Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rekonsiliasi Nasional di Indonesia, Suatu Keniscayaan?

14 November 2015   02:15 Diperbarui: 14 November 2015   08:59 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Rekonsiliasi Nasional (Sumber: Baranews.com)"][/caption]Bicara rekonsiliasi, kita harus belajar banyak ke Afrika Selatan. Iya, icon pejuang anti-apartheid Nelson Mandela mewariskan model "Rekonsiliasi Nasional" paling ideal. Warisan moral Mandela sangat relevan untuk Indonesia yang belum bisa lepas dari bayang-bayang sejarah kelam masa lalunya.

Bagi Mandela, membangun persatuan Afrika Selatan merupakan perjuangan baru tanpa dendam dan kekerasan. Nelson Mandela menawarkan solusi yang tepat bagi bangsanya di masa-masa sulit. Beliau mencoba menerapkan filosofi kuno Afrika yaitu Ubuntu yang bermakna rekonsiliasi, pengampunan, cinta, dan berbagi. Bagi Mandela perdamaian merupakan hal utama, namun memaafkan bukan berarti melupakan (forgiven but not forgotten).

Bagaimana dengan Indonesia, apakah perlu rekonsiliasi Nasional? Peristiwa apa yang harus direkonsiliasi? peristiwa “Genosida” rakyat Indonesia oleh Belanda (1945-1949), peristiwa Madiun (1948), Gerakan 30 September (1965), peristiwa Tanjung Priok (1984), peristiwa Talang Sari Lampung (1990), Kasus DOM Aceh (1978-2005), atau apa? Banyak sekali peristiwa sejarah yang harus di rekonsiliasi.

Jika terkait tuduhan "Genosida" dan penyiksaan fisik terhadap kelompok yang dianggap "Komunis" seperti kesaksian 10 warga Indonesia di International Peoples Tribunal (IPT) atau Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda, itu bukan jalan yang tepat untuk merajut rekonsiliasi nasional di Indonesia.

Sidang IPT di Belanda itu adalah upaya beberapa orang aktivis untuk membuka "kebisuan" yang selama ini terjadi di Indonesia terkait peristiwa 1965 dan menginternasionalkan kasus tersebut. Setelah itu membawa rekomendasi hasil Sidang IPT ke Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Walaupun Indonesia negara demokrasi dan menjunjung tinggi HAM, namun wajah Indonesia pasti akan tercoreng di forum Internasional, jika kasus dugaan pelanggaran HAM seperti yang dituduhkan dalam sidang rakyat IPT dibawa ke PBB.

Jangan harap akan terjadi rekonsiliasi di Indonesia jika kasus ini sampai ke PBB. Ini jauh dari konsepsi rekonsiliasi model Mandela. Pasti ada reaksi dari pihak-pihak yang menentang sidang IPT.

Akan ada perlawanan dan aksi tandingan untuk menolak rekomendasi IPT di Indonesia. Ini akan berpotensi menimbulkan bentrokan horizontal. Apakah ini yang diharapkan oleh para penggagas sidang IPT? Supaya Indonesia kembali “gaduh” setelah 15 tahun menikmati situasi stabil.

Memang, bagi penggagas Sidang IPT, mereka sudah berhasil mencapai tujuan politiknya, walaupun keputusan hakim sidang IPT belum keluar. Iya, mereka berhasil membentuk opini publik terkait korban tragedi 1965. Itu yang mereka maksud dengan "memecah kebisuan".

Tapi strategi ini tidak akan berhasil. Karena kasus 1965 sangat komplek. Berbeda penyelesaiannya dibanding kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, atau Talang Sari di Lampung. Ini terkait komponen-komponen bangsa yang lain, mulai militer (khususnya Angkatan Darat), golongan Islam, angkatan 66, dan lain-lain.

Untuk membangun rekonsiliasi di Indonesia tidak bisa "egois" sendiri, bahwa "kami yang paling jadi korban". Kalau tuntutannya permintaan maaf kepada korban 1965, siapa yang harus meminta maaf, dan kepada siapa?

Pemerintah Jokowi sekarang, bukan bagian dari pemerintahan orde baru. Kalau negara yang harus minta maaf, siapa representasi negara itu? Kalaupun negara harus minta maaf, iya tidak bisa kepada kelompok tertentu saja.

Setiap rezim, pernah melakukan pelanggaran HAM berat. Kelompok Islam pernah mendapat tekanan di era orde lama dan orde baru, termasuk oleh kelompok Komunis sendiri. Saya kira tidak perlu dijelaskan lagi bagaimana bentuknya.

Sidang IPT di Belanda, juga jangan menjadi "panggung" oleh segelintir pihak karena ambisi dan tujuan politik tertentu. Kenapa harus dilaksanakan di era Presiden Jokowi? Kenapa Tidak dilaksanakan di masa Presiden SBY atau masa sebelumnya? Presiden Jokowi jangan disandera dengan kasus ini, akan menjadi beban berat baginya. Masih banyak persoalan bangsa yang harus diselesaikan.

Model rekonsiliasi yang ideal di Indonesia tetap harus melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah dibentuk oleh pemerintah. KKR ini di adopsi dari KKR yang dibentuk oleh Mandela.

Untuk apa KKR dibentuk? Bagi Mandela, KKR dibentuk bukan untuk belas dendam atau mencari-cari kesalahan. Apalagi jika KKR kemudian menjadi batu loncatan agar Tap MPRS/XXV/1966 tentang Larangan Penyebaran Ideologi Komunisme dicabut, itu mustahil terjadi.

Kenapa Ideologi Komunis Harus Tetap Dilarang di Indonesia?

Mudah saja menjelaskannya. Dari surat-surat Bung Hatta, kita bisa mengetahui bahwa ideologi Komunis memang tidak bisa “hidup bersama” di negara yang mayoritas penduduknya ber-Ketuhanan. Akan terjadi paradoks.

Berikut saya tuliskan kembali salahsatu surat Bung Hatta kepada sahabatnya di Bali :

“[PARADOKS NASAKOM] Paradoks yang terbesar dalam sejarah kenegaraan kita ialah Nasakom. Ini dijadikan ukuran segala-galanya. Siapa yang anti-Nasakom dicap kontrarevolusioner. Tetapi, seperti sering saya katakan, Nasakom ini adalah suatu konsepsi yang tidak bisa jalan, konsepsi yang menyatukan anasir-anasir yang bertentangan.

Yang beruntung dalam sistem itu hanya kaum komunis. Ia dapat menyebarkan pengaruhnya di kalangan rakyat dan dapat mempengaruhi tentara dan alat-alat negara. Kata "Revolutioner" dan "Progresif" dipakai sebagai alat perintis dan alat pemukul. Dan kaum komunis dapat melakukan infiltrasi dimana-mana.

Jadinya Nasakom hanya memperkuat kedudukan PKI, yang organisasinya memakai sistem sel. Sebaliknya ia melumpuhkan gerakan Islam dan gerakan nasionalis. Syukurlah, gerakan Islam sudah mulai bangun, dan sadar akan bahaya devide et impera yang dilakukan kaum komunis.

Perpecahan itu terjadi pula di kalangan mahasiswa dari bibit PNI, yaitu GMNI. Ada yang bertekad kerjasama dengan gerakan mahasiswa komunis (CGMI) untuk menentang HMI, ada juga yang condong kerjasama dengan HMI.

Seperti saya kemukakan dalam Demokrasi Kita, segala politik Soekarno yang berdasarkan paradoks itu akan gagal. Tetapi ia perlu diberi a fair chance, satu kesempatan yang adil dalam jangka waktu yang pantas untuk melaksanakan konsepsi-konsepsinya itu. Apakah dalam waktu itu ia akan insyaf akan kegagalannya? Atau mungkin ia insaf dalam jiwanya, tetapi pantang mengakuinya.

Tetapi seperti saya katakan dalam Demokrasi Kita, istana konsepsinya itu jika dibuatnya di atas bukit paradoks, sepeninggalnya akan gugur berantakan. (Mohammad Hatta, Maret 1965).

Berkaca dari analisa Bung Hatta di atas, apakah kita akan kembali mengulangi konsep “Paradoks” tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Refleksi Nasional

Apakah rekonsiliasi nasional suatu keniscayaan? Tentu bisa. Asal semua komponen bangsa legowo dan saling memaafkan. Duduk bersama, tidak lagi saling tuding paling bersalah dan paling menjadi korban.

Bangsa ini harus memandang ke depan dan berdamai dengan masa lalu.

Jepang yang kalah perang dunia dan ratusan ribu rakyatnya tewas di Bom Atom saja bisa move on. Mereka sadar telah melakukan pelanggaran HAM berat juga di negara-negara jajahannya. Mereka bangun kembali dari kehancuran dan menjadi bangsa yang maju.

Pun dengan saudara-saudara kita di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, bahkan rakyat Timor-Timur, bisa berdamai dengan masa lalunya, bangsa Indonesia harus move on. Walaupun menoleh ke belakang, itu bagian dari refleksi nasional. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun