Mohon tunggu...
Ridwan L
Ridwan L Mohon Tunggu... Editor - ASN Kemenkumham

Pernah belajar di FE Unkhair dan FEB UGM. Tinggal di Jogja. Dari Ternate.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Babari Membangun Ternate Kota Rempah

29 Desember 2022   19:32 Diperbarui: 30 Desember 2022   08:05 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Bersama editor naskah)

__

Esai lomba menulis Ternate Kota Rempah sebelumnya, yang isinya mungkin masih relevan. 

Selamat Hari Jadi Ternate ke-772 Tahun 2022.

***

Aroma rempah-rempah Ternate tak lekang zaman. Ia hidup dalam napas keseharian kita. Juga melalui goresan tinta sejarah. Saat berkunjung ke daerah lain, tak jarang, banyak teman saya bertanya dan menyampaikan ketertarikan mereka tentang Ternate. Mungkin ini juga terjadi pada banyak orang. 

Sejarah rempah-rempah seperti cengkih di Ternate dan pala di Maluku yang menjadi cikal kolonialisasi bangsa Eropa di Nusantara masih tertanam kuat di ingatan kolektif kita. “Suatu waktu, saya ingin kesana melihat Kesultanan Ternate dan benteng-benteng sisa penjajahan bangsa Eropa,” ujar seorang teman, waktu kuliah di Yogyakarta pada 2016 silam. Saya terkesan sekaligus merenung.

Refleksi Sejarah

Sejarah gemilang Ternate tak hanya menjadi perbincangan ringan di warung kopi. Para akademisi dan kalangan dunia pun mencatat Ternate melalui tinta emas lembar sejarah. Konon, Columbus ‘terdampar’ di Amerika, karena sebenarnya mencari pusat rempah-rempah di Ternate, Tidore, Maluku, dan daerah lain di Nusantara.

Kemilau Ternate sebagai kota rempah tak sekadar identik dengan era kolonial. Pada masa jauh sebelum penjajahan, armada laut dari Kesultanan Ternate memiliki wilayah kekuasaan jalur perdagangan yang luas. Ragam momentum sejarah Nusantara termasuk Ternate tersebut, tulis cendekiawan Yudi Latif (2017:132) menjadikan nenek moyang bangsa Indonesia sebagai perintis dari “globalisasi purba”.

Pada era globalisasi modern, penemuan jalur ke Ternate dan daerah lain di Nusantara untuk mencari rempah-rempah melalui Tanjung Harapan pada tahun 1488 oleh penjelajah Eropa, bahkan dicatat ekonom klasik Adam Smith dalam karyanya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation (1776) sebagai penemuan agung yang berdampak besar terhadap sejarah globalisasi hari ini[1]. Kejayaan rempah Ternate pada masa lalu membuat para ahli menyebut Ternate sebagai Titik Nol Jalur Rempah karena sebagai penghasil utama cengkih dunia. 

Peradaban Ternate sebagai kota rempah dunia tentu tidak hanya diisi dengan cerita-cerita gemilang. Kisah kelam nyaris tak lepas dari perjalanannya. Kerugian kongsi dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-18 atas penjarahan rempah-rempah di Ternate, yang dalam istilah Willard A. Hanna dan Des Alwi (1996: 175-176) sebagai “paradoks keuntungan besar”—menawarkan pelajaran berharga bagi kita hari ini tentang pentingnya integritas institusi dalam membangun sebuah tatanan dan peradaban. 

Ragam dinamika yang menyelimuti perjalanannya penting untuk dijadikan bahan perenungan. Sebab, bernostalgia pada masa lalu tidak berarti tenggelam pada euforia semu yang memenjara imajinasi generasi hari ini. Ini justru momentum refleksi untuk membangun apa yang terbaik dari masa lalu, sebagai pilihan pijakan bagi langkah hari ini, menuju masa depan yang lebih gemilang. Meminjam kalimat Gufran Ali Ibrahim (2004): “cara terbaik menghargai sejarah adalah memaknainya dan memberi ruang untuk pertumbuhan masa depan”[2]. Mari kita lihat ruang-ruang pertumbuhan yang dapat dimanfaatkan. 

City branding

Ternate sebagai daerah penghasil rempah tak sekadar euforia. Pemerintah Kota Ternate dengan serius membangun city branding Ternate Kota Rempah yang kini telah terdaftar pada Kementerian Hukum dan HAM RI melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.

Saya melihat, city branding Ternate Kota Rempah merupakan ikhtiar penting yang berbarengan dengan dua momentum penting. Pertama, ikhtiar ini sejalan dengan upaya pemerintah pusat untuk mendaftarkan Jalur Rempah Nusantara sebagai Warisan Budaya Dunia ke UNESCO[3]. Eksistensi “Ternate Jalur Rempah” dapat berperan sebagai penyangga bagi upaya pemerintah Indonesia dalam mendiseminasi “nilai universal yang luar biasa” (outstanding universal value) sebagai salah satu syarat pengajuan Jalur Rempah Nusantara dalam ajang nominasi Warisan Budaya Dunia ke UNESCO. Hal ini tidak hanya memosisikan peran Ternate di kancah nasional, lebih dari itu dapat memperkuat nilai tawar Ternate Kota Rempah pada level nasional dan internasional. 

Kedua, Ternate Kota Rempah dalam konteks pembangunan daerah merupakan momentum membangun perekonomian daerah berbasis pada kreativitas dan inovasi berbasis kekayaan intelektual. Ekonomi kekayaan intelektual merupakan poros baru ekonomi seperti yang disampaikan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly. Ini penting, karena ekonomi berbasis kekayaan intelektual baik personal maupun komunal memiliki sumber daya yang tidak terbatas. Sementara ekonomi berbasis pada sumebr daya alam memiliki sumber daya yang terbatas.

Banyak ahli telah meneropong ke arah sana. Ekonom INDEF, Pratama dan Yustika dalam Ekonomi Inovasi (2021) mencatat bahwa, kini terjadi terjadi pergeseran orientasi pembangunan ekonomi dari yang berbasis pada sumber daya alam (SDA) menuju yang ekonomi yang berbasis pada pengetahuan dan inovasi.

Kendati demikian, membangun city branding Ternate Kota Rempah bukan tanpa syarat. Dalam penelitian Firmanda Satria dan Fadillah (2021), city branding yang menghendaki terciptanya keunggulan kompetitif melalui daya tarik investasi dan pariwisata, serta memperkuat identitas lokal dan menghindari adanya eksklusivitas sosial harus dapat dilakukan melalui kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan tanpa melihat latar belakangnya. 

Hasil penelitian keduanya menyimpulkan, tahapan perancangan city branding yang dilakukan kota-kota di Indonesia belum melalui tahapan keterlibatan masyarakat dalam proses perancangan. Sementara Can Seng Ooi (2011) menilai, proses city branding harus dimulai dari dukungan masyarakat lokal[4]. 

Saya percaya, Ternate adalah pengecualian. Adanya kolaborasi Pemerintah Kota Ternate dengan lembaga negara, masyarakat, kampus, media, dan berbagai entitas melalui beragam wadah, merupakan bentuk semangat babari atau dalam kearifan lokal masyarakat Ternate dikenal sebagai gotong-royong untuk menyusun perancangan dan pembangunan city branding Ternate Kota Rempah secara inklusif.

Namun, penting untuk menjadi perhatian, yakni terciptanya kolaborasi seluruh pihak tidak sekadar dimaknai pada proses perancangan. Pekerjaan rumah terbesar adalah keberlanjutan sinergitas berbagai pihak (terutama masyarakat lokal) dalam rancang-bangun pengembangan “Ternate Kota Rempah” dalam beragam dimensi secara berkelanjutan. Kita dapat memperkuat modal sosial babari (gotong royong) sebagai bagian penting kolaborasi membangun Ternate Kota Rempah.

 Gosora se bualawa

Membangun perabadan kota, termasuk sebuah entitas seperti negara, butuh babari (gotong royong) di antara semua pihak. Tantangan dan gejolak tentu saja ada, terbentang, bahkan menganga. Namun, jika bergandengan tangan, tantangan dapat berubah menjadi peluang.

Saya selalu teringat, sastra lisan Ternate yang sering diucapkan Ibu saya:

Ino fo maka tinyinga doka gosora se bualawa. Om doro yo mamote, fo magogoru se madudara (marilah kita bertimbang rasa, bagaikan pala dan fulinya. Matang dan gugur bersama, dilandasi kasih dan sayang)”.

Falsafah yang memiliki nilai-nilai universal ini penting diperkuat dalam membangun Ternate Kota Rempah yang lebih baik di tengah zaman yang terus berubah. Pilihan sejarah ini patut diperjuangkan. Bukan sekadar penghormatan kepada pengorbanan para leluhur. Lebih dari itu, sebagai ikhtiar mewarisi kota Ternate yang lebih baik bagi generasi penerus.

Referensi

Can Seng Ooi. 2011. Paradoxes of City Branding and Societal Changes. Dalam buku City Branding: Theory and Cases. Palgrave Macmillan. London.

Firmanda Satria dan Fadillah. 2021. “Konsep City Branding dan Identifikasi Nilai Lokal pada Kota-Kota Indonesia dalam Mendukung Nation Branding Indonesia”. Jurnal Desain. Volume 8, Nomor 2.

Gufran Ali Ibrahim. 2004. Mengelola Pluralisme. PT Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama dengan Universitas Khairun Ternate. Jakarta.

Willard A. Hanna dan Des Alwi. 1996. Ternate dan Tidore: Masa Lalu Penuh Gejolak. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Yudi Latif. 2017. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

(Pemenang lomba. Dok: pribadi)
(Pemenang lomba. Dok: pribadi)

(Bersama editor naskah)
(Bersama editor naskah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun