Beberapa budaya di Nusantara punya cara pandang khas mengenai gender. Tidak seperti cara pandang gender yang biner pada umumnya, kebudayaan tersebut punya ruang bagi gender selain perempuan feminim dan laki-laki maskulin. Yang paling masyhur, tentu saja, budaya Bugis.Â
Bangsa yang banyak bermukim di Sulawesi Selatan itu membagi masyarakatnya ke dalam lima gender: oroane (laki-laki maskulin), makarunai (perempuan feminim), calalai (perempuan berpenampilan laki-laki/maskulin), calabai (laki-laki berpenampilan perempuan/feminim), dan bissu (bukan keempatnya sekaligus gabungan keempatnya). Â
Tidak hanya Bugis, fluditas gender juga terdapat pada tradisi Lengger Lanang di Banyumas, Reog Ponorogo dengan warok-gemblaknya, tari Rateb Sadati asal Aceh, dan sejumlah tradisi lain.[i] Ekspresi gender mereka dilakukan bahkan secara performatif dalam bentuk kesenian alih-alih sembunyi-sembunyi.Â
Dalam beberapa tradisi, para transgender tersebut bahkan menempati posisi yang terhormat dalam struktur sosial masyarakatnya. Akar dari fenomena ini adalah cara pandang pemilik budaya tersebut atas dunia dan kehidupan. Mereka memandang dunia dan kehidupan tidak  dengan kaca mata oposisi biner.Â
Di antara yang berseberangan, pasti ada ruang antara. Ruang inilah yang dipandang mengandung sakralitas. Dalam konteks makrokosmos, ruang antara ini adalah axis mundi antara dunia manusia (profan) dan dunia dewata (sakral).Â
Dalam konteks gender seperti yang terdapat dalam budaya Bugis, gender antara laki-laki dan perempuan justru yang paling dihormati. Dialah bissu, semacam shaman yang diyakini dapat menghubungkan manusia dengan dunia roh.
Fenomena transgender pada tradisi Nusantara agaknya tidak setenar di dunia hiburan. Waria, banci, atau wandu menjadi sosok yang kerap kali sengaja dihadirkan di panggung hiburan demi mengundang gelak tawa. Sebagian orang ada yang merasa takut dan jijik. Sebagian lain merasa terhibur dengan tingkahnya yang dianggap kocak dan lucu.
Pada masyarakat Sunda hari ini, kehadiran transgender di panggung hiburan mudah ditemukan di  acara pesta pernikahan. Dewasa ini, Karasmen Mapag Pangaten (KMP) atau yang kini umum disebut Upacara Adat Mapag Panganten (UAMP) sering kali menghadirkan tokoh Ambu yang diperakan oleh laki-laki.Â
Ambu merupakan tokoh istri Lengser. Mulanya yang memerakan biasanya perempuan tulen. Mulanya, Ambu digambarkan sebagai seorang nenek-nenek. Tentu saja, sebab suaminya pun, Lengser, digambarkan sebagai kakek-kakek. Namun, kini telah banyak Ambu yang berpenampilan jauh dari kesan nenek-nenek.Â
Makin banyak pula Ambu yang diperankan oleh laki-laki alias Ambu Wandu. Mereka berdandan dan berbusana layaknya waria pada umumnya.Â
Dalam UAMP, sering kali Ambu justru yang paling ditunggu-tunggu. Penonton---dan mungkin juga yang punya hajat---lebih mengapresiasi tingkah centil dan heboh Ambu ketimbang gerakan indah para mamayang (penari perempuan) maupun para penari laki-laki. Saking bintangnya seorang Ambu, pihak yang punya hajat atau Wedding Organizer kadang kala mundut (meminta) kepada kelompok seni ingin di-Ambu-i oleh si B, umpamanya. Sangat jarang ada yang secara khusus ingin di-mamayang-i, dibaksaan, atau dipayungi si Anu.
Di sisi sebrangnya, ada sebagian masyarakat, bahkan seniman dan budayawan Sunda, yang menolak keberadaan Ambu Wandu. Ada yang karena jijik atau takut. Ada pula yang alasannya lebih argumentatif. Ambu Wandu dianggap menciderai apa yang diyakini sebagai keluhuran adat dan kemurnian tradisi.Â
Namun, benarkan UAMP adalah tradisi Sunda yang ajeg turun temurun? Apakah keberadaan Ambu Wandu (trangender) pada UAMP merupakan pengembangan dari tradisi Sunda? Apakah budaya Sunda punya ruang antara untuk transgender?
Menilik dari akar sejarahnya, KMP sebagai akar dari UAMP hari ini mula-mulanya digagas oleh budayawan Sunda Wahyu Wibisana pada tahun 1964 berdasar dari apa sebelumnya telah ada.Â
Sebelumnya, pada tahun 1960, R. Rahmat Sukma Saputra, mantan Kepala Urusan Kebudayaan Jawa Barat yang juga seorang penari tayub menggagas prosesi penyambutan calon pengantin laki-laki di kediaman mempelai perempuan. Musik yang digunakan dalam prosesi tersebut berupa gending gamelan degung. Sementara, para penari terdiri dari penari gulang-gulang, penari payung, dan penari baksa. Tidak ada mamayang.Â
Penari perempuan baru ikut menari dalam garapan Wahyu Wibisana. Tidak seperti mamayang, Lengser sudah ambil bagian sejak digagas R. Rahmat Sukma Saputra.[ii] Tentu saja ia tampil tanpa pasangan. Tokoh lengser sendiri punya akar tradisi yang kuat, salah satunya dari carita pantun Mundinglaya Dikusumah. Dalam pantun ini, sama sekali tidak dikisahkan ada sosok Ambu Lengser.
Di awal tahun 1900-an ritual adat pernikahan Sunda bisa dijejaki berada di Pendopo Kabupaten atau Kadaleman. Yang dimaksud ritual adat bukan hanya penyambutan calon pengantin, melainkan seluruh rangkaian adat yang bersangkutan dengan penikahan. Sebuah video hitam putih produksi Koloniaal Intituut Amsterdam menunjukan pernikahan Goemari Soepitaningrat, anak Bupati Ciamis R. A. A. Koesoemasoebrata, dengan Moehammad Moesa Soeriakartalegawa, anak Bupati Limbangan (Garut) R. A. Wiratanoedatar VIII. Hajatan ini terjadi pada tahun 1913 [iii] Pada video tersebut, tidak ada prosesi yang kini dikenal dengan UAMP. Pun demikian Lengser dan Ambu, sama sekali tidak ada dalam rekaman.
Sejak digagas sedemikian rupa oleh Wahyu Wibisana, KMP agaknya memang tidak dimaksudkan sebagai sebentuk seni tradisi dengan pakem-pakem rigid. Ia sangat longgar dan adaptif terhadap segala kemungkinan pengembangan. Oleh karenanya, tiap daerah di Jawa Barat, bahkan tiap kelompok seni, punya bentuk yang boleh jadi berbeda. Keterbukaan ini pula yang memungkinkan Ambu Wandu bisa diserap menjadi bagian dari prosesi tersebut.Â
Mengapa diserap? Sebab, besar kemungkinan ia merupakan pengaruh budaya populer, yakni waria baik dalam konteks dunia entertainment maupun keberadaan di ruang-ruang lain. Budaya Sunda agaknya tidak punya tradisi transgender seperti Bugis atau Banyumas. Digali lebih jauh ke konsep seks dan gender dalam budaya Sunda pun sukar ditemukan jejak gagasan yang demikian.
Dalam kebudayaan Sunda, perempuan diposisikan lebih mulia ketimbang laki-laki. Dalam sejumlah carita pantun dan mitologi Sunda, perempuan kerap kali menjadi personifikasi atau manifestasi dari kekuatan Adi Kodrati. Sebut saja, Sunan Ambu dan Dewi Sri (Dewi Padi), dua sosok yang secara seks dan gender diyakini sebagai perempuan dan, tentu saja, feminim. Tidak ada ruang antara yang memungkinkan meleburnya gender seperti dalam budaya Bugis.
Dalam Estetika Paradoks-nya Prof. Jakob Sumardjo, budaya Sunda dikategorikan sebagai kebudayaan berpola tiga. Artinya, segala wujud budaya Sunda (gagasan/nilai, tindakan/laku, dan karya) terdiri dari tiga unsur. Menurut teori ini, Sunda punya ruang antara. Atas, bawah, tengah. Depan, belakang, tengah. Profan, sakral, profan-sakral. Dan lain sebagainya. Dalam bahasa gender: maskulin, feminim, maskulin-feminim. Namun, "gender ketiga" ini sukar ditemukan perwujudan dalam bentuk yang lebih konkret dalam budaya Sunda. Maskulin-feminim nampaknya lebih merupakan nilai (value) atau kualitas alih-alih ekspresi gender. Apalagi sebagai ekspresi performatif seperti Ambu Wandu, tidak mudah menemukan akar budayanya untuk tidak menyebut tidak ada sama sekali.
Dengan hadirnya Ambu Wandu, musik yang sudah sedemikian kolaboratif, bentuk tarian yang sudah sepenuhnya kreasi baru, UAMP lebih pas disebut sebagai kesenian kontemporer dalam arti yang terkini ketimbang dipaksakan sebagai seni tradisi. Ia telah sangat hibrid dan absortif atas berbagai kebudayaan lain dalam ragam lapisan: gagasan, pola, bentuk, dan gaya.Â
Terlebih, sejumlah kelompok seni telah mampu mengelola UAMP secara lebih profesional seperti entertainer lainnya. Lambat laun, tidak menutup kemungkinan UAMP menjadi industri showbiz di mana Ambu Wandu menjadi bintang paling bersinar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H