Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hari Santri: Pengakuan Sejarah atau Politik Belah Bambu?

25 Oktober 2015   00:55 Diperbarui: 25 Oktober 2018   17:11 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

["Lambang NU dan Muhammadiyah (Sumber: Islam-Institute.org)"][/caption]

Meski menuai protes, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap mendeklarasikan Hari Santri Nasional (HSN) di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Kamis (22/10/2015). Sebelumnya Pengurus Pusat Muhammadiyah keberatan dengan keputusan Presiden Jokowi yang akan menetapkan HSN. Menurut Muhammadiyah, tidak perlu ada eksklusivitas antara santri dan non-santri dikhawatirkan akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. (Baca : Hari Santri Nasional Akan Mendistorsi Makna Santri?)

Namun, Presiden Jokowi  berpendapat penetapan HSN tidak akan membuat polarisasi di antara kelompok tertentu di internal umat Islam Indonesia. Penetapan Hari Santri diyakini akan memperkuat semangat kebangsaan, mempertebal rasa cinta Tanah Air, memperkokoh integrasi bangsa, serta memperkuat tali persaudaraan. Menurutnya, penetapan Hari Santri Nasional ditentukan setelah mempertimbangkan berbagai hal. Salah satunya, dari sudut pandang sejarah, bahwa santri memiliki peran cukup penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ini merupakan pengakuan pemerintah atas jasa-jasa Santri dan Ulama dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Pernyataan Presiden Jokowi tersebut mendapat tanggapan dari mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsudin; yang menyatakan HSN hanya romantis ke belakang tapi tidak jelas ke depan.

Pemahaman “romantisme ke belakang” yang dimaksud Din Syamsudin ini bisa multi tafsir. Pertama, momentum HSN ini hanya sebatas mengenang peristiwa resolusi jihad yang dilakukan santri dan ulama pada masa kemerdekaan dulu. Kedua, upaya Nahdatul Ulama (NU) untuk kembali dekat dengan kekuasaan.

Penulis menganalisa, masih ada “Kecurigaan” dari kelompok Islam modernis, khususnya Muhammadiyah terhadap tujuan Pemerintah Jokowi yang memiliki benang merah ideologi dengan Pemerintahan Soekarno.

NU dan  Masyumi

Sejarah mencatat di  era Soekarno, NU dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi Islam terbesar selalu menempuh jalan bersibak dua. Perbedaan pandangan politik kedua Ormas Islam tersebut sudah terjadi semenjak keduanya masih berafiliasi kepada partai politik Islam Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

NU keluar dari Partai Islam Masyumi pada Mei 1952 dalam Muktamar ke-19 di Palembang. Dalam buku Islam dan Politik (Gema Insani Press, 1996), karya Prof. DR.  Ahmad Syafii Maarif, sebab-sebab keluarnya unsur NU dari Masyumi dapat dilacak pada perasaan tidak puas dikalangan unsur ini atas dominasi kelompok reformis dalam dewan partai dimasa kepemimpinan Mohammad Natsir. Ada ketidakpuasan NU terhadap “jatah menteri” yang waktu itu hanya menduduki Menteri Agama. Menurut NU, para Kyai pun bisa menjadi menteri selain Menteri Agama.

Dengan keluarnya NU dari Masyumi, Partai Islam terpecah menjadi empat partai: Masyumi, NU, PSII dan Perti. Keluarnya NU dari Masyumi membuat posisi partai dengan logo Bulan Bintang tersebut menjadi lemah. Oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, dalam buku Islam dan Politik di Indonesia, proses ini disebut periode kristalisasi partai-partai Islam.

Politik Belah Bambu Di Masa Demokrasi Terpimpin

Masa Demokrasi Terpimpin dianggap sebagai masa terkelam bagi partai-partai Islam. Setelah mengeluarkan Dekrit Presiden tahun 1959, Soekarno yang sudah terobsesi menjadi Presiden seumur hidup di Indonesia memaksa pembubaran Partai Masyumi pada 17 Agustus 1960 karena dianggap anti-revolusi, anti Nasakom dan dituduh terlibat dalam pemberontan PRRI di daerah-daerah kantong Masyumi di Sumatera.

Akibat pembangkangan tersebut, Soekarno memasukan Masyumi ke dalam kelompok “kepala batu” bersama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang juga dibubarkan. Oleh Soekarno, Masyumi dianggap duri dalam daging yang mengganggu jalannya revolusi dan harus disingkirkan. Karenanya, Soekarno membungkam tokoh-tokoh Masyumi. Banyak mantan tokoh Masyumi, seperti Mohammad Natsir, Hamka, Burhanuddin Harahap, Mohammad Yunan Nasution, Prawoto Mangkusasmito, Isa Anshari dan Syafruddin Prawiranegara, yang mendekam dalam penjara tanpa proses hukum yang wajar.

Sebaliknya, tiga partai lainnya, yakni NU, PSII dan Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut. Dalam demokrasi terpimpin ini, NU dianggap paling menikmati iklim politik yang diciptakan Soekarno dengan sistem Nasakom karena menjadi pendukung utamanya.

Sementara tokoh-tokoh Masyumi dipenjara, banyak tokoh NU ikut ambil bagian dalam demokrasi terpimpin dan menduduki posisi-posisi kunci di Pemerintahan diantaranya: K.H. Idham Chalid, K.H. Achmad Sjaikhu dan K.H. Saifuddin Zuhri. Para ulama NU berpendapat bahwa masuk ke dalam  sistem demokrasi terpimpin adalah ijtihad politik pihak pesantren.

Untuk mendukung pandangan dan pendiriannya, NU menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh. Diantaranya kaidah   ma la yudraku kulluhu la yutraku ba’dhuh (sesuatu yang tidak dapat diperoleh secara utuh atau 100%, jangan ditinggalkan meskipun hanya diperoleh sebagiannya saja).

Bagi NU, masuk ke dalam sistem demokrasi terpimpin lebih baik dan akan lebih mudah mewarnainya dari pada di luar sistem. Oleh mantan Ketua Umum Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafii Maarif, proses ini disebut periode kolaborasi  yakni kerjasama partai-partai Islam (minus Masyumi) dengan PKI dan kelompok nasionalis.

Namun, yang jelas, apa pun yang dipilih oleh partai-partai Islam, menolak atau menerima demokrasi terpimpin, kedua-duanya sama hancur. Masyumi dibubarkan, NU juga terjungkal pasca gagalnya kudeta PKI pada 30 September 1965, dan perjuangan politik Islam di Indonesia kembali gagal.

Menurut Buya Syafii Maarif, ada tiga faktor utama kegagalan politik Islam di era demokrasi terpimpin. Pertama, dikalangan partai Islam sendiri tidak dapat kata sepakat dalam menghadapi konstelasi politik saat itu.

Kedua, dari sudut historis, perpecahan tidak terlepas dari pertentangan paham antara kelompok modernis dan tradisional. NU sebagai kelompok tradisional sering terlibat polemik khilafiyah dengan Persis dan Muhammadiyah (sampai sekarang masih terjadi). Ditambah, adanya ketidakpuasan atas kekuasan ditubuh Masyumi oleh NU.

Ketiga, perpecahan ditubuh partai-partai Islam dibaca dengan sangat jeli oleh Soekarno. Karenanya, Soekarno memainkan politik belah bambu; mengangkat yang satu dan menginjak yang lainnya. Soekarno membubarkan Masyumi dan membela partai-partai tradisional lainnya sebagai salahsatu pilar penopang kekuasaannya.

Trauma politik belah bambu inilah yang mungkin ditafsirkan oleh Muhammadiyah, HSN bisa membuka luka lama yang hampir mengoyak-ngoyak persaudaraan dan persatuan antar ummat Islam di Indonesia.

NU dibandingkan dengan Masyumi, PNI dan PSI, sebelum masa reformasi memang belum pernah didapuk menjadi “orang nomor wahid” di Indonesia, baik menjadi Presiden atau Perdana Menteri.

Baru di era reformasi, putra terbaik NU, K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) berhasil menjadi “orang nomor wahid” di negeri ini berkat dukungan poros tengah yang dimotori oleh Amin Rais sebagai tokoh sentral Muhammadiyah di tahun 1999. Sejarah mencatat, inilah koalisi Islam Politik terbaik pasca bubarnya Masyumi; kelompok Islam tidak mengambil jalan bersibak dua, namun bersatu menggolkan tokoh NU menjadi RI-1 dan mengalahkan Megawati dari kelompok nasionalis.

Namun, lagi-lagi sejarah juga mencatat, NU dan Muhammadiyah walaupun bukan lagi menjadi partai, kembali bersitegang akibat mosi tidak percaya kepada Gus Dur yang juga dimotori oleh Amin Rais. 

Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Partai Amanat Nasiona (PAN) sebagai anak kandung Muhammadiyah dan Partai Kebangkitan Bangs (PKB) sebagai anak kandung NU selama 10 tahun ikut dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB); namun di Pilpres 2014, PKB dan PAN kembali mengambil jalan yang berbeda. PAN mendukung Prabowo-Hatta sedangkan PKB mendukung Jokowi-JK. Walaupun ada juga kader Muhammadiyah yang mendukung Jokowi-JK seperti Buya Syafii Maarif sendiri; dan tidak semua kader NU mendukung Jokowi-JK seperti Mahfud MD yang menjadi Ketua Tim pemenangan Prabowo-Hatta.

Besarnya  peran PKB dan jam’iah NU dalam pemenangan Jokowi-JK pada tahun 2014; maka ada upaya balas budi dari Presiden terpilih kepada NU, salahsatunya melalui penetapan HSN pada 22 Oktober 2015, yang memang dijanjikan ketika kampanye Pilpres. Namun, polemiknya tidak kunjung selesai sampai sekarang.

Inilah yang menjadi salah satu alasan Muhammadiyah menolak penetapan HSN karena dianggap pemerintah tidak netral. Muhammadiyah khawatir akan ada jarak antara kaum Nahdiyin  dan kelompok Islam lainnya di Indonesia yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa 22 Oktober 1945.

Realita politik kontemporer sekarang, Jokowi butuh "keseimbangan politik" baik di Kabinet maupun di Parlemen. Bersikap pragmatis adalah opsi populer dalam politik Indonesia saat ini. Penulis prediksi, untuk mengobati kekecewaan kelompok Muhammadiyah, Pemerintah Jokowi akan mengakomodasi PAN sebagai anak kandung Muhammadiyah masuk dalam kabinet kerja dalam reshuffle kabinet mendatang. Konon, reshuffle kabinet kedua akan segera diumumkan.

Selain itu, Pemerintahan Jokowi-JK bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan Muhammadiyah dibidang pendidikan Islam dan pelayanan sosial yang menjadi "core" utama gerakan Muhammadiyah.

Alasannya, Presiden Jokowi memerlukan  “dukungan politik" mayoritas di parlemen untuk menjalankan roda pemerintahannya yang tersisa 4 tahun. Tantangan pemerintahannya akan semakin berat jika tidak mendapat dukungan penuh di parlemen ditengah situasi ekonomi dan politik global yang tidak menentu.

Hubungan NU-Muhammadiyah memang selalu pasang surut. Kadang mesra, tapi lebih sering hubungannya sulit. Namun, NU-Muhammadiyah adalah asset terpenting bangsa. Sebagai organisasi masyararakat sipil akan tetap menjadi menjadi penyeimbang jalannya roda pemerintahan dan menjadi mediator dalam konteks hubungan Islam dan Negara. (*).

Baca juga :

Analisis Marxis Tentang Islam Politik

Radikalisme Islam bukan Produk Impor, tapi "Home Ground"

Detik-detik Menentukan Perubahan Piagam Jakarta

HTI Tidak Mengakui ISIS Sebagai Negara Islam

Lembaran Putih Petisi 50, Mengingat Kembali Tragedi Tanjung Priok

PAN-Islamisme, Nasionalisme Sekuler dan Kemerdekaan Palestina

Referensi tulisan:

DR. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun