Mohon tunggu...
Ridwan Saleh
Ridwan Saleh Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Independen

Exponents of the Islamic Students Forum Jakarta (FKMIJ), is currently active in South Jakarta City Board of Education, as a Committee Member of the Commission SD / MI City of South Jakarta. Former chairman of the press and the ummahnetwork in Central Executive of Islamic Association of University Students (PB HMI), 1997-1999. And, now active as an independent journalist in South Tangerang, Banten.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pelarangan Plastik Sekali Pakai: Seriuskah Pemerintah?

12 September 2023   06:13 Diperbarui: 21 September 2023   20:43 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Plastik Sekali Pakai. Sumber: Foto Dok RS

LARANGAN penggunaan plastik sekali pakai merupakan salah satu instrumen yang paling sering digunakan untuk membatasi penggunaannya di hampir setiap negara di dunia, termasuk di Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri kabarnya baru akan melakukan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai secara nasional mulai 1 Januari 2030 (Permen LHK Tahun 2019).

Bila dilihat dari waktu pelaksanaan pelarangan penggunaan plastik secara nasional yang baru akan diberlakukan pada 2030, tidaklah terlalu salah bila ada anggapan bahwa pemerintah Indonesia belum begitu serius memikirkan dampak 'buruk' penggunaan plastik sekali pakai ini.

Padahal berdasarkan data dari Making Oceans Plastic Free (2017), ada 182,7 miliar kantong plastik yang digunakan di Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, bobot total sampah kantong plastik mencapai 1.278.900 ton per tahun. Bahkan pada tahun 2022, total sampah plastik di Indonesia telah mencapai 12,54 juta ton.

Menurut Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar, dari 69 juta ton sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia, 18,2 persen atau 12, 5 juta ton adalah sampah plastik. Dan, jumlahnya terus naik secara eksponensial sejak 1995.

"Sepanjang tahun 2022, ada 69 juta ton sampah yang dihasilkan masyarakat Indonesia, di mana 18,2 persen atau 12,5 juta ton adalah sampah plastik. Jumlahnya ini terus naik secara eksponensial sejak 1995," ungkap Novrizal dalam Webinar "Invest Solutions For Plastic Pollution", seperti dilansir Kompas.com pada pertengahan tahun lalu. 

Menariknya lagi, kata Novrizal, salah satu penyumbang naiknya jumlah sampah plastik adalah perilaku masyarakat Indonesia yang kerap menggunakan plastik sekali pakai untuk berbagai keperluan keseharian mereka. Plastik-plastik sekali pakai tersebut kemudian menjadi sampah dan dapat menimbulkan efek buruk bagi lingkungan bila masuk ke perairan atau tanah. 

Ketegasan Aturan dan Harapan akan Kesadaran Masyarakat

Dari hasil studi terhadap 192 negara pesisir pada tahun 2010, dilaporkan bahwa Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia. Sementara itu, negara lain dengan populasi penduduk di pesisir sama besarnya, seperti India, ada di urutan 12. 

Di sisi lain, diperkirakan pencemaran plastik di Indonesia akan terus meningkat sebagai dampak pertumbuhan sektor dan industri pengguna plastik, seperti industri makanan dan minuman yang diperkirakan akan tumbuh 5% -7%, dan terus meningkat pesat.

Fakta lain yang juga menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam merealisasikan aturan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai adalah ditundanya pelarangan penggunaan plastik sekali pakai secara nasional hingga beberapa tahun ke depan. Kewenangan pelarangan itu akhirnya diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda) di berbagai wilayah di Tanah Air yang diatur dengan Perda dan atau peraturan kepala daerah dari masing-masing wilayah tersebut. 

Sebagai contoh, Peraturan Wali Kota Tangerang Selatan Nomor 83 Tahun 2022 tentang Pelarangan Penggunaan Plastik Sekali Pakai berlaku di kota ini, kota tempat penulis berdomisili saat ini. Aturan yang telah ditetapkan pada tahun lalu itu baru disosialisasikan beberapa pekan terakhir ini oleh pemerintah setempat di beberapa titik perdagangan di kota termuda di Banten ini. 

Hal ini tentu menguatkan spekulasi dan kesimpulan bahwa sebenarnya pemerintah daerah pun tidak terlalu peduli akan dampak buruk penggunaan kantong plastik sekali pakai. Kesimpulan lainnya, pemerintah daerah di kota ini tidak menjadikan aturan pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai ini sebagai "pijakan hukum" yang dapat mendisiplinkan masyarakat hingga mereka sadar akan dampak buruk yang ditimbulkan dari penggunaannya. Pasalnya, bahan yang digunakan mengandung bahan kimia berbahaya seperti bisphenol A (BPA) dan flatat. BPA, yang digunakan dalam pembuatan botol plastik dan wadah makanan berkaitan dengan masalah hormonal dan reproduksi, serta meningkatkan risiko penyakit jantung dan diabetes. 

Sepintas terlihat bahwa aturan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai itu hanyalah upaya untuk memenuhi formalitas hukum yang sia-sia. Jika melihat pada fakta dan data bahwa kian hari penggunaan plastik sekali pakai ini semakin meningkat penggunaannya juga termasuk sampah yang dihasilkan. 

Fakta lain, sosialisasi aturan dan aturan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai oleh pemerintah daerah hanyalah menyasar pelaku usaha dan pusat-pusat perbelanjaan, sementara masyarakat secara umum tidak. Mengapa?!

Sebagai solusi, untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai ini agar tidak menjadi 'bom waktu' di kemudian hari, diperlukan kolaborasi dari semua pihak atau stakeholder untuk menyusun kebijakan dan rencana aksi, serta melaksanakan program yang terkait dengan pengurangan sampah plastik, baik yang berkaitan dengan produk ataupun kehidupan sehari-hari di masyarakat pada umumnya. 

Pertanyaannya kemudian, apa saja program yang dapat direalisasikan dalam mengatasi masalah sampah plastik yang terus meningkat pesat ini? 

Seperti diketahui, bahwa sebenarnya pemerintah pusat maupun daerah juga telah mengampanyekan  cara mengatasi masalah sampah plastik, yaitu pertama, kampanye membatasi penggunaan barang-barang sekali pakai, khususnya single use plastic. Kedua, kampanye untuk mendorong masyarakat mulai belanja tanpa kemasan. Jadi, saat pergi ke pasar atau supermarket, harus membawa kantong belanja sendiri. Ketiga, kampanye melakukan pemilahan sampah dari rumah sendiri. Jadi, sampah plastik tidak lagi tercampur dengan sampah organik sehingga mudah didaur ulang. 

Namun, kembali kepada pertanyaan serta kesimpulan sementara penulis, apakah benar pemerintah saat ini serius mengatasi masalah penggunaan kantong plastik sekali pakai dan dampaknya pada lingkungan? Jika dilihat dari data yang dipublikasikan beberapa lembaga pemerhati lingkungan, termasuk pemerintah sendiri, itu semua hanyalah sebatas program dalam tataran wacana tanpa realisasi yang terukur. 

Allahu 'alam bishowab, hanya waktu dan fakta di lapangan yang bisa kita jadikan rujukan untuk menghukumi apakah pemerintah pusat maupun daerah serius mengurusi masalah ini? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun