Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anatomi Radikalisme Islam di Indonesia [Bagian Pertama]

17 Januari 2016   18:01 Diperbarui: 19 Januari 2016   20:52 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Karikatur Akar Penyebab Radikalisme di Indonesia (Sumber: Jemberpost.com)"][/caption]Pasca aksi terorisme di Indonesia yang selalu dikaitkan dengan Islam, lembaga seperti Pesantren, Rohani Islam (Rohis) dan Madrasah sering mendapat fitnah sebagai tempai penyemaian ide-ide radikalisme oleh kelompok-kelompok tertentu.

Tuduhan itu tidak sepatutnya dialamatkan kepada lembaga Pesantren, Madrasah dan Rohis. Sebaliknya lembaga-lembaga tersebut bisa manjadi sarana untuk memberikan pencerahan kepada generasi muda agar tidak terpengaruh paham-paham radikal.

Jika mengkaji anatomi radikalisme di Indonesia yang melandasi berbagai aksi terorisme memang cukup rumit. Selama ini kita selalu menganalisa akar radikalisme di Indonesia pada dimensi-dimensi transnasional. Terorisme kontemporer dilihat semata-mata hasil penyebaran ideologi global,  padahal ada  juga faktor-faktor dimensi lokal.

Transformasi ide-ide neo-fundamentalisme di Indonesia bukan  faktor penentu tumbuhnya radikalisme di Indonesia.  Ada faktor yang lebih penting dalam memahami perkembangan ancaman terorisme di Indonesia, seperti dengan melihat apa yang terjadi di negeri ini dari dinamika relasi Muslim-Kristen, kekerasan bermotif sekretarian seperti kasus Ahmadiyah dan Syiah, hubungan antara Islamisme dan negara, sampai isu kesejahteraan dan pendidikan Ummat Islam yang masih tertinggal jauh di Indonesia.

Apa itu Islamisme?

Menurut Olivier Roy dalam Globalised Islam : The Search for New Umma, Islamisme secara tradisional didefinisikan sebagai Islam yang dipahami secara Ideologi. Islamisme tidak hanya menyiratkan penerapan agama dalam politik semata. Kelompok Islamis memperluas ide tradisional Islam sebagai agama yang mencakup segala dimensi pada masyarakat modern.

Dalam prakteknya, di Indonesia penyemaian ide-ide Islamisme dilaksanakan melalui saluran politik seperti Partai Islam yang berjuang di parlemen, serta Ormas Islam sebagai bagian civil society seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Namun, ada juga yang menggunakan cara-cara radikal dengan menggunakan kekerasan.

Kita bahas satu-persatu, saluran-saluran apa saja yang menjadi media tranformasi ide-ide  Islamisme baik yang moderat maupun radikal di Indonesia.

1. Gerakan Sosial

Secara historis, vektor-vektor utama transmisi pemikiran Timur-Tengah ke Asia Tenggara khususnya Indonesia adalah melalui gerakan sosial.

Para ulama dan pedagang Arab selama delapan abad menyebarkan pengetahuan Islam dan berdakwah kepada kalangan non-Muslim. Bahkan pada abad 19, ribuan orang Arab Yaman dari lembah Handramaut menetap di Indonesia, memapankan diri sebagai guru, ulama dan pedagang.

Implikasi migrasi ini masih terasa hingga sekarang dimana peran para keturunan Arab Indonesia khususnya para ulama yang dikenal masyarakat dengan sebutan Habaib mempunyai peran yang sangat penting dalam dakwah Islam. Para keturunan Arab Indonesia ini pun membentuk sebuah organisasi dengan nama Al-Irsyad yang berperan penting dalam dunia pendidikan Islam. Yang paling fenomenal dari seorang keturunan Arab, sering menjadi buah bibir dan "Newsmaker" adalah sosok Habib Rizieq Shihab, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI). Saya tidak akan bahas lagi soal sepak terjangnya....

Sebaliknya, selama berabad-abad, jutaan orang Islam Indonesia telah mengunjungi Timur-Tengah dalam rangka ibadah haji, sebagai ulama, pejabat, pelajar/mahasiswa  maupun pedagang, sehingga interaksi antara orang Islam Indonesia dan Timur-Tengah khususnya Arab Saudi sudah terjalin sangat erat.

Diantara ulama Indonesia yang belajar di Mekkah pada awal Abad ke-20 adalah KH. Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah dan KH. Hasyim Asy'ari pendiri organisasi Nahdatul Ulama (NU) yang menjadi pionir gerakan Islam di Indonesia.

Walaupun ada perbedaan pendapat terkait Islamisme antara Muhammadiyah dan NU, tapi kedua Ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut menyemaikan ide-ide Islamisme  moderat ke masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikannya.

Sebelum lahir Muhammadiyah dan NU, Syarikat Islam (SI) yang dibentuk karena pengaruh gerakan Pan Islamisme di Timur-Tengah juga menyemaikan ide-ide Islamisme dengan tujuan politik membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda.

2. Gerakan Pendidikan dan Dakwah

Dalam hal gerakan sosial, pelajar atau mahasiswa Indonesia  barangkali menjadi saluran kontemporer yang paling penting bagi ide-ide Islamis dari Timur-Tengah ke Indonesia. Ribuan pelajar Indonesia mendapat beasiswa dari negara-negara Islam Timur-Tengah untuk belajar di berbagai universitas terkemuka.

Negara tujuan utama pelajar Indonesia menuntut ilmu Islam di Timur –Tengah adalah Arab Saudi dan Mesir. Ada juga yang belajar di  Sudan, Libya, Qatar, Kuwait, Yaman, Tunisia, Syiria dan Iran. Namun, Perguruan Tinggi Islam Al-Azhar di Kairo Mesir dan perguruan Tinggi Islam di Mekkah dan Madinah adalah tujuan favorit pelajar Indonesia.

Mereka ke Timur-Tengah untuk belajar kepada ulama-ulama terkemuka. Tidak hanya belajar materi-materi klasik ilmu keislaman seperti fiqih dan ushuluddin (teologi), namun juga belajar ide-ide Islamisme.

Bagaimanapun, selama studi di Timur-Tengah, mereka punya kesempatan untuk berinteraksi  dengan kelompok-kelompok Islamis dan mengenal ide-ide atau ideologi mereka.

Dua ideologi utama yang sangat menarik perhatian mereka adalah gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) yang tumbuh pertama kali di Mesir dan Gerakan Salafi di Arab Saudi. Kedua gerakan inilah yang pada akhirnya mulai banyak pengikutnya di Indonesia selain kedua aliran mainstream di Indonesia yakni Islam tradisional yang di wakili NU, serta Islam modernis yang diwakili Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).

Selain memberikan beasiswa pelajar Indonesia untuk belajar di Timur-Tengah,  pemerintah negara-negara Timur-Tengah juga banyak mendirikan lembaga pendidikan atau menjadi donatur berbagai lembagai pendidikan yang dimiliki oleh ormas-ormas Islam Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Al-Irsyad dan lain-lain.

Lembaga-lembaga dan individu dari beberapa negara-negara Timur-Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Qatar, Kuwait dan beberapa negara teluk lainnya sangat aktif bergerak dalam pendidikan dan dakwah di Indonesia, seperti mendatangkan dosen dari Perguruan Tinggi Al-Azhar Mesir ke berbagai Sekolah Tinggi Islam, Universitas dan berbagai lembaga Islam di Indonesia.

Yang mencengangkan, menurut satu sumber rahasia di Kementerian Agama Republik Indonesia, negara Iran sangat agresif sekali memberikan bantuan kepada lembaga-lembaga pendidikan dan pesantren serta memberikan beasiswa kepada ribuan pelajar Indonesia untuk belajar di berbagai perguruan tinggi di Iran. Tidak mengherankan jika perkembangan penganut Syiah dan lembaga pendidikannya  berkembang sangat pesat di Indonesia.

Contoh lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang disponsori negara Timur-Tengah adalah perguruan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang merupakan cabang Universitas Al-Imam Muhammad bin Saud di Riyadh, Arab Saudi.

Perguruan LIPIA berwatak salafi dengan tingkat yang beragam, namun banyak dipengaruhi oleh ideologi IM. Perguruan LIPIA telah banyak melahirkan alumni yang sukses, seperti Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan mantan Presiden PKS, Anis Matta. Memang saat ini LIPIA sangat identik dengan para ikhwan yang aktif di Partai Keadilan Sejatera (PKS), walaupun tidak semua alumninya berafiliasi ke PKS.

Para alumni LIPIA menjadi figur yang sangat berpengaruh dalam gerakan salafi di Indonesia, khususnya sebagai penerbit, dai, guru dan ulama. Banyak alumni LIPIA mendirikan pesantren salafi dengan dukungan dana dari Arab Saudi.

Pesantren alumni LIPIA tumbuh pesat di Indonesia. Pesantren itu menjadi mekanisme bagi penyebaran ide-ide salafi ke para santrinya. Ke masyarakat ide-ide salafi disebarkan oleh Pesantren alumni LIPIA melalui kegiatan sosial serta pelatihan guru-guru dan dai salafi lokal.

Selain ajaran salafi, LIPIA juga menjadi ajang persemaian ide-ide gerakan IM. Banyak alumninya menganut pemikiran ikhwan. Termasuk yang kemudian menjadi pengurus PKS seperti yang sudah dijelaskan.

Walaupun ada banyak persamaan dalam hal keyakinan dan doktrin agama antara gerakan salafi dengan gerakan IM  di LIPIA, namun tetap ada perbedaan.

Aktivisme IM yang terbuka dan sikap akomodasinya terhadap pluralisme politik dan keberagaman agama di Indonesia yang membedakan antara salafisme kontemporer dengan IM. Menurut PKS sebagai representasi gerakan ikhwan, negara Islam adalah aspirasi, namun tidaklah penting melakukan formalisasi dengan mendeklarasikan perlunya Indonesia menjadi negara Islam.

Salafisme kontemporer cenderung menjauhkan diri dari politik praktis dan lebih tidak toleran terhadap praktik keagamaan yang tidak murni atau biasa disebut dengan bid’ah. Masyarakat Indonesia lebih sering menyebut kelompok salafi kontemporer ini sebagai “kelompok Wahabi”.

Kelompok Wahabi selalu dicurigai memiliki agenda-agenda tersembunyi oleh pemerintah dan ormas-ormas Islam lainnya seperti NU yang cenderung moderat. Organisasi Islam yang selalu terkena “Fitnah” bagian  kelompok wahabi adalah Muhammadiyah, Persis, DDII dan berbagai Ormas Islam modernis lainnya.

Saat ini, ada upaya kampanye mendikotomikan kelompok Islam di Indonesia manjadi dua, yakni Kelompok Islam Nusantara yang identik dengan Islam tradisional NU dan kelompok Islam Wahabi. Tentu, hal ini merupakan kampanye yang tidak baik, karena bertujuan untuk memecah-belah ummat Islam Indonesia.

Dikotomi ini dimunculkan karena isu radikalisme global terkait konflik di Suriah, Irak, dan Yaman yang dituding ditunggangi oleh kelompok salafi radikal yang juga berimbas ke Indonesia. Mengenai perkembangan kelompok salafi di Indonesia ini akan dibahas dalam tulisan lainnya.

3. Publikasi, Internet dan Media Sosial

Saluran utama penyebaran Ide-ide Islamis lainnya di Indonesia didapatkan dari berbagai literatur Timur-Tengah yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan dipublikasikan secara luas.

Publikasi literatur ini disebarkan dalam beragam bentuk seperti buku, jurnal, famplet, surat kabar bahkan melalui media online.

Jarigan Internet menjadi vektor yang sangat berpegaruh dalam penyebaran ide-ide  Islamisme di Indonesia khususnya melalui media sosial seperti Facebook, Twitter dan Youtube.

Bahkan saat ini kelompok-kelompok radikal di Suriah dan Irak  menggunakan media sosial sebagai alat utama untuk propaganda dan perekrutan anggotanya.

4. Perang di Timur-Tengah

Vektor lain yang sangat berpengaruh menyemaikan radikalisme Islam di Indonesia adalah perang Afghanistan di era 1980-an.

Ratusan orang Indonesia menjadi Mujahidin di Afghanistan. Sebagian besar orang Indonesia yang ke Afghanistan dikirim oleh jaringan eks Darul Islam (DI).

Sebelum dikirim ke Afghanistan, Mujahidin Indonesia ini akan dilatih secara militer di kamp latihan yang dibiayai Arab Saudi. Di Kamp latihan selain belajar berperang, mujahidin Indonesia juga memperoleh pendidikan agama dan ideologi  yang cenderung kepada ajaran salafi dengan kecendrungan jihadis radikal.  Kelompok inilah yang nantinya menjadi embrio terbentuknya Tanzim Al-Qaeda di Timur-Tengah dan Tanzim Jamaah Islamiyah (JI) di Asia Tenggara.

Pengaruh ideologi lain pun ada seperti IM. Tokoh IM yang terkenal dikalangan mujahidin Afghanistan adalah Abdullah Azzam. Dikalangan jihadis Indonesia, Abdullah Azzam disebut sebagai figur yang serupa dengan Che Guevara. Di Afganistan itulah orang-orang Indonesia berinteraksi dengan jihadis dari seluruh dunia.

Setelah perang Afghanistan usai, para Mujahidin Indonesia pulang ke tanah air dengan pengalaman perang, memiliki pemahaman idelogi Islam salafi radikal, dan memiliki hubungan dengan kelompok jihadis asing.

Implikasinya ketika pulang ke Indonesia, karena memiliki pola pikir yang baru, sekurang-kurangnya sangat setia secara ideologi, mereka menyebarkan pemahamannya di Indonesia.

Pasca peristiwa 11 September 2001, Amerika Serikat melancarkan operasi global menumpas kelompok Al-Qaeda dengan cara menginvasi Afghanistan dan Irak.

Invasi Amerika ini kemudian direspon dengan seruan atau fatwa jihad global oleh pemimpin Al-Qaeda, Osamah Bin Laden, yang menyerukan semua Muslimin khususnya para jihadis di seluruh dunia untuk melakukan perlawanan kepada Amerika Serikat dan sekutunya, karena dianggap memerangi Islam. George W. Bush, Presiden Amerika Serikat saat itu memang menyebut invasi ke Afghanistan dan Irak sebagai “Crusade” atau perang suci, dalam pengertian awam sebagai perang salib.

Seruan itu direspon di Indonesia oleh kelompok JI dengan melakukan aksi pemboman di berbagai wilayah Indonesia terhadap warga negara dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat dan sekutunya. Yang paling terkenal adalah peristiwa Bom Bali 1 dan Bom Bali 2.

Aksi terorisme JI di Indonesia ini berlangsung mulai rentang tahun 2000 sampai tahun 2010, sampai kemudian Tanzim JI pecah menjadi berbagai organisasi seperti Jamaah Ansharut Tauhid atau (JAT) yang sebelumnya tergabung dalam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Pimpinan JAT, Abu Bakar Ba'asyir, menyatakan dukungan terhadap Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syria/ISIS). Sebagian besar anggota JAT tak mendukung sikap Ba'asyir karena meragukan Abu Bakr al-Baghdadi, pimpinan ISIS, sebagai amir khilafah.

Anggota Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang mendukung ISIS tidak banyak, bila dibandingkan dengan jumlah anggota yang tersebar di beberapa wilayah. Lalu, pada 11 Agustus 2014, sebagian besar anggota JAT yang menolak ISIS keluar dan mendirikan organisasi baru yang lebih baik dengan nama Jamaah Ansharusy Syariah (JAS).

Selain JAT, organisasi radikal lainnya yang mendukung ISIS adalah Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Abu Wardah alias Santoso yang saat ini menjadi buronan nomor wahid Densus 88 Polri.

Munculnya ISIS sebagai subordinasi dari Al-Qaeda menyebabkan para Jihadis terpecah menjadi dua kubu, sebagian mendukung ISIS dan sebagian lainnya masih mendukung Al-Qaeda.

Fenomena ISIS, Perang di Suriah, Irak dan Yaman serta isu konflik Syiah-Sunni di Timur-Tengah telah merembet ke Indonesia, sehingga radikalisme di Indonesia semakin berkembang.  Konflik-konflik komunal seperti kasus Sampang, Ad-Dzikra Sentul dan Kasus Bom Sarinah menjadi contoh bahwa konflik di Timur-Tengah berimbas ke Indonesia.

Itulah beberapa vektor 'Dimensi Global" yang menyebabkan tumbuhnya radikalisme Islam di Indonesia. Pada tulisan kedua “Anatomi Radikalisme Islam di Indonesia” akan dibahas “Dimensi Lokal” yang mempengaruhi tumbuhnya radikalisme Islam di Indonesia. (Bersambung)

Referensi Tulisan :

1. Greg Fealy dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Bandung, Mizan, 2007.

2. Wikipedia Indonesia.

Muhammad Ridwan, berdomisili di Bandar Lampung.

Baca : Anatomi Radikalisme Islam di Indonesia [Bagian Kedua]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun