Mohon tunggu...
Ridwan Hasyimi
Ridwan Hasyimi Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja Seni

Berteater, nari, dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Geblug" dan Oleh-Oleh Menonton Malu-Malu Hatedu

30 Maret 2021   23:53 Diperbarui: 31 Maret 2021   00:55 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bencana" itu berlatar sesi latihan terakhir pertunjukan. Sutradara memeriksa hasil kerja asistennya. Di depannya, seorang aktor berdiri mematung di atas sebuah balok kayu. Ia menanyakan sekaligus mengoreksi banyak hal tentang kostum, rambut, topi, tangan, dan arah pandangan sang aktor kepada asisten.

Segala yang dikerjakan asisten dirombaknya habis-habisan. Sekilas saja penonton dapat mengerti bahwa sutradara semacam itu patut disebut sutradara otoriter. Sementara sang aktor manut saja tanpa tawar-menawar. Apalagi memberontak, Di penghujung, sutradara menganggap "hasil ciptaannya" mantap lalu terdengarlah suara penonton bertepuk tangan. Ia pergi. Sambil mengangkat kepala menatap kepergian sutradara, aktor itu bilang, "bajingan, belum juga kau menghabisiku."

Sebagaimana garapan Abuy sebelum-sebelumnya yang kaya akan lagu, "Geblug" pun begitu. Lagu ada di awal, tengah, dan akhir. Yang terakhir, liriknya berisi bencana wabah dan sejumlah bencana alam: banjir, gempa, badai, naiknya permukaan air laut, gunung meletus. "Sampai begitu mata terbuka, kita tak lagi melihat manusia," demikian lirik terakhir di lagu pamungkas. Geblug. Manusia jatuh karena bencana.

dokpri
dokpri
Apa sih yang ingin disampaikan sutradara?

Jawaban pertanyaan itu saya juga tidak tahu. Harus tanya ke Abuy langsung. Saya enggan bertanya. Ngga asik bertanya tentang maksud sebuah karya seni langsung pada seniman kreatornya. Kecuali senimannya bocor: setelah berdarah-darah menciptakan karya, cermat, teliti, dan hati-hati menggunakan simbol dan kekuatan imajinasi, ujung-ujungnya dijelaskannya juga secara verbal.

Kalau masih bertanya juga, apa artinya menonton? Mengapresiasi? Sebagai penonton kelas receh, saya hanya berikhtiar memahami apa yang saya tonton dengan segala keterbatasan saya.

Seperti saya tulis di atas, secara singkat "Geblug" bisa saja dikunyah cepat tentang lima aktor nu teu kapak ku sutradara yang otoriter. Ia malah memilih mematut-matut aktor utama semaunya sendiri. Ditawari hal kontekstual, ia enggan. Geblug. Aktor tak berdaya. Seniman dan kesenian jauh dari kehidupan. Geblug.    

Tapi masa iya cuma itu? Sebagai penonton, saya, dan juga barangkali yang lain, kan bertanya: kenapa memilih fragmen lakon-lakon absurd? Kenapa tidak lakon realis saja biar gampang dikunyah? (Eh, siapa bilang realis gampang dikunyah? Drama realis juga terkadang berlapis-lapis. Persis kehidupan.)

Ketika ngobrol santai usai pertunjukan, Abuy bilang bahwa kecuali "Bencana", semua lakon yang fragmennya dimainkan itu pernah ia pentaskan. Semacam nostalgia di Hatedu.

dokpri
dokpri
Saya tidak puas jika "Geblug" sekedar romantisme personal sutradara belaka.

"Geblug" adalah gambaran absudrnya dunia hari ini. Barangkali juga termasuk (kondisi) teater. Orang-orang mencari sesuatu yang bahkan tak diketahuinya secara pasti ("Menunggu Godot"). Lelah mencari, mereka (atau kita?) menanti. Dalam penantian yang juga tak pasti itu, mereka/kita berharap sesuatu itu datang ("Kereta Kencana"). Tapi, setelah semua dilalui, yang dinanti itu tak kunjung tiba. Ujung-ujungnya, sendiri dalam sepi ("Nyanyian Angsa"). Semua adalah sia-sia, seperti aktor yang mati-matian latihan tapi sutradara tak berkenan ("Bencana").

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun