“Lantas kamu mau kerja apa?”
“Aku mau kembali ke kantorku yang lama.”
“Bukannya di sana tidak menerima pegawai yang sudah menikah?” tanyaku. “Itu juga kan yang menjadi alasan kamu berhenti dari kantor itu?”
“Aku berhenti karena aku ingin mengabdikan hidupku untuk suamiku,” ia menahan omongannya sebentar. “Masalah aku sudah menikah itu bisa dimaklumi oleh kantor selama aku belum memiliki anak,” tambahnya.
“Lalu pengabdianmu terhadapku?”
“Aku tetap istrimu, Mas. Aku hanya ingin menghilangkan kebosananku. Aku ingin memiliki dunia baru. Mengertilah.”
“Mau bekerja sampai kapan?” akhirnya aku pun menyerah, dan secara tidak langsung menyetujui permintaannya.
“Mungkin sampai kita dikaruniai seorang anak, dan aku tak lagi sendirian di rumah ini saat kamu meninggalkanku bekerja.”
Seketika itu aku pun terdiam. Tak ada lagi perdebatan, yang tersisa hanyalah keheningan.
***
Hampir setahun setelah istriku bekerja di kantornya yang dulu, aku mulai merasa hubunganku dengannya jadi semakin jauh. Kami tak lagi banyak bercerita, hari demi hari lebih banyak kami lewati sendiri-sendiri. Sepertinya ia begitu asik dengan dunianya hingga ia tak sadar dengan perasaanku yang mulai merasa kehilangan separuh duniaku, dunia yang dulu indah, dunia yang penuh keromantisan antara kami yang selalu jatuh cinta di setiap harinya, kini sirna.