Mohon tunggu...
Ridwan Agung Nugroho
Ridwan Agung Nugroho Mohon Tunggu... -

Seorang remaja pegiat literasi yang berasal dari Sukoharjo, Jawa Tengah. Saat ini tengah menduduki jenjang SMK namun masa-masa yang orang bilang masa paling indah itu akan berakhir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Orang-orang Kaya

24 Maret 2019   07:00 Diperbarui: 24 Maret 2019   07:09 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Burung-burung itu mulai bernyanyi. Pertanda sarang mereka sudah diterpa sinar matahari. Siap tidak siap, aku harus membuka mata dan melihat dunia. Kutatap langit-langit rumahku yang tingginya tak seberapa. Kududukkan diri dan kubuka rumah kardusku.

"Pagi, Mas!" sapa Tejo, tetangga sekaligus temanku memulung.

"Pagi, Jo!" sapaku balik.

Melihat Tejo yang sudah siap di dekat rumahku, aku langsung meneteng 'perlengkapan perang' milikku. Sebuah karung beras berwarna putih yang terbuka bagian atasnya --tentu saja aku menemukannya di tempat pembuangan, dan sebuah topi anyaman berbentuk bulat yang sudah usang karena terlalu sering dipakai.

Jika kau mengira kami bertempat tinggal di kolong jembatan, kau salah besar. Kami, aku dan lima tetanggaku, membangun rumah kardus kami diatas sebuah kebun terlantar yang entah milik siapa. Jika nanti kami diusir, kami tak peduli. Toh, nanti kami bisa mencari tempat yang lain. Kami tak seperti orang-orang kaya itu yang dengan rakusnya membangun gedung-gedung tinggi demi kepuasan hati merek sendiri.

Panas aspla mengikuti setiap tapak yang kami ambil menuju satu per satu tempat sampah yang ada di seluruh kota. Hari ini, nasib kami nampaknya sedang apes. Aku akan bersyukur apabila ada botol plastik bekas air mineral, tapi yang aku temui hanyalah tas-tas plastik yang tak bisa dijual ke tukang loak. Malahan, aku menemui beberapa popok bayi bekas pakai yang sangat bau.

Langkah Tejo mulai gontai ketika kami melewati sebuah toko alat elektronik. Terpajang sebuah televisi berlayar besar dan suara yang terdengar jelas meski terhalang oleh kaca. Seorang pria kurus yang menggunakan kemeja putih berjalan tersorot kamera. Di sampingnya, seorang pria lanjut usia yang rambutnya sudah seluruhnya putih seperti baju dan selendang yang dikenakannya. Mereka tampak begitu disegani.

Beberapa saat kemudian, datang pula seorang pria berperawakan besar dan gagah dengan senyum yang terlihat dibuat-buat. Dia diikuti oleh seorang pria yang berkacamata dan berparas tampan yang melambaikan tangan ke arah kamera. Rupanya mereka adalah dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan dipilih tahun ini.

"Udahlah, Mas. Nggak usah lihat acara kayak gitu. Itu kepentingan orang-orang kaya yang gila kuasa. Mereka nggak mungkin peduli sama kita-kita yang orang kecil ini. Nggak ada untungnya buat mereka," kata Tejo padaku.

Aku pun paham apa yang dikatakan Tejo. Sepanjang pengetahuanku, para orang besar itu tak pernah peduli pada kami. Jangankan mereka, Lurah saja tak pernah menganggap kami warganya. Begitulah negeri ini, sangat lucu keadaan orang-orangnya.

Matahari sudah berada persis diatas kepala kami. Kepala Tejo juga sudah dipenuhi oleh tetesan keringat. Perut kami masih kosong sejak tadi pagi dan kami belum mendapatkan apapun. Ketika kami sampai di tempat pembuangan akhir, tetanggaku yang lain ternyata sudah disana. Setelah menyapa mereka, kami pun bergegas mencari barang-barang rongsokan.

Ketika aku sedang khusyuk dengan 'pekerjaan'-ku ini, tiba-tiba Tejo menghampiriku. Dia pun mencolek bahuku.

"Mas, aku nemu sesuatu," ucapnya dengan sangat pelan seolah-olah dia menemukan dokumen rahasia negara yang sangat penting.

Kuikuti langkah Tejo yang berjalan cepat. Dia tampak sangat tergesa-gesa, khawatir entah pada apa. Kuharap dia tak menemukan bom seperti yang ada dalam berita-berita itu. Tiba-tiba Tejo berhenti dan memperlihatkanku sebuah tas plastik yang terikat. Dia pun memintaku untuk mendekat dan membuka ikatan tas plastik itu.

Mataku terbelalak. Kepalaku tiba-tiba pusing. Pantas saja Tejo sampai berbisik-bisik untuk memberitahuku. Ternyata dia menemukan sebuah tas plastik dengan penuh uang kertas di dalamnya. Warna merah uang itu menyakiti mataku. Sebuah benda yang membuatku hingga menjadi seperti ini.

"Jo, kita ke kantor polisi saja. Pusing kepalaku liat uang sebanyak itu," usulku pada Tejo.

"Tapi Mas, rugi kita. Dengan uang segini banyaknya, kita bisa kaya," Tejo membantah.

"Kamu mau sama kayak aku dulu? Dipenjara hanya gara-gara uang? Mau? Nanti kalau ditanya dapat darimana uang segitu kamu mau ngomong apa? Mau dituduh pencuri?"

Tejo pun akhirnya menyerah. Semau-maunya dia pada uang, nyalinya akan ciut ketika mendengar penjara. Bagaimana tidak? Dia juga pernah dipenjara dan disiksa habis-habisan oleh orang-orang berseragam itu. Dengan sedikit terpaksa, ia berjalan menuju kantor polisi terdekat dan aku mengikutinya dari belakang.

Setibanya di kantor polisi, Tejo masuk dengan langkah dan ekspresi yang takut. Aku tahu dia masih trauma akan kejadiannya dulu. Aku pun pernah masuk bui gara-gara dituduh mencuri padahal aku hanya difitnah. Tapi aku masih beruntung daripada Tejo yang disiksa habis-habisan.

Begitu kami masuk ruangan sepenuhnya, tubuh kami diterpa oleh suhu ruangan yang dingin. Kami pun disambut oleh seorang polwan cantik. Kami pun mengatakan ingin membuat laporan penemuan. Polisi cantik itu lantas mempersilahkan kami duduk di kursi yang empuk.

"Ingin melaporkan apa, Pak?" tanya Ibu Polwan.

"Penemuan uang. Kurang tahu isinya berapa," jawabku. "Ini uangnya, Bu."

Kuserahkan uang itu lengkap dengan plastiknya. Kemudian, polwan itu menerima dan menghitungnya.

"Ini penemuan besar, Pak," kata Ibu Polwan. "Total uangnya 250 juta rupiah. Bapak berdua ini mulia sekali mau menyerahkannya ke kantor polisi."

Kemudian Ibu Polwan menanyai kami macam-macam. Mulai dari kronologis kami menemukannya --tentu saja Tejo yang banyak bercerita karena dialah yang menemukannya pertama kali, hingga dimana kami tinggal dan usia kami.

Beberapa hari kemudian, seperti biasa kami pergi mencari-cari barang loak. Dan ketika kami melewati toko elektronik itu, aku kaget bukan kepalang. Penemuan Barang Bukti Kasus Korupsi, judul berita di televisi itu. Dan lebih kagetnya lagi, berita itu berasal dari kota kami. Tapi seperti biasanya, Tejo tak peduli.

Ketika kami sampai di tempat pembuangan akhir, banyak polisi yang ada disana berbincang-bincang pada tetangga-tetanggaku. Kemudian, salah seorang tetanggaku yang sedang berbincang-bincang dengan polisi menunjuk kami. Dia pun mendekati kami bersama salah seorang polisi.

"Dengan Pak Tejo dan Pak Bagas?" sapa polisi itu. Kami hanya mengangguk-angguk membalas pertanyaan itu.

Petugas itu menjelaskan situasi yang ada kemudian dia memanggil beberapa orang yang memegang kamera. Rupanya mereka adalah wartawan. Mereka mewawancarai kami macam-macam. Setelah itu mereka pergi begitu saja.

"Oalah, ternyata mereka cuma mau tanya-tanya terus pergi gitu saja. Kirain ada uangnya," keluh Tejo sambil meringis.

"Yah, setidaknya beberapa hari ke depan wajah kita masuk koran, Jo."

Kami pun tertawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun