Adanya sebuah keluarga merupakan buah dari adanya pernikahan antara mempelai pria dan wanita yang diikat dengan suatu perjanjian atau akad yang kemudian keduanya sama-sama berkomitmen saling setia, tolong menolong dan bantu membantu demi tercapainya tujuan menjadi keluarga yang harmonis.Â
Pernikahan atau perkawinan dalam ilmu hukum sendiri didefinisikan sebagai ikatan antara seorang pria dan wanita yang diakui sah oleh perundang-undangan Negara dan bertujuan untuk membentuk dan membina kehidupan keluarga yang kekal dan abadi.
Dewasa ini tak sedikit informasi tentang orang yang melakukan poligami, bahkan dilakukan dengan menikah secara rahasia (sirri) untuk yang kedua atau kesekian kalinya tanpa diketahui istri pertamanya, sudah sering sekali kita dengar bahkan praktiknya sudah dilakukan dari zaman dahulu. Hal itu bisa saja timbul karena faktor internal atau eksternal keluarga.Â
Namun hal yang perlu diperhatikan adalah akibat hukum dari terjadinya perkawinan tersebut, terutama pada si anak yang lahir dari pernikahan tersebut. misalnya tidak bisa mendaftar sekolah karena terhalang persyaratan seperti harus adanya akta kelahiran anak.
KUHPerdata sendiri tidak dengan tegas memberi pengertian yang ketentuannya seperti pasal 26 yang memandang bahwa perkawinan hanya dalam keterikatan perdata dan pasal 27 menyebutkan bahwa perkawinan hanya menganut prinsip monogami, dengan satu orang perempuan saja dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
Nikah sirri merupakan nikah yang dipandang sah menurut Agama serta telah memenuhi rukun dan syaratnya. Disebutkan dalam  Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".Â
Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab  kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. sebut saja misalnya si A (suami) yang menikahi si B, walau tanpa sepengetahuan si B (Isteri pertama).Â
Selama pernikahan itu tidak bertentangan dengan KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 14-38 maka pernikahannya dianggap sah.
Namun sah nya perkawinan si A dan C hanya sebatas di mata agama dan kepercayaan saja sehingga perlu dilegalkan oleh Negara untuk mendapatkan akta nikah atau buku nikah yang nantinya sebagai syarat untuk pembuatan akta kelahiran anak.
Maka hal ini bisa diajukan ke KUA (Kantor Urusan Agama) bagi pemeluk agama Islam untuk dilakukan pencatatan. Namun hal ini tidak bisa dilakukan mengingat pernikahan antara si A dan C terhalang karena ada si B.
Maka solusi selanjutnya adalah pengajuan Isbat Nikah ke pengadilan, karena pernikahan kedua orangtuanya tidak tercatat dengan konsekuensi tidak bisa membuat akta nikah.Â
Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat dapat memperoleh perlindungan hukum dengan produk dari peradilan agama yaitu berupa penetapan isbat nikah pada putusan pengadilan agama yang akan berakibat hukum terhadap anak-anak yang dilahirkan.Â
Yang mendasari hal tersebut adalah  Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang bunyinya "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah".
Konsekuensi dan akibat hukum dari penetapan isbat nikah, yang harus diterima dan diberikan orangtua kepada anak yang harus diterima dan diberikan anak kepada orangtua adalah sebagaimana yang tertuang dalam pasal 45-49 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang merupakan hak dan kewajiban antara orangtua dan anak.Â
Cara melakukan pengajuan atau prosedur pengajuan permohonan isbat nikah pada dasarnya sama dengan perkara-perkara lainnya, yaitu pihak yang berkepentingan sebagai subjek hukum mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama dalam wilayah hukumnya.Â
Tentunya permohonan tersebut harus memenuhi ketentuan syarat formil permohonan, yaitu adanya identitas, rumusan dalil dalam surat gugatan dan hal yang dimintakan penggugat kepada hakim untuk dikabulkan (posita dan petitum).Â
Setelah itu, Pengadilan akan mengeluarkan penetapan setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Setelah surat penetapan isbat nikah dari pengadilan sudah diterima, lalu si A dan C selaku orangtua mengajukan pembuatan akta kelahiran anaknya ke Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil) setempat untuk dilakukan pencatatan dengan melampirkan surat penetepan isbat nikah dari pengadilan tersebut. dengan demikian anak dari hasil pernikahan sirri antara si A dan C tetap bisa mengemban pendidikan.
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat, terimakasih.
Referensi
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
Nawawi Hasyim, A. (2015). "Perlindungan Hukum dan Akibat Hukum Anak dari Perkawinan Tidak Tercatat (Studi di Pengadilan Tulung Agung)". Ahkam 1. (3). 113-138.
Undang-undang Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H