Suasana yang tergambar dalam cerita meliputi haru ketika sang ibu mengenali anaknya, ketegangan saat Malin menyangkal hubungannya dengan ibunya, dan tragedi ketika Malin menerima hukuman atas tindakannya. Fakta cerita mendukung tema utama, yaitu konsekuensi dari kedurhakaan terhadap orang tua, sekaligus menyampaikan pesan moral yang kuat.
3. SARANA CERITA
Sarana cerita dalam cerpen “Anak yang Durhaka kepada Ibunya” meliputi beberapa elemen penting, seperti judul, sudut pandang, gaya bahasa, simbolisme, dan ironi. Judul cerita langsung mencerminkan isi cerita, yaitu kisah seorang anak yang tidak menghormati ibunya. Judul tersebut tidak hanya memberikan gambaran awal tentang cerita, tetapi juga menyampaikan pesan moral bahwa kedurhakaan terhadap orang tua membawa konsekuensi tragis. Pesan ini diperjelas melalui akhir cerita, di mana Malin dihukum menjadi batu akibat tindakannya.
Cerita ini menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu, yang memberikan keleluasaan bagi penulis untuk menggambarkan perasaan, pikiran, dan tindakan setiap tokoh secara mendetail. Melalui sudut pandang ini, pembaca dapat melihat pengorbanan besar sang ibu, perubahan karakter Malin setelah menjadi kaya, dan hukuman akhirnya diterima atas kedurhakaannya.
Gaya bahasa dalam cerita ini sederhana dan naratif, sehingga mudah dipahami oleh pembaca dari berbagai latar belakang. Dialog-dialog yang ditampilkan memberikan kedalaman emosional pada konflik cerita. Salah satu contohnya adalah ketika Malin dengan kasar berkata kepada ibunya:
"Hei, kau wanita tua, siapa kau hingga berani memanggilku anakmu?"
Cerpen ini juga mengandung simbolisme, yang terlihat pada kutukan mengubah Malin menjadi batu. Batu tersebut melambangkan kekerasan hati Malin sekaligus akibat dari tindakannya yang durhaka. Selain itu, badai dan petir yang terjadi menggambarkan murka alam sebagai bentuk balasan atas dosa Malin.
Unsur ironi terlihat dalam nasib tragis hubungan antara Malin dan ibunya. Sang ibu, penuh kasih sayang dan rela berkorban demi anaknya, akhirnya diabaikan dan dihina oleh Malin setelah ia mencapai kesuksesan. Ironisnya, Malin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya sudah terlambat. Hal ini tampak jelas saat Malin memohon ampun dengan berkata:
"Ibu, tolong ampuni aku. Tolong selamatkan aku,"
Namun, permintaan itu tidak mampu mengubah takdirnya. Ironi ini memperkuat pesan moral bahwa kedurhakaan terhadap orang tua tidak hanya menyakitkan, tetapi juga membawa dampak buruk yang tidak bisa diperbaiki.
Sarana cerita dalam cerpen ini dirancang dengan baik untuk mendukung tema utama, yakni konsekuensi dari kedurhakaan terhadap orang tua. Melalui kombinasi judul, sudut pandang, gaya bahasa, simbolisme, dan ironi, cerita ini berhasil menyampaikan pesan moral yang kuat dan menggugah perasaan pembaca.