PENDAHULUAN
Posisi Laut Natuta Utara dapat dikatakan sebagai laut semi-tertutup yang di kelilingi oleh lebih dari dua negara, dan terhubung dengan laut atau samudera lain melalui selat yang sempit. Sebagaimana United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 yang mengatur laut semi-tertutup pada Pasal 122 (Nations). Menurut Hasjim Djalal pakar hukum laut internasional, dalam jurnal Indonesia and the South China Sea Initiative tahun 2010 berargumen bahwa dasar untuk menangani konflik Laut China Selatan (LCS) sebagai laut semi-tertutup yang bersengketa sampai ke teritori Laut Natuna Utara adalah Pasal 123, UNCLOS yang menyerukan negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau semi-tertutup untuk;
- mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi, eksplorasi, dan eksploitasi sumber daya hayati laut.
- mengkoordinasikan implementasi hak dan kewajiban mereka terkait perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
- mengkoordinasikan kebijakan penelitian ilmiah dan melaksanakan program penelitian ilmiah bersama jika dipandang perlu di wilayah tersebut.
- mengundang, jika perlu, negara lain atau organisasi internasional yang tertarik untuk bekerjasama dengan mereka dalam menjalankan ketentuan pasal ini.
Lalu Hasjim Djalal juga berpendapat bahwa dalam sengketa LCS Indonesia berperan tidak ingin melihat pengulangan konflik,terutama mengingat adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan dan juga telah terjadi bentrokan angkatan laut di Laut Cina Selatan pada masa lalu. Upaya mengelola potensi konflik didorong oleh keyakinan bahwa kerja sama lebih baik dari pada konfrontasi, dan membicarakan kerja sama lebih baik dari pada mempersiapkan pertempuran (Djalal, 2010).
Antara China dan Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 sebagai hukum laut internasional yang legally binding atau memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Indonesia meratifikasi pada tahun 1986, Sementara China meratifikasi pada tahun 1996Â (Nations, 2023).
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, merasakan bahwa sektor maritim adalah hal yang sangat vital, perekonomian Indonesia selama beberapa dekade terakhir ditunjang dari sektor maritim yang merupakan sumber perdagangan dan mata pencaharian bagi negara dan rakyatnya. Deklarasi Djuanda tahun 1957 menegaskan laut adalah kedaulatan dengan menyebutnya sebagai tanah air. Namun demikian, menjadi negara dengan jumlah belasan ribu pulau membuat Indonesia sangat rentan terhadap penangkapan ikan ilegal, dan sengketa perbatasan. Indonesia tetap menegaskan bahwa dirinya bukan bagian dari sengketa LCS, dan menjaga jarak dari negara-negara pemohon aktif di International Court of Justice (Mahkamah Internasional) seperti Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia (Kipgen, 2021). Meskipun China sudah meratifikasi rezim internasional ini, China mengklain bahwa kedaulatannya atas 9 garis putus-putus di LCS adalah 100% sah miliknya dan tidak dapat disangkal. Meski demikian, sikap Indonesia atas klaim teritorial LCS, tidak memposisikan sebagai negara pemohon dalam sengketa LCS, bahkan Indonesia menawarkan diri untuk menjadi pihak penengah yang jujur dalam sengketa ini (Patrik Kristhope Meyer, 2019).
RESPONS INDONESIA PADA SENGETA LCS
Indonesia bukan negara pemohon di ICJ dalam sengketa LCS, tetapi klaim China atas sembilan garis putus-putus tumpang tindih dengan sebagian ZEE Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Sebagai negara bukan pemohon, Indonesia berpandangan bahwa negara ini dapat berperan sebagai pihak mediator, pandangan yang mulai diadvokasikan pada 1990 dengan menyelenggarakan serangkaian lokakarya informal yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan saling percaya di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Keterlibatan Indonesia di second track diplomacy berkontribusi pada first track diplomacy yang telah menyebabkan penandatanganan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC)pada 2002 oleh China dan ASEAN yang akhirnya mengarah pada kesepakatan mengenai draft tunggal Code of Conduct (COC) di antara negara-negara pihak pengklaim pada tahun 2018 (Kipgen, 2021, p. 117).
PERAN INDONESIA DALAM DIPLOMASI SENGKETA LCS
Presiden ke-20 Konferensi Negara-Negara pihak Hukum Laut Arif Havas Oegroseno, mengatakan bahwa peran Indonesia dalam sengketa LCS berakar pada Pasal 16 Treaty of Amity and Cooperation (TAC) ASEAN yang menyatakan bahwa"Hal ini tidak menghalangi para pihak tinggi kontrakan lainnya yang bukan pihak dalam sengketa untuk menawarkan segala bantuan yang mungkin dalam menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak dalam sengketa seharusnya bersikap terbuka terhadap tawaran bantuan tersebut."  Sejak 1990, Indonesia telah memainkan peran secara aktif berpartisipasi dalam second track diplomacy untuk mengelola sengketa, mengurangi ketegangan, dan menciptakan serta meningkatkan suasana kepercayaan melalui hukum internasional, terutama melalui Pasal 122 dan 123 UNCLOS 1982 tentang kerja sama laut tertutup dan semi-tertutup. Oegroseno mengatakan bahwa UNCLOS mungkin telah memberikan dimensi baru pada klaim-klaim yang tumpang tindih, tetapi hal itu tidak dapat menyelesaikan sengketa. Ia menyarankan bahwa TAC adalah satu-satunya jalan bagi semua negara pemohon untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Kipgen, 2021, pp. 122-123).
Meskipun TAC terkesan sebagai wadah yang baik bagi ASEAN dan China untuk menyelesaikan sengketa LCS, hal itu tidak realistis dan bermasalah. Sebagai contoh, China mengakses TAC pada 2006 tetapi ASEAN belum menggunakan TAC untuk meminta pertanggungjawaban China atas kewajibannya di LCS terkait mekanisme penyelesaian sengketa. Gagasan second track diplomacy melalui Lokakarya untuk mengelola konflik politik di LCS pada 1990 yang diprakarsai oleh Duta Besar dan akademisi Indonesia Hasjim Djalal, sebagian bertujuan untuk membangun langkah-langkah peningkatan kepercayaan menuju first track diplomacy, di mana para pemimpin politik akan secara langsung menangani sengketa (Kipgen, 2021, p. 123).
Sebagai bagian dari DOC negara-negara ASEAN dan China sepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal, termasuk UNCLOS. Namun, yang menjadi akar masalah adalah China menolak untuk mengakui penerapan yurisdiksi UNCLOS dalam sengketa LCS. Hal ini menjadi alasan penting mengapa ASEAN gagal berupaya menjadikan DOC mengikat secara hukum. Selanjutnya, negosiasi tentang COC dimulai pada 2013, dengan pembentukan kelompok kerja. Empat tahun kemudian, pada Agustus 2017, draft kerangka kerja COC disepakati oleh ASEAN dan China. Kerangka kerja tersebut memberikan panduan untuk mengelola sengketa maritim dengan melindungi aktivitas komersial dan non-militer di wilayah sengketa (Kipgen, 2021, p. 123).
Hasjim Djalal menyarankan agar ketua ASEAN mendorong enam negara ASEAN yang bukan pemohon untuk mempertemukan empat pengklaim ASEAN dengan China dan Taiwan untuk mencari solusi. Negara-negara bukan pemohon tidak boleh bertindak sebagai arbiter, tetapi sebagai juru bicara untuk mendorong pihak-pihak terkait menyelesaikan sengketa. Indonesia dan Singapura bukan pengklaim, tetapi jika semua ikut campur seperti AS, India, Jepang, maka semua akan terdampak. Dengan menegaskan Indonesia sebagai negara bukan pemohon, Djalal mengatakan yang terbaik yang bisa dilakukan pihak luar adalah mendorong pihak-pihak terkait menyelesaikan sengketa di antara mereka sendiri dan mengembangkan hubungan kerja sama di berbagai isu seperti politik dan keamanan, masalah teritorial dan yurisdiksi, pengelolaan sumber daya, isu perlindungan lingkungan, isu kerja sama ilmiah kelautan, dan modalitas untuk bekerja sama pada pertanyaan seperti apakah ada kebutuhan untuk mengundang pihak luar atau tidak dalam upaya kerja sama tersebut (Kipgen, 2021, p. 124).
KESIMPULAN
Indonesia sebagai negara yang sering di anggap sebagai natural leader negara-negara ASEAN sangat memainkan peran penting dalam upaya mengelola dan menyelesaikan sengketa LCS melalui second track diplomacy, dengan demikian juga berkontribusi pada first track diplomacy. Keterlibatan Indonesia dalam second track diplomacy sejak tahun 1990 telah mendorong tercapainya DOC pada tahun 2002 dan COC pada tahun 2018 oleh negara-negara pemohon di ICJ pada sengketa LCS.
Meskipun bukan merupakan negara pemohon dalam sengketa LCS, Indonesia menawarkan diri sebagai pihak mediator dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki kepentingan maritim yang vital. Hal ini sejalan dengan semangat UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia maupun China, khususnya Pasal 122 dan 123 tentang kerja sama di laut tertutup dan semi-tertutup. Dengan demikian, Indonesia memiliki peran penting dalam diplomasi penyelesaian sengketa LCS melalui upaya second track diplomacy dan perannya sebagai mediator yang mempromosikan penyelesaian damai berdasarkan hukum internasional.
REFERENSI
Djalal, H. (2010, October 29). Indonesia and the South China Sea Initiative. Ocean Development & International Law, 32(2), 98. doi:https://doi.org/10.1080/00908320151100226
Kipgen, N. (2021, February 24). Indonesia: A Reluctant Participant in the South China Sea Disputes. Strategic Analysis, 45(2), 116. doi:https://doi.org/10.1080/09700161.2021.1891762
Nations, U. (2023, October 24). Chronological lists of ratifications of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements. Retrieved from OCEANS & LAW OF THE SEA UNITED NATIONS: https://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm
Nations, U. (n.d.). United Nations Convention on the Law of the Sea. Retrieved from https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf
Patrik Kristhope Meyer, A. N. (2019, March 25). Indonesia's swift securitization of the Natuna Islands how Jakarta countered China's claims in the South China Sea. Asian Journal of Political Science, 2. doi:https://doi.org/10.1080/02185377.2019.1590724
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H