Sebagai bagian dari DOC negara-negara ASEAN dan China sepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal, termasuk UNCLOS. Namun, yang menjadi akar masalah adalah China menolak untuk mengakui penerapan yurisdiksi UNCLOS dalam sengketa LCS. Hal ini menjadi alasan penting mengapa ASEAN gagal berupaya menjadikan DOC mengikat secara hukum. Selanjutnya, negosiasi tentang COC dimulai pada 2013, dengan pembentukan kelompok kerja. Empat tahun kemudian, pada Agustus 2017, draft kerangka kerja COC disepakati oleh ASEAN dan China. Kerangka kerja tersebut memberikan panduan untuk mengelola sengketa maritim dengan melindungi aktivitas komersial dan non-militer di wilayah sengketa (Kipgen, 2021, p. 123).
Hasjim Djalal menyarankan agar ketua ASEAN mendorong enam negara ASEAN yang bukan pemohon untuk mempertemukan empat pengklaim ASEAN dengan China dan Taiwan untuk mencari solusi. Negara-negara bukan pemohon tidak boleh bertindak sebagai arbiter, tetapi sebagai juru bicara untuk mendorong pihak-pihak terkait menyelesaikan sengketa. Indonesia dan Singapura bukan pengklaim, tetapi jika semua ikut campur seperti AS, India, Jepang, maka semua akan terdampak. Dengan menegaskan Indonesia sebagai negara bukan pemohon, Djalal mengatakan yang terbaik yang bisa dilakukan pihak luar adalah mendorong pihak-pihak terkait menyelesaikan sengketa di antara mereka sendiri dan mengembangkan hubungan kerja sama di berbagai isu seperti politik dan keamanan, masalah teritorial dan yurisdiksi, pengelolaan sumber daya, isu perlindungan lingkungan, isu kerja sama ilmiah kelautan, dan modalitas untuk bekerja sama pada pertanyaan seperti apakah ada kebutuhan untuk mengundang pihak luar atau tidak dalam upaya kerja sama tersebut (Kipgen, 2021, p. 124).
KESIMPULAN
Indonesia sebagai negara yang sering di anggap sebagai natural leader negara-negara ASEAN sangat memainkan peran penting dalam upaya mengelola dan menyelesaikan sengketa LCS melalui second track diplomacy, dengan demikian juga berkontribusi pada first track diplomacy. Keterlibatan Indonesia dalam second track diplomacy sejak tahun 1990 telah mendorong tercapainya DOC pada tahun 2002 dan COC pada tahun 2018 oleh negara-negara pemohon di ICJ pada sengketa LCS.
Meskipun bukan merupakan negara pemohon dalam sengketa LCS, Indonesia menawarkan diri sebagai pihak mediator dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki kepentingan maritim yang vital. Hal ini sejalan dengan semangat UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia maupun China, khususnya Pasal 122 dan 123 tentang kerja sama di laut tertutup dan semi-tertutup. Dengan demikian, Indonesia memiliki peran penting dalam diplomasi penyelesaian sengketa LCS melalui upaya second track diplomacy dan perannya sebagai mediator yang mempromosikan penyelesaian damai berdasarkan hukum internasional.
REFERENSI
Djalal, H. (2010, October 29). Indonesia and the South China Sea Initiative. Ocean Development & International Law, 32(2), 98. doi:https://doi.org/10.1080/00908320151100226
Kipgen, N. (2021, February 24). Indonesia: A Reluctant Participant in the South China Sea Disputes. Strategic Analysis, 45(2), 116. doi:https://doi.org/10.1080/09700161.2021.1891762
Nations, U. (2023, October 24). Chronological lists of ratifications of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements. Retrieved from OCEANS & LAW OF THE SEA UNITED NATIONS: https://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm
Nations, U. (n.d.). United Nations Convention on the Law of the Sea. Retrieved from https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf
Patrik Kristhope Meyer, A. N. (2019, March 25). Indonesia's swift securitization of the Natuna Islands how Jakarta countered China's claims in the South China Sea. Asian Journal of Political Science, 2. doi:https://doi.org/10.1080/02185377.2019.1590724