Dunia saat ini sedang diserang wabah Covid-19. Kondisi ini menuntut berbagai negara di dunia untuk melakukan tindakan guna mencegah wabah penyakit ini menular. Singapura contohnya, seperti dilansir dari Kompas.com, meskipun tidak melakukan lockdown tetapi pemerintah Singapura mewajibkan pengukuran dan pelaporan suhu tubuh 2 kali sehari untuk semua yang aktif bekerja, baik pemerintahan maupun swasta.Â
Pengukuran suhu tubuh juga diwajibkan sebelum masuk ke tempat umum seperti; restoran, rumah makan, bioskop, kantor pos, sarana olahraga seperti gym, tempat asuh anak, dan lainnya. Warganya juga dibebaskan dari biaya kesehatan yang berkaitan dengan gejala virus corona.
Tak hanya Singapura, Indonesia pun mengambil beberapa kebijakan untuk mencegah Covid-19 terus menyebar di Indonesai. Salah satunya adalah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Presiden Joko Widodo, seperti dilansir oleh CNBCIndonesia.com, mengeluarkan kebijakan PSBB untuk menekan penyebaran virus corona. Keputusan itu tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto pun menerbitkan ketentuan tentang PSBB melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Dalam pedoman PSBB tersebut tertulis bahwa pemerintah akan membatasi aktivitas sekolah dan tempat kerja, kegiatan keagamaan, kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Kemudian, kegiatan sosial dan budaya serta moda transportasi.
Pemberlakuan PSBB ini tentu saja berpengaruh ke banyak lapisan masyarakat, salah satunya adalah pelajar dan mahasiswa. Para pelajar dan mahasiswa diwajibkan untuk meninggalkan segala aktivitas belajar mengajar di sekolah atau kampusnya. Sehingga pembelajaran pun beralih ke pembelajaran daring. Walaupun banyak pro kontra mengenai perkuliahan daring, namun mau tak mau para pelajar dan mahasiswa ini tetap melakukannya demi mencegah penyebaran Covid-19.
Fania (19) salah satu mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran ini mengaku lebih senang jika perkuliahan tetap diadakan secara tatap muka. Dirinya mengaku jadwal kuliah selama perkuliahan daring ini menjadi tidak jelas. "Dosen jadi seenaknya memindahkan jadwal kuliah," tutur Fania saat dihubungi via chat Line.
Dengan keadaan yang seperti ini, semua jadwal perkuliahan dialihkan menggunakan beberapa aplikasi, seperti Google Classroom, Zoom, dan melalui email, Fania mengaku dirinya harus bisa belajar mandiri tanpa bantuan penjelasan dari dosennya.
Hal yang sama diungkapkan oleh Sultan (19), mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran. Karena keadaan yang mengharuskan dirinya untuk tetap berada dirumah, semua perkuliahan Sultan dialihkan via daring, mulai dari kegiatan pematerian sampai praktikum pun ia lakukan via daring.
Sebagai mahasiswa peternakan, tentu saja normalnya Sultan dihadapkan pada praktikum yang menuntutnya untuk kontak langsung dengan hewan. Tetapi dengan adanya kebijakan dari Fakultas, semua praktikum tersebut ditiadakan. "Kalau seluruh praktikum yang berhubungan dengan kontak hewan dan manusia dihentikan. Sebagai gantinya, praktikumnya sendiri itu sekarang ini disi oleh pematerian saja tanpa adanya praktek langsung," kata Sultan.
Tentu saja, walaupun menuai pro kontra, para mahasiswa tetap bisa mengerjakan tugasnya secara mandiri tanpa adanya bantuan, termasuk dari orang tuanya. Karena kebanyakan dari mahasiswa tentu sudah diberikan gawai oleh orang tuanya, sehingga mereka tidak bergantung pada bantuan orang tua. Lalu bagaimana pelaksanaan school from home bagi siswa Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar?
Saya mewawancarai Novira (24), guru sekolah dasar islam swasta di Karawang yang menerapkan school from home. Pelaksanaan pembelajaran daring untuk siswa SD tentu berbeda dengan para mahasiswa di atas. Di SD, para orang tua akan dikirimkan tugas sekolah oleh guru melalui Whatsapp Grup. Ini dilakukan karena SD tempat Novira mengajar tidak memperbolehkan muridnya untuk menggunakan telepon genggam.
Tugas yang diberikan antara lain adalah tugas-tugas sesuai mata pelajar sekolah, adab kepada orang tua, urutan solat dan kedisiplinan waktu. Nantinya tugas yang sudah dikerjakan akan difoto atau dividiokan oleh orang tua murid, lalu dikirimkan kembali melalui Whatsapp Grup.
Selain itu, orang tua juga akan diberikan daftar kegiatan yang harus dilakukan oleh anak seperti bangun tidur sebelum adzan subuh, merapikan tempat tidur, solat dhuha, solat lima waktu, menghapal Al-quran, mengerjakan proyek yang diberikan oleh guru, mengisi jurnal harian, tidur siang, wudhu sebelum tidur, dan tidur pukul 20.00. Nantinya, setiap pukul 20.00, orang tua harus men-checklist semua kegiatan yang dilakukan oleh anak tersebut. Jika anak tidak melakukannya, maka orang tua harus memberikan tanda silang sebagai tanda bahwa anak tidak melakukan kegiatan yang sudah diperintahkan oleh sekolah.
Tujuan dari pemberian tugas tersebut adalah untuk mengetahui apa saja yang anak murid lakukan dirumahnya dan untuk lebih mempererat hubungan antara orang tua dan anak. "Biasanya orang tua hanya bertemu dengan anaknya saat berangkat dan pulang kerja saja, dengan adanya tugasnya ini tentu diharapkan supaya hubungan antara anak dan orang tua semakin erat," tutup Novira.
Namun hal berbeda dirasakan oleh Rika (34) sebagai orang tua dari tiga anak yang masih berusia delapan, enam, dan empat tahun sekaligus guru di sebuah sekolah Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD di Jakarta.Â
Sebagai guru, Rika memberikan modul pembelajaran khusus dari PAUD tempatnya mengajar yang berisi kegiatan seperti mencocokkan gambar, mewarnai, menggunting, dan menyusun puzzle serta modul pembelajaran dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang berupa perintah untuk melakukan kegiatan seperti mengelompokkan koin, memasukan beras dari wadah ke dalam botol, dan memasak nasi.
Tujuan Rika sebagai guru dalam memberikan modul pembelajaran ternyata berbeda dengan Novira. Tujuan Rika dalam memberikan modul justru hanya untuk mengisi kegiatan anak dirumah, dan untuk mencapai tujuan kurikulum.Â
Berbeda dengan Novira yang bertujuan untuk mempererat hubungan antara anak dan orang tua. Karena menurut Rika, PAUD hanyalah lembaga pendidikan yang juga mempunyai tujuan tertentu yang harus dicapai oleh anak muridnya.
Sebagai orang tua, Rika juga menganggap bahwa school from home tidak berdampak pada hubungan anak dan orang tua yang semakin erat. Rika beralasan demikian karena anak melihat dirinya sebagai figur ibu, bukan sebagai figur guru. Perbedaan persepsi ini yang membuat anak menjadi kurang bisa diarahkan saat belajar dari rumah.Â
"Anak kurang bisa menempatkan diri di depan ibunya. Karena pola komunikasi antara anak dengan guru dan anak dengan orang tua berbeda. Kalau anak ke guru kan melihatnya untuk belajar dan mendengarkan. Kalau sama ibu, anak jadinya bermain walaupun tetap belajar. Tapi tetap saja ada penolakan dari anaknya. Malah ada friksi dan perdebatan yang besar. Jadi orang tua harus lebih bisa merangkul anak," tukas Rika saat dihubungi melalui video call via Whatsapp.
Sampai saat ini vaksin untuk menyembuhkan Covid-19 belum ditemukan. Akibatnya masyarakat terpaksa melakukan semua kegiatannya dari rumah. Orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab tetap harus mendukung proses belajar mengajar anaknya.Â
Kesabaran menjadi poin yang harus ditekankan pada orang tua dalam mengajari dan mengerjakan tugas sekolah anak yang diberikan oleh gurunya. Karena nantinya, orang tua sendirilah yang akan bangga jika anaknya tumbuh menjadi anak yang pintar dan berprestasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H