Mohon tunggu...
Ridwan L
Ridwan L Mohon Tunggu... Editor - ASN Kemenkumham

Pernah belajar di FE Unkhair dan FEB UGM. Tinggal di Jogja. Dari Ternate.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Avatar: The Way of Water dan Hikayat tentang Laut

18 Januari 2023   19:41 Diperbarui: 19 Januari 2023   14:31 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

James Cameron serupa tetua adat masyarakat pesisir di Indonesia yang mengajarkan filsafat bahari Nusantara kepada kalayak dunia melalui film Avatar: The Way of Water. 

Film sekuel Avatar itu tak sekadar menyajikan tontonan bermutu secara visual. Ia hendak mengantarkan kita menyelami kesakralan bahari bagi peradaban umat manusia. Perihal ragam prestasi dan keuntungan yang dicapai oleh film Avatar, selebihnya menjelma sejarah dalam industri perfilman.

Samudera Biru

Mengapa film Avatar mampu masuk sebagai film terbaik dengan keuntungan yang besar dibandingkan film lain di industri yang sama? Saya berpendapat bahwa James Cameron menggunakan strategi "samudera biru" yang belum dijangkau pesaingnya. 

Samudera biru merupakan frasa yang dipakai W. Chan Kim dan Renee Mauborgne dalam bukunya Blue Ocean Strategy (2005) untuk menciptakan ruang pasar tanpa pesaing dalam sebuah industri bisnis. Tentu juga berlaku pada industri perfilman. 

Selain pemanfaatan teknologi visual Computer Generated Imagery (CGI), sekuel Avatar sarat makna melalui hikayat tentang laut yang terimajinasi dalam planet Pandora.

Setelah melalui riset yang panjang, James Cameron pun terpikat dengan kehidupan asli Suku Bajo di Indonesia. Ia lantas menyusun cerita, menyiapkan perangkat teknologi secara matang bertahun-tahun, lalu menggarap film bersama timnya hingga kini sekuel Avatar masuk film terlaris sepanjang masa.

Selain visual, keunggulan sekuel avatar itu terletak pada alur cerita. Saat bangsa langit (manusia) berupaya mengeksploitasi sumber daya laut Pandora yang bernilai mahal, mereka harus berhadapan dengan suku Metkayina planet Pandora yang secara turun temurun masih memegang teguh budaya bahari, kepercayaan, dan kesakralan kehidupan laut.

Melalui Avatar: The Way of Water, saya melihat sesuatu yang lebih. Secara tidak langsung James Cameron mengingatkan kita akan legenda Saihu, pemimpin giop (menjala ikan) dari perairan Maluku Utara yang karismatik kepemimpinan, kebijaksanaan, insting, dan visi yang kuat saat hendak "bertarung" di laut.  

Ia serupa Bapa Raja dari perairan Arafura, khususnya Kepulauan Kai, yang hendak mengajarkan Larwul Ngabal, hukum adat yang di antaranya menekankan penghormatan pada laut dan perempuan. Atau para tetua nun bijaksana dari masyarakat Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, yang mengajarkan kearifan lokal Pou Hari untuk menghormati leluhur, laut, dan para "penghuninya".

(Dok: pribadi)
(Dok: pribadi)

"Laut adalah rumahmu. Sebelum dan sesudah kau tiada," begitulah kepercayaan bangsa Metkayina dari Planet Pandora, dalam film Avatar: The Way of Water karya James Cameron.

Mulanya, rasa dilema menyelimuti pemimpin bangsa Navi, Jack Sully yang diperankan Sam Worthington. Turuk Makto atau pemimpin tertinggi dari hutan planet Pandora itu harus meyakinkan keluarganya untuk bermigrasi dari suku Omaticaya—klan hutan Pandora, menuju dunia baru bernama Metkayina atau klan laut di pesisir pantai Pandora.

Jack menyadari bahwa bangsa langit (manusia) mengincar ia dan keluarganya. Tak mau dirinya menjadi tumbal kehancuran Hutan Pandora yang dikenal sakral, ia dan keluarganya terpaksa berpindah. Desa Awa'atlu yang dihuni klan laut Metkayina menjadi pilihan.

Bagi seorang yang tumbuh dan hidup di hutan, kehidupan laut menjelma dunia baru. Hukum rimba survival of the fittest tampaknya berlaku. Ia dan keluarganya harus beradaptasi di kehidupan laut yang asing. Samudera terbentang indah, namun saat dijajal keras bagai karang. Petualangan kehidupan laut penuh misteri pun dimulai.

Hikayat Laut Nusantara

Saya tak bermaksud menceritakan sinopsis film Avatar: The Way of Water. Anda mungkin telah hanyut dan tenggelam di dasar imajinasi visual sekuel Avatar itu. Tentu banyak orang menikmati menonton film garapan James Cameron ini. Apalagi setelah menonton ulang Avatar pertama Oktober lalu. Namun, yang patut kita selami yakni pesan moral dan filosofis yang tengah dikirim Cameron melalui filmnya.

Dalam wawancara bersama National Geographic, Cameron mengakui bahwa ia memiliki romansa dengan lautan sepanjang hidupnya. "Ada orang laut di Indonesia yang hidup di atas panggung dan rumah yang menggunakan arsitektur pohon lokal," kata Cameron takjub. Belakangan kita tahu bahwa suku yang dimaksud Cameron yaitu Suku Bajo yang tinggal di beberapa daerah di Indonesia.

