Mohon tunggu...
Ridwan Luhur Pambudi
Ridwan Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Lainnya - Unpad - Jurnalistik '21

Numismatik • Astronomi • Mitigasi • Multimedia #BudayaSadarBencana #SantaiPakaiNonTunai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

#14TahunGempaJogja, Eling lan Waspada

28 Mei 2020   17:33 Diperbarui: 29 Mei 2020   13:57 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto memperlihatkan kerusakan bangunan akibat gempa (Twitter/DaryonoBMKG)

Rekaman seismogram gempa susulan yang terus terjadi (Geofon/BMG)
Rekaman seismogram gempa susulan yang terus terjadi (Geofon/BMG)

Riando Elang Desilva (24), warga Depok, Sleman, melalui detikcom, menceritakan bagaimana isu tsunami membuat kepanikan saat itu.

“Sesampainya di Badran (Barat Stasiun Tugu) perasaan saya seketika berubah menjadi panik karena dari arah Selatan (arah Ngabean) ada banyak orang berlari – lari sambil berteriak ‘Banyune wis munggah’ atau artinya ‘Airnya sudah naik’ untuk menggambarkan kondisi bahwa tsunami sudah melanda,” ungkapnya. 

“Bisa dibayangkan, jarak dari Badran sampai ke laut selatan lebih dari 30 km. Saya membayangkan bahwa gelombang tsunami datang dengan kecepatan tinggi dan siap menghantam siapa saja yang dilewatinya. Ditambah yang ada di pikiran saya adalah tsunami Aceh tahun 2004,” tambahnya kepada detikcom. 

Warga dari Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta berbondong-bondong menjauh dari Pantai Selatan karena panik oleh isu tsunami (Kompas.com/Gempa Jogja)
Warga dari Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta berbondong-bondong menjauh dari Pantai Selatan karena panik oleh isu tsunami (Kompas.com/Gempa Jogja)
Seandainya warga Yogya dahulu telah dibekali ilmu mitigasi dan pemahaman bencana, tentunya kepanikan besar tersebut tidak akan terjadi. Sulit rasanya tsunami dapat sampai ke kota Jogja, apalagi dengan gempa magnitudo di bawah 7. 

Yogyakarta kini telah berbenah, kembali bangkit dan tidak melulu jatuh pada duka bencana. Gotong-royong yang menjadi kunci kebangkitan tersebut. Mitigasi dan pemahaman bencana telah tumbuh di tengah masyarakat (semoga saja). Namun, hari ini, Yogyakarta kembali terusik, pandemi COVID-19 turut memaksa kehidupan masyarakat seolah terhenti. Semoga bencana non-alam yang melanda dunia ini segera berakhir. 

Perbedaan episenter gempa bumi berbagai lembaga karena perbedaan metode dan alat (ESDM/Geomagz)
Perbedaan episenter gempa bumi berbagai lembaga karena perbedaan metode dan alat (ESDM/Geomagz)
Hingga kini sebenarnya masih terdapat perbedaan data dalam pencatatan peristiwa gempa tersebut. Mulai dari waktu terjadi, episenter, kekuatan, dan jumlah korban. Selain itu, sesar penyebab gempa bumi tersebut juga masih menjadi misteri, meskipun banyak yang meyakini sesar Opak-lah yang menjadi pemicu, tetapi ada juga yang menduga keberadaan sesar aktif lain yang jadi pemicunya. Namun, terlepas dari perbedaan tersebut, gempa bumi kuat yang terjadi di DIY mengingatkan kita untuk bisa tetap eling lan waspada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun