Mohon tunggu...
Ridwan A. Dharmawan
Ridwan A. Dharmawan Mohon Tunggu... Lainnya - Warga kota

Lelaki yang mencintai kotanya. Kunjungi saya di www.wanridwan.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama featured

Melihat Jalan Kota Bandung, Mungkin Tuhan Tidak Tersenyum

7 November 2016   02:08 Diperbarui: 25 September 2018   00:31 4557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum,” kutipan M.A. W. Brouwer menghiasi dinding di ruas Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. Namun, sepertinya Tuhan sedang tidak tersenyum melihat jalan-jalan kota berjulukan Parijs van Java ini. Saling mengumpat, keluhan, kerutan dahi, dan kekhawatiran warga menggambarkan betapa padatnya Bandung saat ini.

Kemacetan mengakibatkan frustasi yang berdampak pada kurangnya empati kepada pengguna jalan lainnya. Penulis pernah menulis pada media sosial “Selain kerukunan antar umat beragama, warga Bandung perlu kerukunan antar umat berkendara,

Kemacetan merupakan masalah fundamental kota ini selain banjir. Hal wajar jika Walikota Bandung Ridwan Kamil dalam janji politiknya yang tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bandung menuliskan Bandung Resik, salah satu poinnya Bebas Macet dalam empat tahun. Kurang dari sembilan bulan, apakah Ridwan Kamil dapat menepati atau mengingkari janji politiknya?

Sebelum menagih janji, perlu dikaji indikator bebas macet itu bagaimana, lalu diinformasikan kepada publik. Jangan sampai peristiwa Maret 2016 terulang kembali. Di mana Survei Persepsi Masyarakat terhadap Pembangunan Kota Bandung yang dilakukan Bappeda Kota Bandung dan LQC Departemen Statistik Universitas Padjadjaran menuai kritik.

Hasil survei yang menyatakan kemacetan Kota Bandung dianggap wajar, dirasa tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. (Baca – Pikiran-rakyat.comedisi 4 Maret 2016 https://goo.gl/kJF6wi)

Meningkatnya kemacetan Kota Bandung bukan berarti pemerintah kota berdiam diri. Beberapa pembangunan infrastruktur di antaranya pembangunan fly over Antapani, pembetonan Jalan Kiaracondong, skywalk Cihampelas, perbaikan trotoar di beberapa ruas seperti Jalan Riau dan Dago, dan sebentar lagi akan dibangun Lighr Rail Transit dan gedung parkir.

Tidak hanya itu, Pemerintah Kota Bandung juga membuat trayek baru serta penerapan sistem e-ticketing angkutan Trans Metro Bandung (TMB) pada awal 2016.

Namun sayangnya, dinilai tidak efektif dilihat dari tidak konsistennya operasional angkutan, headway atau jarak waktu kedatangan bus, terbengkalainya shelter serta sistem e-ticketing yang tidak berfungsi. Perhitungan pola distribusi dan keuangan bukan masalah utama TMB, namun bagaimana menjadikan TMB alternatif utama transportasi warga kota.

Selain TMB, moda-moda angkutan baru seperti Bus Sekolah dan Bandung Tour on the Bus pun diciptakan. Alih-alih mengurangi kepadatan, angkutan umum malah meningkatkan jumlah kendaraan di jalan kota. Beradu dengan Angkutan Kota (angkot) dan kendaraan pribadi. Ridwan Kamil sendiri mengakui dari total jumlah penduduk, hanya 20% yang menggunakan angkot.

Penertiban pedagang kaki lima (PKL) menjadi bagian upaya mengatasi kemacetan. Jalan Merdeka, Purnawarman, Dalem Kaum, Pasar Baru dan beberapa jalan lainnya menjadi sasaran penertiban PKL. Mengorbankan kehidupan mayoritas kelas menengah bawah, kemacetan pada titik-titik penertiban pun dinilai kurang efektif, masih terjadi kemacetan.

Pembangunan infrastruktur yang di antaranya memperlebar dan menambah ruas jalan, moda transportasi umum juga penertiban PKL apakah akan membantu Ridwan Kamil memenuhi janji politiknya Juni 2017 mendatang? Meragukan jika itu saja. Dalam memenuhi janji ‘Bebas macet 4 tahun’, Selain pembangunan secara materi, Pemerintah Kota Bandung penting dalam membangun manusia dalam mengatasi kemacetan.

Akar permasalahan kemacetan yaitu ruas jalan yang tidak bisa menampung volume kendaraan. Mengurangi volume kendaraan upaya yang cukup efektif dalam mengatasi kemacetan ketimbang menambah luas ruas jalan. Hal yang sia-sia, jika ruas jalan ditambah namun intensitas kendaraan juga bertambah.

Mengurangi jumlah kendaraan berarti mengubah habbit warga kota, dari pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna angkutan publik. Klasik terdengar memang. Bukan berarti selama ini Pemerintah Kota Bandung tidak membangun manusia, tetapi kurang atau bukan menjadi fokus utama.

Membangun manusia tidak hanya menjadikan manusia sebagai objek, namun sebagai subjek. Bagaimana warga dapat mengambil keputusan secara bijak dalam setiap aktivitasnya. Membangun manusia tidak selalu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan serta zona nyaman, namun bagaimana manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk sosial. Bagaimana warga dapat bermanfaat untuk warga lainnya, untuk kehidupan kota.

Pemerintah Kota Bandung pernah membuat program harian seperti Senin bus sekolah gratis dan jum’at bersepeda yang gaungnya kini senyap-senyap terdengar.

Pernah juga bekerjasama dengan komunitas menggelar Angkot Day, yang kelanjutannya entah bagaimana.

Terakhir, Ridwan Kamil membuat gerakan Jumat “Ngangkot” dengan iming-iming hadiah. Apa kesamaan dari itu semua? Hanya himbauan tidak ada ketegasan.

Intermezo, penulis ingin berbagi pengalaman. Penulis pernah selama satu bulan menggunakan sepeda dan angkutan umum dalam berkegiatan sehari-hari. Bukan karena ingin mengikuti program Pemkot Bandung, atau iming-iming hadiah. Tetapi karena keterpaksaan, saat itu sepeda motor penulis rusak.

Berkaca pada cara Singapura mengatasi kemacetan. Dalam membangun habbit warganya, pemerintah Singapura mengeluarkan aturan dan kebijakan yang ‘merugikan’ warganya, namun sangat efektif mengurangi kemacetan.

Di antaranya sistem pajak yang tinggi untuk kendaraan, pembatasan waktu penggunaan mobil, menerapkan biaya parkir yang tinggi, aturan jalan berbayar serta kebijakan plat merah serta hitam.

Beberapa negara seperti Jepang dan Malaysia pun membuat aturan tegas untuk mengurangi volume kendaraan bermotor. Kenapa Bandung tidak bisa?

Bandung pernah menerapkan aturan seperti 4 in 1 di Jalan Pasteur dan menaikan tarif parkir. Aturan 4 in 1 dinilai tidak efektif karena penerapan waktu yang tidak tepat (Baca – Detik.com edisi 28 November 2014 https://goo.gl/CPgFCZ).

Untuk mengganti kebijakan 4 in 1, Pemkot Bandung berencana melakukan Electronic Road Pricing, namun dibatalkan karena tidak mendapatkan izin DPRD (Baca – Tempo.coedisi 11 Februari 2016 https://goo.gl/AC5z6a).

Semoga, aturan yang pernah dicanangkan dan direncanakan ini dapat diterapkan tidak hanya di Jalan Pasteur, namun ruas-ruas jalan Kota Bandung lainnya yang kini tidak kalah padat.

Aturan menaikan tarif parkir juga dinilai tidak efektif menekan volume pengendara motor. Hal tersebut terjadi karena kenaikan tarif yang sedikit, berkisar hanya Rp500,- sampai Rp5.000,-.

Tentu dengan tarif tersebut tidak akan membuat warga enggan menggunakan kendaraan pribadi, apalagi kelas menengah atas. Bila perlu, kenaikan tarif parkir dibuat berpuluh-puluh kali lipat.

Bandung menunggu aturan dan kebijakan dalam menekan intensitas pengguna kendaraan pribadi lainnya. Tidak hanya untuk diterapkan kepada para wisatawan atau pendatang, namun juga kepada warga Bandung.

Perlu keberanian yang tinggi untuk Ridwan Kamil. Membangun manusia dengan ketegasan aturan akan ‘merugikan’ warga, terutama kelas menengah atas dimana menjadi segmen pengguna media sosial terbanyak.

Ketegasan bukan sekadar penindakan pelanggar lalu lintas (dengan menempelkan stiker dan denda), namun menciptakan aturan-aturan baru, kebijakan baru perihal pembatasan kendaraan ribadi.

Tak dipungkiri, citra positif Ridwan Kamil terjaga melalui media sosial. Selain sarana keterbukaan informasi, media sosial digunakan Ridwan Kamil untuk mendekatkan dirinya kepada warga. Dengan adanya ketegasan dalam pengurangan volume kendaraan, memungkinkan munculnya ‘haters’ baru yang merasa zona nyamannya terusik.

Sebagai warga Bandung yang baik, kita perlu mengorbankan zona nyaman kita dalam mewujudkan Bandung Juara yang bebas macet.

Semoga Pemerintah Kota Bandung yang dinahkodai Ridwan Kamil dapat memfasilitasi kami menjadi warga yang baik melalui ketegasan aturan dan kebijakan. Pemerintah baik, warga pun baik, dengan demikian Tuhan dapat kembali tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun