Mohon tunggu...
Ridwan Luhur Pambudi
Ridwan Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Lainnya - Unpad - Jurnalistik '21

Numismatik • Astronomi • Mitigasi • Multimedia #BudayaSadarBencana #SantaiPakaiNonTunai

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mitigasi Bencana, Belajar dari Palu, Sigi, Donggala

28 September 2020   17:03 Diperbarui: 28 September 2020   17:31 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat 2 tahun yang lalu, 28 September 2018 pukul 18.02 WITA, gempa bumi M7.4 mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah. Tidak berhenti di situ saja, bencana tsunami dan likuefaksi turut meluluhlantakkan Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Lebih dari 2000 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka.

Pada siang - sore hari tanggal 28 September 2018, aktivitas kegempaan meningkat, terjadi beberapa gempa bumi signifikan yang tercatat, antara lain M5.9 pukul 14.59 WITA, M5.0 pukul 15.28 WITA, serta M5.3 pukul 16.25 WITA. Berdasar lansiran dari Kompas.com, satu orang meninggal dunia, 10 luka-luka dan puluhan rumah rusak akibat gempa tersebut di Kabupaten Donggala.

Siapa sangka, rentetan gempa tersebut ternyata menjadi gempa pembuka (foreshock). BMKG mencatat pada pukul 18.02 WITA, gempa utama terjadi dengan kekuatan awal M7.7 yang kemudian dimutakhirkan menjadi M7.4 dan berpotensi tsunami. Potensi terbesarnya ada di Donggala Bagian Barat dengan status SIAGA atau potensi tsunami dengan ketinggian mencapai 3 meter. Di wilayah Kota Palu, status peringatannya adalah WASPADA atau potensi ketinggian tsunami kurang dari 1 meter.

Sayangnya, realita yang terjadi di Kota Palu sangat parah. Posisinya yang berada di teluk atau tepat di tengah lengkungan membuat gelombang tsunami terakumulasi dan langsung menghantam Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah tersebut. 

Menurut PVMBG, ketinggian tsunami di Kota Palu mencapai 8 meter dengan waktu datang tsunami 6 menit setelah gempa. Data lainnya, kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyebut tsunami di Sulteng terjadi 2 menit pascagempa. Padahal, sistem peringatan dini tsunami BMKG baru keluar 5 menit setelah gempa bumi terjadi.

Rentetan gempa bumi Sulteng pada 28 September 2018 terekam di seismograf (Geofon/Toli2)
Rentetan gempa bumi Sulteng pada 28 September 2018 terekam di seismograf (Geofon/Toli2)

Bencana tidak serta merta langsung berhenti, selain gempa bumi susulan yang terus mengguncang, fenomena likuefaksi di Kota Palu dan Kabupaten Sigi terjadi akibat gempa besar tersebut. Setidaknya ada tiga lokasi yang terjadi likuefaksi, yaitu Petobo, Jonooge, dan Balaroa.

Likuefaksi adalah fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat beban getaran gempa. Likuefaksi rentan terjadi di wilayah dengan tanah berpasir, gembur dan terendam air, atau yang memiliki kedalaman muka air tanah yang dangkal (kurang dari 10m).

Contohnya di Balaroa, wilayah ini dibatasi oleh daerah dengan goncangan lebih kecil karena adanya tinggian di bawah tanah yang menyebabkan lapisan sedimen menjadi lebih tipis di sebelah barat. Akibatnya air yang datang dari pegunungan terakumulasi di daerah balaroa karena tidak bisa melampaui tinggian di bawah tanah tersebut sehingga memicu likuefaksi.

Dampak dari likuefaksi ini antara lain memicu aliran tanah melaju cepat dengan jangkauan jauh, semburan pasir, pergeseran tanah, tanah bergelombang, kegagalan struktur tanah fondasi, serta memiringkan bangunan bahkan menghancurkannya.

Peneliti PVMBG, Athanasius Cipta, dalam webinar PVMBG 2 Tahun Gempa Palu yang digelar hari ini menyebutkan bahwa wilayah Kota Palu dan sekitarnya sebenarnya telah dipotong-potong oleh berbagai jenis patahan, meskipun tidak semua aktif, tapi keberadaannya menyebabkan deformasi batuan sehingga menyebabkan tanah menjadi lebih lunak.

Dari peristiwa ini, kita belajar tentang perlunya mitigasi bencana. Hal ini secara tidak langsung juga menjadi tamparan bagi pemerintah dalam penataan suatu wilayah. Pemerintah dan masyarakat sudah semestinya memahami wilayahnya sendiri dan tidak asal membangun bangunan 'yang penting berdiri'.

Selain itu, pentingnya mitigasi tanggap tsunami terlihat jelas dari kejadian ini, masyarakat di wilayah pantai sudah semestinya tidak perlu menunggu arahan petugas. Mereka sudah harus paham tentang tanda-tanda akan terjadinya tsunami dan cara evakuasinya.

Selain itu, yang terpenting adalah lakukan evakuasi diri dengan tidak panik dan tetap waspada. Bersama-sama kita rawat alat deteksi bencana dan terus lakukan simulasi bencana yang sangat diperlukan untuk keselamatan saat bencana benar-benar terjadi. Salam Tangguh dari Saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun