Mohon tunggu...
Ridwan L
Ridwan L Mohon Tunggu... Editor - ASN Kemenkumham

Pernah belajar di FE Unkhair dan FEB UGM. Tinggal di Jogja. Dari Ternate.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Avatar: The Way of Water dan Hikayat tentang Laut

18 Januari 2023   19:41 Diperbarui: 19 Januari 2023   14:31 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dok: pribadi)
(Dok: pribadi)

"Laut adalah rumahmu. Sebelum dan sesudah kau tiada," begitulah kepercayaan bangsa Metkayina dari Planet Pandora, dalam film Avatar: The Way of Water karya James Cameron.

Mulanya, rasa dilema menyelimuti pemimpin bangsa Navi, Jack Sully yang diperankan Sam Worthington. Turuk Makto atau pemimpin tertinggi dari hutan planet Pandora itu harus meyakinkan keluarganya untuk bermigrasi dari suku Omaticaya—klan hutan Pandora, menuju dunia baru bernama Metkayina atau klan laut di pesisir pantai Pandora.

Jack menyadari bahwa bangsa langit (manusia) mengincar ia dan keluarganya. Tak mau dirinya menjadi tumbal kehancuran Hutan Pandora yang dikenal sakral, ia dan keluarganya terpaksa berpindah. Desa Awa'atlu yang dihuni klan laut Metkayina menjadi pilihan.

Bagi seorang yang tumbuh dan hidup di hutan, kehidupan laut menjelma dunia baru. Hukum rimba survival of the fittest tampaknya berlaku. Ia dan keluarganya harus beradaptasi di kehidupan laut yang asing. Samudera terbentang indah, namun saat dijajal keras bagai karang. Petualangan kehidupan laut penuh misteri pun dimulai.

Hikayat Laut Nusantara

Saya tak bermaksud menceritakan sinopsis film Avatar: The Way of Water. Anda mungkin telah hanyut dan tenggelam di dasar imajinasi visual sekuel Avatar itu. Tentu banyak orang menikmati menonton film garapan James Cameron ini. Apalagi setelah menonton ulang Avatar pertama Oktober lalu. Namun, yang patut kita selami yakni pesan moral dan filosofis yang tengah dikirim Cameron melalui filmnya.

Dalam wawancara bersama National Geographic, Cameron mengakui bahwa ia memiliki romansa dengan lautan sepanjang hidupnya. "Ada orang laut di Indonesia yang hidup di atas panggung dan rumah yang menggunakan arsitektur pohon lokal," kata Cameron takjub. Belakangan kita tahu bahwa suku yang dimaksud Cameron yaitu Suku Bajo yang tinggal di beberapa daerah di Indonesia.

Dalam artikel The Last Sea Nomads of the Indonesian Archipelago: Genomic Origins and Dispersal, yang diterbitkan European Journal of Human Genetic, Pradiptajati Kusuma, dkk (2017) menyebutkan bahwa Suku Bajo adalah kelompok pengembara laut terbesar yang tersisa di dunia. 

Dalam artikel itu, saya tertarik dengan peta distribusi komunitas Suku Bajo di Indonesia. Mereka tersebar di beberapa di pulau yakni Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, bahkan di wilayah kami, Maluku Utara.

(Peta distribusi suku Bajo di Indonesia. Sumber: Pradiptajati Kusuma, dkk; 2017)
(Peta distribusi suku Bajo di Indonesia. Sumber: Pradiptajati Kusuma, dkk; 2017)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun