Akar permasalahan kemacetan yaitu ruas jalan yang tidak bisa menampung volume kendaraan. Mengurangi volume kendaraan upaya yang cukup efektif dalam mengatasi kemacetan ketimbang menambah luas ruas jalan. Hal yang sia-sia, jika ruas jalan ditambah namun intensitas kendaraan juga bertambah.
Mengurangi jumlah kendaraan berarti mengubah habbit warga kota, dari pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna angkutan publik. Klasik terdengar memang. Bukan berarti selama ini Pemerintah Kota Bandung tidak membangun manusia, tetapi kurang atau bukan menjadi fokus utama.
Membangun manusia tidak hanya menjadikan manusia sebagai objek, namun sebagai subjek. Bagaimana warga dapat mengambil keputusan secara bijak dalam setiap aktivitasnya. Membangun manusia tidak selalu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan serta zona nyaman, namun bagaimana manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk sosial. Bagaimana warga dapat bermanfaat untuk warga lainnya, untuk kehidupan kota.
Pemerintah Kota Bandung pernah membuat program harian seperti Senin bus sekolah gratis dan jum’at bersepeda yang gaungnya kini senyap-senyap terdengar.
Pernah juga bekerjasama dengan komunitas menggelar Angkot Day, yang kelanjutannya entah bagaimana.
Terakhir, Ridwan Kamil membuat gerakan Jumat “Ngangkot” dengan iming-iming hadiah. Apa kesamaan dari itu semua? Hanya himbauan tidak ada ketegasan.
Intermezo, penulis ingin berbagi pengalaman. Penulis pernah selama satu bulan menggunakan sepeda dan angkutan umum dalam berkegiatan sehari-hari. Bukan karena ingin mengikuti program Pemkot Bandung, atau iming-iming hadiah. Tetapi karena keterpaksaan, saat itu sepeda motor penulis rusak.
Berkaca pada cara Singapura mengatasi kemacetan. Dalam membangun habbit warganya, pemerintah Singapura mengeluarkan aturan dan kebijakan yang ‘merugikan’ warganya, namun sangat efektif mengurangi kemacetan.
Di antaranya sistem pajak yang tinggi untuk kendaraan, pembatasan waktu penggunaan mobil, menerapkan biaya parkir yang tinggi, aturan jalan berbayar serta kebijakan plat merah serta hitam.
Beberapa negara seperti Jepang dan Malaysia pun membuat aturan tegas untuk mengurangi volume kendaraan bermotor. Kenapa Bandung tidak bisa?
Bandung pernah menerapkan aturan seperti 4 in 1 di Jalan Pasteur dan menaikan tarif parkir. Aturan 4 in 1 dinilai tidak efektif karena penerapan waktu yang tidak tepat (Baca – Detik.com edisi 28 November 2014 https://goo.gl/CPgFCZ).