Mohon tunggu...
Ridwan Hasyimi
Ridwan Hasyimi Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja Seni

Berteater, nari, dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Soal Gedung Kesenian (Lagi)

20 Januari 2023   11:09 Diperbarui: 20 Januari 2023   14:26 1764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks bisnis jasa sewa tempat/gedung, harga Rp2.000.000/hari include fasilitas sedemikian rupa tentu tergolong murah. Sangat murah. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa GKKT adalah fasilitas publik milik PemKot yang---sesuai namanya---terutama diperuntukan bagi kegiatan kesenian dan kondisi perekonomian seni pertunjukan di Kota Tasikmalaya, harga sedemikian itu relatif cukup berat.

Apalagi hari ini penyewa harus mengeluarkan kocek lebih untuk sewa lampu panggung karena kondisi GKKT sedang tidak prima. Konsekuensi dari hal tersebut, akan ada kerja pemasangan lampu yang menyita waktu, sumber daya manusia, dan biaya operasional tersendiri.

Dengan harga sewa dan kondisi sedemikian rupa, berapa rupiah suatu kelompok seni harus menjual tiket agar tidak merugi? Harga Tiket Masuk (HTM) yang umum di Kota Tasik untuk pertunjukan teater, misalnya, umumnya berkisar antara Rp10.000-25.000.

Pada margin terbawah, jika suatu kelompok berhasil menjual tiket sesuai kapasitas maksimal penonton GKKT sebanyak 250 penonton, maka mereka akan mendapat cuan Rp2.500.000 per kali pentas. Pada margin tertinggi dengan formula kalkulasi yang sama, kelompok itu akan mendapat Rp6.250.000.

Dengan nominal seperti itu, seni pertunjukan di Tasikmalaya sepertinya masih belum cukup untuk menghidupi para pelakunya. Hasil penjualan tiket lebih sering ludes oleh hutang biaya produksi, konsumsi, sewa ini-itu, biaya operasional, dan hal lain di luar honorarium.

Apakah kesejahteraan seniman menjadi soal? Ya, tergantung pada senimannya: apakah mau menjadikan hal itu persoalan atau tidak? Apakah Pemkot Tasikmalaya tahu akan hal ini, bahwa sudah sekian lama GKKT tidak prima dan "representatif" seperti dulu lagi? Tergantung pemerintahnya, mau tahu atau tidak? Peduli atau tidak?

Di Ciamis, tarif sewa GKC tercantum dalam Peraturan Bupati (Perbup) Ciamis Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah. Pada Perbup tersebut, terdapat dua jenis kegiatan dalam konteks penyewaan GKC, yakni komersial dan nonkomersial. Untuk kegiatan komersial, tarif sewa GKC pada waktu siang hari dibandrol Rp2.000.000, malam Rp2.500.000, dan satu hari Rp3.000.000. Sedangkan, harga untuk nonkomersial dikurangi Rp500.000 hari masing-masing tarif komersial: siang menjadi Rp1.500,000, malam menjadi Rp2.000.000, dan satu hari menjadi Rp2.500.000.

Seluruh nominal tersebut berlaku untuk per satu kali pemakaian. Perbup itu tidak merinci definisi atau batasan "per satu kali pemakaian". Akibatnya, keterangan tersebut bisa dimaknai beragam. Bagi saya, per satu kali pemakaian untuk sebuah pertunjukan teater bisa jadi satu minggu. Asumsi paling tidak idealnya: pentas satu hari, gladi bersih satu hari, gladi kotor satu hari, set lampu dan artistik satu hari, dan tiga hari untuk latihan dan adaptasi panggung.

Selain ketidakjelasan itu, GKC juga---setahu saya---belum memiliki fasilitas lampu panggung dan sound system sama sekali. Artinya, gedung itu kosong molongpong. Karena gedung itu tidak didesain sebagai gedung kesenian/pertunjukan, maka kualitas akustiknya kurang bagus dan tidak sesuai dengan kaidah akustik sebuah gedung kesenian/pertunjukan tertutup (indoor).

Menyikapi keberadaan GKC, seniman-seniman Ciamis punya sikap yang beragam. Ada yang tidak peduli sebab merasa tidak memerlukan. Mereka yang bersikap seperti ini menilai eksistensi kesenimanannya bukan dibangun di fasilitas kesenian khusus semacam GK, melainkan di panggung hajat dan "event" sehingga merasa kurang membutuhkan GK.

Ada juga seniman yang merasa bangga dan berterima kasih kepada pemerintah karena telah diberi fasilitas berkesenian meski ia tak pernah sekalipun berkesenian di sana. Ada kalangan yang mengkritik keras keberadaan gedung itu kerana dinilai ngawur dan malfungsi. Ada juga yang berupaya merespon GKC dengan berbagai siasat teknis agar kegiatan kesenian yang digelar bisa nikmat diapresiasi dan gratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun