NU dibandingkan dengan Masyumi, PNI dan PSI, sebelum masa reformasi memang belum pernah didapuk menjadi “orang nomor wahid” di Indonesia, baik menjadi Presiden atau Perdana Menteri.
Baru di era reformasi, putra terbaik NU, K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) berhasil menjadi “orang nomor wahid” di negeri ini berkat dukungan poros tengah yang dimotori oleh Amin Rais sebagai tokoh sentral Muhammadiyah di tahun 1999. Sejarah mencatat, inilah koalisi Islam Politik terbaik pasca bubarnya Masyumi; kelompok Islam tidak mengambil jalan bersibak dua, namun bersatu menggolkan tokoh NU menjadi RI-1 dan mengalahkan Megawati dari kelompok nasionalis.
Namun, lagi-lagi sejarah juga mencatat, NU dan Muhammadiyah walaupun bukan lagi menjadi partai, kembali bersitegang akibat mosi tidak percaya kepada Gus Dur yang juga dimotori oleh Amin Rais.
Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Partai Amanat Nasiona (PAN) sebagai anak kandung Muhammadiyah dan Partai Kebangkitan Bangs (PKB) sebagai anak kandung NU selama 10 tahun ikut dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB); namun di Pilpres 2014, PKB dan PAN kembali mengambil jalan yang berbeda. PAN mendukung Prabowo-Hatta sedangkan PKB mendukung Jokowi-JK. Walaupun ada juga kader Muhammadiyah yang mendukung Jokowi-JK seperti Buya Syafii Maarif sendiri; dan tidak semua kader NU mendukung Jokowi-JK seperti Mahfud MD yang menjadi Ketua Tim pemenangan Prabowo-Hatta.
Besarnya peran PKB dan jam’iah NU dalam pemenangan Jokowi-JK pada tahun 2014; maka ada upaya balas budi dari Presiden terpilih kepada NU, salahsatunya melalui penetapan HSN pada 22 Oktober 2015, yang memang dijanjikan ketika kampanye Pilpres. Namun, polemiknya tidak kunjung selesai sampai sekarang.
Inilah yang menjadi salah satu alasan Muhammadiyah menolak penetapan HSN karena dianggap pemerintah tidak netral. Muhammadiyah khawatir akan ada jarak antara kaum Nahdiyin dan kelompok Islam lainnya di Indonesia yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa 22 Oktober 1945.
Realita politik kontemporer sekarang, Jokowi butuh "keseimbangan politik" baik di Kabinet maupun di Parlemen. Bersikap pragmatis adalah opsi populer dalam politik Indonesia saat ini. Penulis prediksi, untuk mengobati kekecewaan kelompok Muhammadiyah, Pemerintah Jokowi akan mengakomodasi PAN sebagai anak kandung Muhammadiyah masuk dalam kabinet kerja dalam reshuffle kabinet mendatang. Konon, reshuffle kabinet kedua akan segera diumumkan.
Selain itu, Pemerintahan Jokowi-JK bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingan Muhammadiyah dibidang pendidikan Islam dan pelayanan sosial yang menjadi "core" utama gerakan Muhammadiyah.
Alasannya, Presiden Jokowi memerlukan “dukungan politik" mayoritas di parlemen untuk menjalankan roda pemerintahannya yang tersisa 4 tahun. Tantangan pemerintahannya akan semakin berat jika tidak mendapat dukungan penuh di parlemen ditengah situasi ekonomi dan politik global yang tidak menentu.
Hubungan NU-Muhammadiyah memang selalu pasang surut. Kadang mesra, tapi lebih sering hubungannya sulit. Namun, NU-Muhammadiyah adalah asset terpenting bangsa. Sebagai organisasi masyararakat sipil akan tetap menjadi menjadi penyeimbang jalannya roda pemerintahan dan menjadi mediator dalam konteks hubungan Islam dan Negara. (*).
Baca juga :