Mohon tunggu...
Ridwan Hasyimi
Ridwan Hasyimi Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja Seni

Berteater, nari, dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melacak Ambu Wandu

24 Januari 2022   15:23 Diperbarui: 25 Januari 2022   07:41 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bissu Dewata (https://commons.wikimedia.org/wiki/File: Bissu_Dewata_(130208529).jpeg)

Beberapa budaya di Nusantara punya cara pandang khas mengenai gender. Tidak seperti cara pandang gender yang biner pada umumnya, kebudayaan tersebut punya ruang bagi gender selain perempuan feminim dan laki-laki maskulin. Yang paling masyhur, tentu saja, budaya Bugis. 

Bangsa yang banyak bermukim di Sulawesi Selatan itu membagi masyarakatnya ke dalam lima gender: oroane (laki-laki maskulin), makarunai (perempuan feminim), calalai (perempuan berpenampilan laki-laki/maskulin), calabai (laki-laki berpenampilan perempuan/feminim), dan bissu (bukan keempatnya sekaligus gabungan keempatnya).  

Tidak hanya Bugis, fluditas gender juga terdapat pada tradisi Lengger Lanang di Banyumas, Reog Ponorogo dengan warok-gemblaknya, tari Rateb Sadati asal Aceh, dan sejumlah tradisi lain.[i] Ekspresi gender mereka dilakukan bahkan secara performatif dalam bentuk kesenian alih-alih sembunyi-sembunyi. 

Dalam beberapa tradisi, para transgender tersebut bahkan menempati posisi yang terhormat dalam struktur sosial masyarakatnya. Akar dari fenomena ini adalah cara pandang pemilik budaya tersebut atas dunia dan kehidupan. Mereka memandang dunia dan kehidupan tidak  dengan kaca mata oposisi biner. 

Di antara yang berseberangan, pasti ada ruang antara. Ruang inilah yang dipandang mengandung sakralitas. Dalam konteks makrokosmos, ruang antara ini adalah axis mundi antara dunia manusia (profan) dan dunia dewata (sakral). 

Dalam konteks gender seperti yang terdapat dalam budaya Bugis, gender antara laki-laki dan perempuan justru yang paling dihormati. Dialah bissu, semacam shaman yang diyakini dapat menghubungkan manusia dengan dunia roh.

Fenomena transgender pada tradisi Nusantara agaknya tidak setenar di dunia hiburan. Waria, banci, atau wandu menjadi sosok yang kerap kali sengaja dihadirkan di panggung hiburan demi mengundang gelak tawa. Sebagian orang ada yang merasa takut dan jijik. Sebagian lain merasa terhibur dengan tingkahnya yang dianggap kocak dan lucu.

Pada masyarakat Sunda hari ini, kehadiran transgender di panggung hiburan mudah ditemukan di  acara pesta pernikahan. Dewasa ini, Karasmen Mapag Pangaten (KMP) atau yang kini umum disebut Upacara Adat Mapag Panganten (UAMP) sering kali menghadirkan tokoh Ambu yang diperakan oleh laki-laki. 

Ambu merupakan tokoh istri Lengser. Mulanya yang memerakan biasanya perempuan tulen. Mulanya, Ambu digambarkan sebagai seorang nenek-nenek. Tentu saja, sebab suaminya pun, Lengser, digambarkan sebagai kakek-kakek. Namun, kini telah banyak Ambu yang berpenampilan jauh dari kesan nenek-nenek. 

Makin banyak pula Ambu yang diperankan oleh laki-laki alias Ambu Wandu. Mereka berdandan dan berbusana layaknya waria pada umumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun