktu dalam Lukisan "The Persistence of Memory" Karya Salvador Dali

2 Juni 2023   23:15 Diperbarui: 2 Juni 2023   23:28 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah kalian menerka-nerka sejauh mana waktu yang tersisa untuk berdiri di atas kaki sendiri? Seolah turut serta menyampaikan pertanyaan retoris tersebut, Stepward Erdwin dalam teorinya menyampaikan, tidak ada yang tau berapa lama lagi waktu yang tersisa dalam hidup seorang manusia, entah esok, lusa, bahkan hari ini, tak akan ada yang tahu bertahan berapa lama lagi kita di muka bumi ini.

Waktu yang bisa dengan ajaibnya menghanyutkan kita melalui hal-hal tidak terduga atau bahkan membuat kita melakukan semua hal di luar rencana tanpa sungkan. Seolah hal tersebut memang tujuan kita, seolah kita selalu dan akan selalu memiliki kesempatan lagi. Padahal nyatanya, kesempatan di tangan kita tidak akan pernah sedikitpun datang dua kali. Tak ayal di beberapa momentum, waktu bisa mengubah sesuatu menjadi sedemikian hebat dan luar biasa, namun di sisi lain, waktu bisa selalu menjemput ruang untuk mengubah sesuatu menjadi hancur, busuk, dan tidak berguna.

Persis seperti apa yang dilukiskan oleh Salvador Dali tentang waktu. Pelukis asal spanyol tersebut menyajikan waktu dengan cara yang berbeda. Lukisan The Persistence of Memory dilukis oleh Salvador Dali pada tahun 1931 ketika ia masih berusia 28 tahun. Lukisan ini, sekarang berada di Museum of Modern Art (MoMA) di Amerika. Pihak museum tersebut tidak pernah membeli lukisan Salvador Dali ini, melainkan ada seseorang yang mendonasikan lukisan The Persistence of Memory ini kepada MoMA.

Dengan mengusung tema waktu yang begitu apik, Dali Salvador kabarnya banyak terinspirasi oleh  teori Freudian, Sigmund Freud, dan teori hukum relativitas milik Albert Einstein, sehingga unsur abstrak melekat di dalam gaya melukisnya. Hal tersebut bisa kita lihat pada simbol-simbol yang tertera dalam lukisan The Persistence of Memory, dari mulai jam dinding, meja, bukit, semut, hingga anjing laut yang tertidur pulas. Dalam upaya menilik simbol-simbol tersebut,  saya mencoba membentrutkannya dengan teori semiotik Ferdinand de Saussure yang mengemukakan bahwa semiotika umumnya digunakan sebagai alat mendefinisikan kategori dari tanda. Hal tersebut hanya bisa merepresentasikan sesuatu apabila si pembaca tanda memiliki pengalaman atas representasinya.

Memasuki pemaknaan lukisan The Persistence of Memory, sebagian besar orang di bumi yang penuh manusia ini, tentu tahu betul atau setidaknya pernah merasakan, bagaimana 'representasi waktu' yang dimaksud, tetapi itu tampaknya tidak mudah untuk meguhkan langkah. Salah satu potret yang begitu terlihat jelas adalah potret jam terbengkalai dan tidak berfungsi lagi, kemudian relevansi jam dinding tersebut dengan lingkungan sekitar.

Beberapa jam dinding dapat mengindikasikan kesempatan yang selalu terjadi. Tanpa kita sadari, waktu yang kita anggap berakhir, tak jarang 'kembali awal', namun beberapa dari kita sering kali mengulangi siklus yang sama, membiarkan waktu berjalan begitu saja. Jelas, potret jam dinding tersebut menunjukkan sesuatu yang sia-sia. Bisa kita bayangkan sudah berapa lama waktu berlalu, sehingga beberapa jam dinding tergeletak hingga hilang fungsi, jarumnya pun sudah tidak lagi berputar! Masih dalam menggali konteks jam dinding, selain kehilangan fungsinya, terdapat juga jam dinding yang menyerupai selimut. Menyelimuti anjing laut yang tertidur pulas. Hal tersebut menandakan ada waktu yang digunakan cukup lama untuk terlelap.

Selain menyoroti makna dari jam dinding yang terbengkalai, lukisan The Persistence of Memory mengambil tema secara garis besar latar tempat gurun pasir. Menarik perspektif lain, gurun pasir yang terlukis tersebut terdiri atas beberapa bukit. Bukit yang berada sebagai latar lukisan merupakan sebuah bukit yang berada di Cape Creus, Catalonia, sebuah tempat di mana Salvador Dali dilahirkan. Tepatnya pada kota Figueres, Catalonia, Spanyol. Proses kreatif tersebut menjadi titik awal pemaknaan-pemaknaan selanjutnya hadir.

