“Sampai kapan aku akan bertahan?” gumamku dalam hati, di suatu malam ketika istriku pulang lebih larut dari biasanya.
Kini aku mulai merasa jengah dengan keadaan seperti ini. Setiap pagi, aku bangun sendiri, karena istriku sudah lebih dulu pergi. Setiap malam, aku juga masih sendiri, karena istriku telah lebih dulu menjumpai mimpi. Kami memang tinggal serumah, tapi rasanya kami seperti bukan sepasang suami istri lagi. Kami sudah seperti dua orang imigran yang berasal dari daerah berbeda yang terpaksa harus tinggal di tempat yang sama. Kami terlalu sibuk dengan dunia kami masing-masing. Kami terlalu acuh untuk mencampuri urusan satu sama lain. Dan kami bahkan menjadi dua orang yang terlalu pelit, walau hanya untuk berbagi senyuman pun kami enggan. Kami berubah, kami benar-benar berubah.
Aku merasakan kebosanan yang mungkin sama dengan kebosanan yang pernah istriku rasakan dulu. Rasanya sungguh tidak mengenakkan. Andai saja kami sudah dikaruniai momongan, mungkin hidup kami takkan seperti begini. Istriku tak akan meminta untuk bekerja lagi, dan aku tak akan merasa sepi karena kehilangan figur seorang istri di rumah ini. Masih dengan menatap istriku yang tengah tertidur lelap, aku bertanya seolah kepada diriku sendiri, haruskah aku mencari dunia baru agar kebosanan ini tidak melulu mengusikku? Ya, sepertinya memang harus begitu.
Tak terasa sudah pukul 3 pagi, aku harus tidur, karena beberapa jam lagi aku harus segera bangun untuk menyiapkan sarapan untuk istriku seperti biasanya. Mudah-mudahan saja pagi nanti kami bisa kembali menikamati sarapan bersama, seperti dulu; sebelum dunia kami mulai berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H