Bung Karno dan M. Yamin mengajukan Lima Prinsip Dasar yang kemudian di kenal dengan Pancasila. Sedangkan Ki Bagus Hadikusumo mengajukan Islam sebagai dasar negara. Usulan Ki Bagus merupakan antitesis terhadap usulan Soekarno-Yamin.
Dengan munculnya dua usul yang berbeda, maka bermulalah "pergumulan" pertama antara Pancasila dan Islam di sidang BPUPKI. Setelah bergumul selama 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 suatu sintesis dan kompromi politik dapat diwujudkan antara dua pemikiran yang berbeda. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan PIAGAM JAKARTA.
Dalam PIAGAM JAKARTA, Pancasila diterima sebagai Dasar Negara, tapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai Sila Pertama atau Sila Mahkota, namun diberi kalimat pengiring "Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Piagam Jakarta adalah hasil rumusan Panitia Sembilan yang beranggotakan: Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Abikusno, dan A.A. Maramis (Tokoh Kristen Moderat).
Dari sembilan orang tersebut, empat diantaranya mewakili golongan Islam, yakni Wahid Hasyim mewakili NU, Abdul Kahar Muzakkir mewakili Muhammadiyyah, Agus Salim mewakili PI-Penyedar dan Abikusno dari Syarekat Islam.
Namun, kompromi politik tersebut hanya bertahan 57 hari. Karena pada tanggal 18 Agustus 1945, anak kalimat pengiring Sila Pertama yaknia "Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus dari Pembukaan UUD 1945.
Menurut kesaksian Bung Hatta yang diceritakan kepada Buya Syafii Ma'arif, hal ini terjadi karena ada perubahan komposisi wakil Islam dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Anggota PPKI yang semula 21 orang, namun atas usul Bung Karno ditambah menjadi 27 orang. Dari jumlah itu, wakil Islam hanya diwakili oleh tiga orang, yakni Ki Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah, Wahid Hasyim dari NU dan Kasman Singodimedjo dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).
Walaupu golongan Islam diwakili tiga orang, mereka sangat gigih memperjuangkan agar rangkaian kalimat "Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" di Sila Pertama dalam pembukaan UUD 1945 tidak dihapus. Bahkan Bung Hatta menceritakan kepada Buya Syafii Maarif, Bung Karno kewalahan menghadapi argumentasi dari Ki Bagus Hadikusumo, konon beliau sempat menggembrak meja di hadapan Bung Karno.
Namun, kemudian Bung Hatta yang mewakili masyarakat Minang dan Teuku Muhammad Hassan dari Perwakilan masyarakat Aceh menengahi perdebatan tersebut. Atas bujukan Bung Hatta dan Teuku Muhammad Hasan, akhirnya Ki Bagus Hadikusumo legowo kalimat pengiring sila pertama dihilangkan dengan pertimbangan Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Hanya dalam tempo 15 menit, kalimat pengiring Sila Pertama "Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dicoret dari Pembukaan UUD 1945.