Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Money

KTT G-20 dan Bayang-bayang Tragedi Paris, Jangan Putar "Kaset Lama" Kontra-Terorisme

16 November 2015   00:47 Diperbarui: 17 November 2015   01:58 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Para Pemimpin Negara G-20 di Turki (Sumber: FB Usi Karundeng)"][/caption]Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-10 negara-negara anggota G-20 tahun 2015 di gelar di Antalya, Turki, pada 15-16 November. KTT G-20 tahun ini digelar di tengah suasana duka Eropa pasca Tragedi Paris, sehingga dilaksanakan di bawah pengamanan ektra ketat.

Menarik untuk di analisa pelaksanaan KTT G-20 tahun ini dengan peristiwa Tragedi Paris 13/11, walaupun belum tentu ada korelasinya, insiden Paris yang terjadi berselang 2 hari sebelum pelaksanaan KTT-G20 di Turki, menarik untuk dicermati.

Sebagaimana diketahui G-20 atau Kelompok 20 ekonomi utama adalah kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Anggotanya antara lain Amerika Serikat, Russia, Tiongkok, Jerman, Perancis, Turki, Arab Saudi dan Indonesia.

Berkumpulnya 20 Pemimpin Dunia terkuat di Turki, tentu memiliki nilai prestisius tersendiri. Isu mainstream yang di bahas dalam KTT G-20 adalah bidang ekonomi dan bisnis global. Namun, isu politik bisa dibahas jika disepakati oleh pemimpin negara-negara anggota G-20.

Isu permasalahan ekonomi global tidak akan lepas dari isu geo-politik. Seperti di Asia Pasifik, pembangunan Jalur Sutra Maritim Tiongkok dan pembentukan Trans Pasifik Partnership (TPP) selalu dihubungkan dengan konflik Laut China Selatan serta semakin kuatnya pengaruh ekonomi dan politik Tiongkok di Asia. (Baca : Proyek Tol Laut dan Trans Sumatera dalam Cetak Biru Jalur Sutra Tiongkok)

Begitupun dengan geopolitik Timur-Tengah. Konflik di Irak, Suriah, Yaman, Libya dan Palestina sering dikaitkan bagian dari Proxi War negara-negara adidaya dalam perebutan sumber daya Migas dan Mineral Turki sebagai tuan rumah KTT-G20, adalah negara yang berbatasan langsung dengan Suriah. Tak pelak konflik Suriah secara tidak langsung menyeret Turki. Mulai dari masalah pengungsi Suriah, penyeludupan senjata, menjadi wilayah transit para Jihadis yang akan masuk ke Suriah, sampai menjadi sasaran pemboman pihak ISIS.

Konflik Suriah menjadikan situasi global seperti kembali ke era perang dingin. Terjadi polarisasi antara negara pendukung oposisi Suriah yang di motori Amerika Serikat, Arab Saudi, Turki, Inggris dan Perancis yang semuanya anggota G-20, dengan pendukung Presiden Bashar Assad yang di motori Rusia dan Tiongkok (juga anggota G-20).

Tentu sangat menarik ketika para pemimpin yang berseberangan terkait Suriah duduk satu meja dalam forum G-20, apakah mereka hanya fokus membicarakan masalah ekonomi? Saya yakin tidak.

Eropa baru saja diguncang serangkaian serangan brutal yang di klaim oleh kelompok ISIS. Tentu isu ini bisa masuk dalam pembicaraan tingkat tinggi para pemimpin G-20. Diprediksi akan ada diskusi hangat menyikapi insiden Paris dan masa depan Suriah di tengah forum G-20.

Apa Misi Indonesia di KTT G-20 Turki?

Indonesia akan membawa misi ekonomi dan politik di KTT G-20 Turki. Di bidang ekonomi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menekankan reformasi arsitektur keuangan global serta pemberdayaan lembaga pembiayaan untuk proyek infrastruktur dunia. (Baca : Presiden Jokowi Bawa 2 Poin Ini di KTT G20 Turki)

Sedangkan dalam bidang politik Presiden Jokowi akan berbicara mengenai counter terrorism untuk menyikapi Tragedi Paris 13/11.

“Tentunya dengan kejadian yang baru saja terjadi di Paris, Perancis akan dijadikan diskusi yang sangat menarik,” Ungkap Menteri luar (Menlu) Negeri, Retno Marsudi mengutip laman Okezone, Sabtu (15/11).

Maksud diskusi akan berjalan menarik, menurut Menlu, karena Presiden Jokowi akan menyampaikan yang intinya pentingnya kerja sama internasional dalam pemberantasan terorisme. (Baca: Hadiri KTT G20, Presiden Jokowi Akan Bahas Terorisme di Paris)

Isu kerjasama Internasional dalam pemberantasan terorisme seperti "kaset lama" yang terus diputar ulang sejak peristiwa 9/11 di New York. Amerika menjadikan peristiwa Black September sebagai operasi false-flag untuk mendorong dilaksanakannya perang global melawan terorisme dengan teror.

False Flag Operation adalah “serangan” operasi intelijen rahasia tingkat tinggi, untuk “mengkambing-hitamkan” terhadap suatu kasus. Tindakan ini sukses menggulingkan rezim-rezim yang dianggap melindungi kelompok Jihadis seperti di Afganistan dan musuh Amerika Seperti Saddam Husein. (Sudah saya bahas dalam tulisan :Tragedi Paris Akibat Standar Ganda dan Hipokritnya Hollande )

Konflik Suriah menjadikan dunia menjadi bipolar kembali. Rusia, Tiongkok dan negara-negara Islam lainnya  tentu tidak akan tinggal diam jika Tragedi Paris kembali menjadi dasar operasi False Flag atau justifikasi Perancis dan sekutunya “merangsek” Timur Tengah untuk memburu para Jihadis, atau menumbangkan rezim-rezim di Timur-Tengah.

Namun, serangan ke Kota Paris dan peledakan pesawat sipil Russia di atas Sinai Mesir yang diklaim juga oleh ISIS telah mengubah Peta peperangan. Baik Amerika dan Russia, mnyadari ISIS adalah "Common Enemy" yang harus sama-sama dilawan. Ini merupakan sinyal dari ISIS, berhenti menyerang mereka (Gencatan Senjata) atau akan diserang terus.

Bisa saja melalui KTT G-20 ini, Amerika Serikat dan Russia membuat ksepakatan  bersatu melawan ISIS di Suriah dan Irak atau membuat kesepakatan gencatan senjata. Tapi dalam kamus Amerika dan Russia, tidak ada istilah berunding dengan Teroris.

Kelompok ISIS sebenarnya bisa ditumpas jika negara offisialnya memiliki itikad baik menghentikan dukugan politik dan finansialnya kepada kelompok tersebut.

Akan lebih baik jika KTT-G-20 menyusun sebuah peta jalan bagi perdamaian di Suriah. Minimal tercapai kesepakatan gencatan senjata antara rezim Assad dan kelompok Oposisi.

Bagi Indonesia KTT-20 adalah kesempatan emas bagi Presiden Jokowi memberikan masukan solutif bagi perdamain Suriah. Rakyat Indonesia akan angkat topi kepada Presiden Jokowi jika mengeluarkan statement yang menyejukan terkait Tragedi Paris dan Konflik Suriah.

Bersama dengan Presiden Erdogan sebagai 2  orang Pemimpin Muslim terkuat, Presiden Jokowi bisa tunjukan kepada dunia, Indonesia bisa menjadi mediator konflik di Suriah.

Artikel Terkait :

Jokowi Salahsatu Pemimpin Muslim Terkuat, tapi "Diam" Soal Konflik di Suriah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun