Perpecahan itu terjadi pula di kalangan mahasiswa dari bibit PNI, yaitu GMNI. Ada yang bertekad kerjasama dengan gerakan mahasiswa komunis (CGMI) untuk menentang HMI, ada juga yang condong kerjasama dengan HMI.
Seperti saya kemukakan dalam Demokrasi Kita, segala politik Soekarno yang berdasarkan paradoks itu akan gagal. Tetapi ia perlu diberi a fair chance, satu kesempatan yang adil dalam jangka waktu yang pantas untuk melaksanakan konsepsi-konsepsinya itu. Apakah dalam waktu itu ia akan insyaf akan kegagalannya? Atau mungkin ia insaf dalam jiwanya, tetapi pantang mengakuinya.
Tetapi seperti saya katakan dalam Demokrasi Kita, istana konsepsinya itu jika dibuatnya di atas bukit paradoks, sepeninggalnya akan gugur berantakan. (Mohammad Hatta, Maret 1965).
Berkaca dari analisa Bung Hatta di atas, apakah kita akan kembali mengulangi konsep “Paradoks” tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Refleksi Nasional
Apakah rekonsiliasi nasional suatu keniscayaan? Tentu bisa. Asal semua komponen bangsa legowo dan saling memaafkan. Duduk bersama, tidak lagi saling tuding paling bersalah dan paling menjadi korban.
Bangsa ini harus memandang ke depan dan berdamai dengan masa lalu.
Jepang yang kalah perang dunia dan ratusan ribu rakyatnya tewas di Bom Atom saja bisa move on. Mereka sadar telah melakukan pelanggaran HAM berat juga di negara-negara jajahannya. Mereka bangun kembali dari kehancuran dan menjadi bangsa yang maju.
Pun dengan saudara-saudara kita di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, bahkan rakyat Timor-Timur, bisa berdamai dengan masa lalunya, bangsa Indonesia harus move on. Walaupun menoleh ke belakang, itu bagian dari refleksi nasional. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H