PERUBAHAN itu merupakan suatu keniscayaan. Ia ada dan nyata karena selalu berhimpitan dengan perkembangan zaman. Â Karena itu, keberadaannya tak dapat dielakkan, siap pun itu dia.
Perubahan tidak selalu berarti membongkar habis apa-apa yang telah di-legacy-kan oleh para pendahulu negeri ini.
Belum lama ini, Menko Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan secara tegas menolak adanya pihak-pihak yang ingin melakukan perubahan.
Menurut Luhut, pemimpin selanjutnya tak perlu melakukan banyak perubahan karena ada enam program pemerintah yang harus diteruskan. Bila semua program itu diteruskan, Indonesia bisa menjadi negara maju di tahun 2045.
Pernyataan Menko Marves ini sontak medapat tanggapan dari Anggota Tim Delapan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) pengusung Anies Baswedan, Sudirman Said dengan menyatakan pihak yang menolak agenda perubahan dan perbaikan sama saja membuang ajaran Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Hal itu disampaikan Sudirman untuk mengkritisi pernyataan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang menyinggung Presiden RI selanjutnya tak perlu bicara perubahan dengan alasan perkembangan Indonesia kini sudah menemukan 'resep' yang pas.
Sudirman menegaskan Luhut yang berstatus sebagai pejabat negara seharusnya tak mengucapkan pernyataan demikian.
Baginya, tugas utama seorang pemimpin adalah menghadirkan perbaikan. Perbaikan dalam hal ini bisa bermakna percepatan, perluasan, penyempurnaan, atau penataan ulang program maupun tata cara mengelola.
Ia menegaskan seorang pemimpin negara yang tak boleh membawa agenda perubahan sama seperti pemimpin yang tak memiliki nilai tambah.
"Buat apa ada Pemilu yang biayanya puluhan triliunan bila pemimpin yang terpilih tidak menjanjikan perbaikan," kata Sudirman sebagaimana dikutip berbagai platform berita nasional di Jakarta.
Sudirman juga meminta Luhut melihat kehidupan bernegara dengan mata hati. Di satu sisi ia mengaku banyak yang telah Indonesia capai dan kerjakan. Di sisi lain Indonesia masih memiliki setumpuk pekerjaan rumah untuk diselesaikan.
Ia mencontohkan kasus korupsi yang terus meluas, masih adanya kesulitan rakyat yang dialami 40 persen warga miskin, hukum yang tak bekerja dengan adil hingga hutang yang semakin besar dan kohesi sosial yang terkoyak.
"Kesemuanya adalah hal-hal yang harus diatasi, bila negara dan bangsa kita mau menjadi negara bangsa berwibawa dan kuat. Melarang pemimpin baru bicara perubahan sama saja meminta membiarkan masalah-masalah di atas tidak diselesaikan," kata dia.
Ia turut menyoroti nantinya capres-cawapres yang maju di Pemilu 2024 harus membuat visi dan misi. Baginya, seorang pemimpin harus merumuskan visi, misi dan program yang lebih baik.
"Apakah semua calon Presiden dan Wakil Presiden tak boleh merumuskan sesuatu yang lebih baik? Mosok visi misi capres hanya: Melanjutkan situasi yang sekarang?" kata dia.
Benar apa yang dikatakan Sudirman, pemilu yang terjadi dalam rentang waktu 5 tahun sekali di negara ini, merupakan momen untuk melakukan evaluasi atas apa yang telah dicapai dalam pembangunan 5 tahun sebelumnya. Adakah yang harus diubah, diteruskan atau dihentikan karena ternyata tidakf membawa manfaat bagi warga bangsa ini secara keseluhan. Dan, tugas mengevaluasi itu ada di tangan kita semua, penduduk negeri ini. Â Karena itu, kenapa harus takut dengan perubahan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H