Berdasarkan pemaknaan yang tertangkap oleh indra, gurun pasir terkenal dengan tempat yang gersang, membatasi beberapa aktivitas untuk dilakukan yang  membutuhkan air. Seperti kita ketahui bahwa kurang lebih dari 80%  tubuh manusia mengandung air. Bisa dibayangkan bagaimana makhluk yang sebagian besar komponen pembentuknya adalah air, harus beraktivitas di tempat yang sangat minim air. Kondisi gurun pasir jelas sangat bertentangan dengan hakikat bagaimana manusia bisa hidup. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh seseorang di gurun pasir. Waktu yang terbuanglah yang menjadikan kondisi tersebut terbentuk.

 Ketika waktu dinyatakan habis, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh manusia, tepat sebagaimana gurun pasir menjadi tempat tinggal makhluk bernama manusia. Tentu saja, mengulang kembali waktu bukanlah sebuah solusi --betapa mustahilnya. Hakikat waktu sebagai lorong perjalanan, kembali ditegaskan oleh gambar semut yang merayap. 

Terlihat semut mengerubungi sesuatu yang sudah sekian lama tergeletak. Saya sendiri memaknainya sebagai potensi yang terbengkalai. Mengingat manusia memiliki potensi yang sejatinya melekat pada dirinya sendiri, semua orang berpotensi untuk menjadi 'pintar'. Kepintaran yang saya maksud merupakan hal baik yang dapat menjelma rasa manis apabila diasah, sementara jika tidak? Semut-semutlah yang akan membawa itu semua.

Dengan manusia berjalan tanpa penopang hidup di suatu gurun yang sangat panas, cepat atau lambat, waktu akan memakan sisa hidup manusia tersebut. (Descharnes, Robert : 2010 ). Masih dalam perspektif yang sama, suatu gagasan yang saya rasa dapat mewakili makna sisa hidup manusia adalah ketika merela tidak dapat memanfaatkan dengan baik potensi yang dimiliki. Sungguh akan sangat disayangkan. Percayalah, makanan manis saja jika dibiarkan di atas meja, rasa manisnya perlahan akan hilang dikerubungi semut, bagaimana meruginya jika sesuatu yang sudah Tuhan berikan, kita pendam dalam waktu menahun atau bahkan kita tak kunjung menyadarinya.

Imaji yang tawarkan Salvador Dali juga berhasil membuat saya masuk ke dalam perbandingan dua dunia dengan latar tempat yang sama. Terdapat dua buah meja dengan tampilan berbeda satu sama lain, meja yang terawat dan meja yang ditumbuhi oleh pohon. Hal tersebut merepresentasikan bentuk usaha 'bertahan hidup' di suatu gurun pasir. Kita sama-sama menyadari bahwa gurun pasir merupakan tempat yang sulit ditinggali. Katakanlah kita menyebutnya dengan kondisi objektif yang sulit, namun lihatlah bagaimana meja kerja mengkilap itu. Sangat terawat, rapi, dan begitu apiknya.  Menunjukkan terdapat intensitas kerja secara berkala di dalamnya.

Sebagai studi perbandingan, mari kita lihat meja yang ditumbuhi oleh pohon dan digelayuti mesra oleh jam dinding yang terbengkalai. Hemat saya, semua orang bisa saja memiliki meja kerja dan jam dinding, namun untuk betul-betul menggunakan atau tidak kedua buah benda tersebut merupakan sebuah pilihan. 

Bergerak memperbaiki dan membenahi atau membiarkannya terbengkalai hingga kerusakan menggerogoti. Seperti halnya sampai sebuah pohon tumbuh di atas meja kayu tua lapuk, meyakinkan kepada saya bahwa waktu bisa memberikan mantra terbaiknya untuk membuat sesuatu menjadi busuk, sesuatu yang tak kunjung tersentuh oleh potensi. Saya kira kita kerap mengenalnya dalam kehidupan dengan teori 'seiring berjalannya waktu'.

Sampai akhir tulisan ini dibuat, The Persistence of Memory berhasil menumbuhkan beragam macam memori di dalam kepala saya, termasuk beberapa memori yang sudah saya pastikan tidak akan muncul lagi. Selain tentang waktu dan kesia-siaan, ada pula alternatif waktu yang ditawarkan melalui mimpi. 

Gambaran anjing laut yang tertidur pulas dengan berselimut jam dinding yang terbengkalai, jelas memberikan bentuk kepasrahan tersendiri kepada saya. Seolah anjing laut tersebut bukan hanya tertidur untuk menjemput bunga tidur, melainkan untuk menunggu kematiannya sendiri juga. Representasi waktu dalam lukisan ini kembali meneguhkan saya bahwa satu-satunya jalan pintas yang dapat ditempuh setelah dibumihanguskan oleh waktu adalah berserah diri.

Penulis: Rifki Zaenal Muttaqin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun