1. Dalam orasi kegiatan kampanye,
2. Spanduk atau banner,
3. Jejaring media sosial,
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi),
5. Ceramah keagamaan,
6. Media massa cetak atau elektronik,
7. Pamflet.
Dari poin-poin diatas, potensi terbesar sumber Ujaran Kebencian (hate speech) adalah melalui media sosial seperti Twitter dan Facebook; serta blog-blog independen.Â
Media sosial seperti Twitter dan Facebook adalah inovasi terbesar awal abad 21 ini. Tidak hanya sebagai media conecting dan Sharing, media sosial mampu melakukan perubahan besar seperti revolusi "Arab Spring" di Timur Tengah; juga menjadi media kampanye politik yang efektif, seperti pada pemilihan presiden (Pilpres) AS yang menjadikan Barack Obama Presiden Kulit Hitam pertama di negeri Paman Sam; atau yang menghantarkan "tukang kayu" dari Solo menjadi RI-1 pada Pilpres Indonesia 2014.
Seperti hukum alam, selalu ada sisi positif dan negatif, media sosial pun demikian. Sisi negatif media sosial adalah maraknya hate speech di lini-masa setiap harinya yang berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Publik pasti akan mendukung upaya Polri untuk menangkal konflik akibat ungkapan yang menimbulkan kebencian di ruang publik, apalagi jika dilihat dari kacamata kebangsaan, Indonesia sebagai negara yang heterogen.
Namun, SE Kapolri ini jangan sampai disalahgunakan oleh oknum-oknum untuk melakukan kriminalisasi terhadap  individu dan kelompok masyarakat karena alasan-alasan tertentu; atau digunakan oleh pemerintah untuk membungkam lawan-lawan politik dan  masyarakat warga (civil society). Jika terjadi penyalahgunaan fungsi dari SE tersebut, maka Indonesia akan kembali ke jaman kegelapan seperti di era Orde Baru, yakni "dikebirinya" kebebasan berpendapat.[caption caption="Infografis Terkait SE Kapolri Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech). Sumber. KOMPAS.com"]
Bagaimana sikap kita sebagai Citizen Reporter Dan Netizen Terkait SE Kapolri?
Sebagai seorang citizen reporter (pewarta warga) dan netizen, dengan adanya SE Kapolri ini tentu akan "Ngeri-ngeri sedap". Kita akan lebih berhati-hati membuat tulisan atau menyebarkan berita. Namun, tetap,  Pewarta Warga tidak boleh kehilangan sikap kritis terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang ada disekitarnya.
Mencegah Tujuh Dosa Besar
Mengutip buku Kang Pepih Nugraha, berjudul Citizen Journalism, yang diterbikan Kompas; Seorang Citizen Reporter atau Netizen tidak boleh takut menayangkan tulisan di media sosial, blog pribadi atau Kompasiana selama memiliki Netiket.
Menurut Kang Pepih, selama netizen dan pewarta warga mampu mencegah "Tujuh Dosa Besar", maka aman untuk mengaktualisasikan diri lewat tulisan di dunia maya.