Dalam artikel The Last Sea Nomads of the Indonesian Archipelago: Genomic Origins and Dispersal, yang diterbitkan European Journal of Human Genetic, Pradiptajati Kusuma, dkk (2017) menyebutkan bahwa Suku Bajo adalah kelompok pengembara laut terbesar yang tersisa di dunia. 

Dalam artikel itu, saya tertarik dengan peta distribusi komunitas Suku Bajo di Indonesia. Mereka tersebar di beberapa di pulau yakni Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, bahkan di wilayah kami, Maluku Utara.

(Peta distribusi suku Bajo di Indonesia. Sumber: Pradiptajati Kusuma, dkk; 2017)
(Peta distribusi suku Bajo di Indonesia. Sumber: Pradiptajati Kusuma, dkk; 2017)

Di Maluku Utara jika Anda tengah berangkat dari Sanana, Kepulauan Sula, menuju Ternate pada sore hari menjelang malam, rute kapal akan mengikuti jalur perkambungan terapung Suku Bajo di Utara Sanana. Saya sempat mengabadikan pemukiman Suku Bajo dalam gelap dari atas kapal menggunakan ponsel (sayang, hardisk saya rusak sehingga data-data penting di dalam pun ikut hilang). Suku Bajo tak sekadar pengembara laut terbesar yang tersisa di dunia. Mereka secara turun temurun masih menjaga kepercayaan dan kesakralan laut dalam menunjang keberlangsungan kehidupan mereka.

(Koleksi Majalah Tempo Edisi Khusus
(Koleksi Majalah Tempo Edisi Khusus "Cerita dari Laut; 2015)

Majalah Tempo dalam edisi khusus "Cerita dari Laut" (2015) yang saya koleksi pernah menyajikan rubrik menarik  tentang kehidupan laut dan sosial masyarakat Indonesia. Dalam catatannya, digambarkan bahwa bagi masyarakat Bajo, laut merupakan tempat bersemayam nenek moyang mereka yang disebut Mbo Madilao atau nenek di laut. Sehingga dalam menjaga kelestarian ekosistem laut ada pantangan yang tak boleh dilanggar. Bahkan hal-hal kecil dianggap "mencemari" lautan seperti membuang ampas kopi, air cucian beras, dan kulit jeruk menjadi pantangan saat melaut. Ini memberi pesan bahwa membuang sampah di laut merupakan larangan untuk menjaga ekosistem laut.

Di Indonesia, setiap daerah memiliki hikayat tentang kesakralan kehidupan laut beserta isinya. Pada masyarakat Kepulauan Kai, hukum adat Larwul Ngabal, antara lain mencantumkan penghormatan pada luat dan perempuan. Upaya menjaga kelestraian laut masyarakat di sana diterapkan dalam ritual "sasi" (larangan) yaitu sistem penggiliran ketika menangkap ikan dengan tujuan pelestarian dan kesimbangan ekosistem laut. 

Dalam sasi laut, atau sasi haweyar bahwaren, Bapa Raja atau Kepala Desa membacakan sumpah adat berbunyi:

"Duade, duade. Hukume, hukume. Amdir natahit roa fo am ot sasi fo batang fu ut lola na roa" (Tuhan-tuhan, hukum-hukum. Kami berdiri di pantai tepi laut untuk memasang sasi sebagai simbol menjaga hasil laut sehingga tak diambil sembarang oleh masyarakat. Semuanya adalah untuk kesejahteraan negeri) (Lonthor dan Kabalmay, 2019).

Bagi penduduk Tanjung Bunga, Flores, Nusa Tenggara Timur, jika mereka memperoleh ikan yang lebih atau terdapat ikan yang terdampar, maka akan digelar ritual adat syukuran ehiwaing jereluwo untuk dibagi-bagikan ikan tersebut kepada seluruh warga.

(Seorang Ibu di Malut, berjualan dari atas perahu. Dok: pribadi)
(Seorang Ibu di Malut, berjualan dari atas perahu. Dok: pribadi)

Orang-orang Sangir di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara (sampai Maluku Utara), memiliki budaya gotong royong mekakendage saat melaut yaitu konsep kebersamaan dalam budaya mepalose yaitu saling menolong secara spontan tanpa membedakan strata. Bahkan bahasa khusus dengan tuturan halus atau sasahara digunakan masyarakat Sangir saat melaut karena percaya akan kesakralan laut (mateling).

Hikayat tentang laut Nusantara tak ada habisnya. Masih banyak cerita tentang keluhuran kehidupan laut yang menjadi mata rantai penting bagi keberlangsungan ekosistem kehidupan mahluk lain di semesta. Dahulu, para pendahulu kita mungkin telah menerawang ke arah masa depan. Para leluhur dengan kebijaksanaannya telah menggaris batas-batas apa yang (tidak) dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian alam—tidak hanya untuk laut, namun juga semesta dan segala isinya untuk diwarisi pada generasi penerusnya.

Seperti yang dipercaya bangsa Metkayina dari planet Pandora dalam sekuel Avatar The Way of Water: 

"Prinsip air tak ada awal dan akhir. Laut adalah rumahmu. Sebelum dan sesudah kau tiada. Laut memberi, laut mengambil. Laut penghubung segalanya." Pada titik ini, laut menjadi penghubung masa lalu, hari ini, dan masa depan. Laut patut dijaga kesakralannya.

__

Ridwan L, 18 Januari 2023

Ditulis setahun: dari Desember 2022 di Ternate, diselesaikan 18 Januari 2023, dari Lantai 22, gedung Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, sambil menunggu waktu berangkat ke bandara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun