Namun permohonan beliau masih ditolak. Indonesia dianggap belum siap menggarap Industri Pesawat Terbang. Namun kesempatan kedua datang setelah pergantian rezim di Indonesia. Melalui Ibnu Sutowo, beliau dipanggil pulang oleh Presiden Soeharto untuk membangun industri dirgantara Indonesia dan menyumbangkan bakti kepada tanah air. Tidak lama setelahnya, Pak Habibie diangkat menjadi anggota Kabinet Pembangunan Pak Harto, diberikan kepercayaan sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Beliau menjadi anggota kabinet selama beberapa periode kepemimpinan Pak Harto, kurang lebih 20 tahun lamanya.
Tahun 1998, ketika dilaksanakan pemilihan Presiden, Pak Harto menggandeng beliau sebagai pasangannya dalam Pilpres. Sebuah keputusan yang tidak mudah, mengingat Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi parah dan mulai banyak pihak yang mencoba menggoyang tampuk kursi kepemimpinannya. Kemudian terjadilah tragedi Mei 1998 dan Pak Habibie akhirnya menjadi Presiden RI ke-3. Bu Ainun juga menjadi ibu negara RI ke-3.
Dalam adegan bersetting tahun 1998, saya kembali menerawang jauh ke belakang sewaktu menjadi Mahasiswa IKIP Bandung. Kebetulan saya ikut terlibat dalam demonstrasi untuk menurunkan Presiden Soeharto. Presiden Soeharto adalah “Common Enemy” Mahasiswa untuk dijatuhkan. Namun setelah beliau lengser, terjadi fragmentasi gerakan Mahasiswa. Saya yang tergabung dalam gerakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Koordinator Komisariat (Korkom) IKIP Bandung mendukung Presiden Habibie sebagai pemimpin yang konstitusional. Perpecahan tersebut menyebabkan terjadinya kasus Semanggi 1 dan 2 yang banyak menimbulkan korban jiwa. Saya masih ingat teriakan, HMI adalah “anjingnya” Orde Baru. Padahal mereka tidak tahu siapa sebenarnya sosok Habibie. Habibie-lah yang menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Habibie tetap fokus dalam membenahi ekonomi yang terpuruk sekaligus tetap menjaga NKRI ini tetap utuh.
Memang segala sesuatunya butuh pengorbanan, dalam masa kepresidenan Habibie ada peristiwa penting, yaitu dilaksanakannya jajak pendapat di Timor-Timur yang mengantarkan Provinsi termuda tersebut menuju kemerdekaan. Banyak pihak menuding, inilah dosa besar Habibie terhadap NKRI. Namun dalam Film tersebut, Habibie digambarkan tidak tidur semalaman untuk memutuskan dilaksanakannya jajak pendapat di Timor-Timur. Habibie dengan berbagai pertimbangan, termasuk alasan kemanusiaan dengan legowo memberikan keputusan terbuka peluang jajak pendapat di Timor-Timur.
Mengutip penasihat Presiden Habibie, Dewi Fortuna Anwar, “Timor-Timur seperti kerikil kecil dalam sepatu NKRI, sehingga Indonesia selalu berjalan tertatih, khususnya dalam pergaulan dan diplomasi Internasional”. Timor Leste harus dikembalikan kepada arah yang sebenarnya, ungkap Dewi Fortuna Anwar, menyikapi kritikan pedas mantan Menteri Penerangan Malaysia yang menyerang Habibie dalam sebuah tulisan baru-baru ini.
Kembali ke Film diatas, pada tahun 1998, Ainun adalah seorang yang dengan tulus ikhlas membantu suaminya mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Dalam buku karangan Habibie “Detik-detik Yang Menentukan” tergambar dengan sangat baik bagaimana Ainun mendampingi Habibie dalam kondisi yang sangat gawat dan krusial. Habibie dalam sebuah cerita yang panjang memasukkan dengan gamblang apa saja yang dilakukan Ainun dalam mendampinginya. Dan Ainun pula yang menjadikan Habibie selalu tenang dan matang dalam mengambil sebuah keputusan.
Selain seorang Istri, Ibu Ainun adalah dokter pribadi Presiden Habibie. Beliau selalu mengingatkan agar Presiden Habibie rutin meminum obat. Namun disatu sisi Ibu Ainun merahasiakan penyakit Kanker Ovarium yang dideritanya sampai di-diagnosa sudah stadium tiga.
Bagi Habibie, Ainun adalah segalanya. Ainun adalah mata untuk melihat hidupnya. Bagi Ainun, Habibie adalah segalanya, pengisi kasih dalam hidupnya. Namun setiap kisah mempunyai akhir, setiap mimpi mempunyai batas. Kemudian pada satu titik, dua belahan jiwa ini tersadar; Apakah cinta mereka akan bisa terus abadi?
Iya, Ibu Ainun harus kembali kepada yang Khalik karena penyakit Kanker-nya. Air mata saya mengalir ketika melihat adegan Habibie menaruh dahinya di tembok ketika diingatkan saudara Ibu Ainun, untuk mengikhlaskan Ibu Ainun. Hal ini mengingatkan saya kepada Ibunda tercinta ketika beliau juga dipanggil Yang Maha Kuasa. Saya merasakan apa yang dirasakan Pak Habibie.
Seperti telah diberitakan oleh banyak media, pada 24 Maret 2010, Hasri Ainun Habibie masuk ke rumah sakit Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Gro`hadern, Munchen, Jerman. Ainun berada di bawah pengawasan direktur Rumah Sakit Prof. Dr. Gerhard Steinbeck, yang juga spesialis penyakit jantung. Ia telah menjalani sembilan kali operasi dan empat kali dari sembilan operasi tersebut merupakan operasi utama. Sisanya merupakan operasi eksplorasi. Pukul 17.05 waktu Jerman, hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010, Ibu Ainun wafat dalam usia 72 tahun, setelah 48 tahun hidup bersama Habibie.
Film ini terasa begitu menyentuh. Seorang Pak SBY saja dibuatnya menangis ketika menonton bersama dalam pemutaran perdana di Jakarta. Akting Reza Rahadian sangat bagus sekali. Reza mampu menyita perhatian penonton, begitu juga dengan Bunga Citra Lestari. Saya yakin Reza Rahadian bisa kembali meraih Piala Citra dengan memerankan Pak Habibie.