Ah….tiba-tiba air mata ini mengalir, buru-buru saya seka dengan tangan setelah lampu Studio Cinema 21 dinyalakan. Malu ketahuan Istri, kalau saya baru menangis, takutnya dianggap “Melllow” oleh mantan pacar he..he.
Iya, waktu itu Minggu (23/12/2012) saya dan Istri baru saja menonton film dengan judul Habibie dan Ainun di Cinema 21 Central Plaza Bandar Lampung. Setelah lama antri, akhirnya dapat juga tiket film tersebut. Diluar dugaan peminatnya banyak sekali, antrinya sampai mengular dengan tiga baris.
Wajar, jika film Habibie dan Ainun banyak penontonnya, karena ceritanya diangkat dari kisah nyata perjalanan cinta Presiden Habibie dan Ibu Ainun yang dituliskan dalam sebuah buku dengan judul yang sama. Buku Habibie dan Ainun menjadi Best Seller pada tahun 2012 di toko-toko buku, termasuk di Gramedia.
Film Habibie dan Ainun berkisah tentang belahan jiwa kita, yaitu suami atau istri. Mungkin anda semua punya cerita tentang bagaimana menemukan belahan hati. Begitupun dengan Habibie, dengan apik beliau tuangkan dalam sebuah cerita bagaimana menemukan belahan jiwanya. Film ini tentang cinta pertama dan cinta terakhir. Kisah tentang Presiden ketiga Indonesia dan ibu negara. Kisah tentang Habibie dan Ainun.
Rudy Habibie seorang jenius ahli pesawat terbang yang punya mimpi besar, bersumpah kepada bangsa Indonesia untuk membuat pesawat terbang dalam rangka menyatukan Indonesia. Sedangkan Ainun adalah seorang dokter muda cerdas dengan jalur karir terbuka lebar untuknya.
Pada tahun 1962, dua kawan SMP ini bertemu lagi di Bandung. Walaupun awalnya Habibie menyebut Ainun Jelek, hitam seperti gula Jawa. Namun setelah pulang dari Jerman, Habibie jatuh cinta seketika pada Ainun. “Gula Jawa itu sudah berubah menjadi gula pasir” Ungkap Habibie dengan senyum dan bicara yang khas.
Semua penonton dibuatnya tergelak ketika Habibie mengungkapkan hal tersebut. Ya, Ainun adalah kembang desa. Pria-pria yang tertarik kepadanya tentu bukan dari golongan biasa-biasa. Mau tak mau Habibie pun harus bersaing dengan mereka untuk merebut hati Ainun. Sebuah adegan romantis juga menggelitik dihadirkan Sutradara Faozan Rizal, seperti halnya ketika Habibie melamar Ainun di atas becak. Gayung-pun bersambut, Ainun menerima lamaran Habibie. Tapi Ainun, dia tak hanya jatuh cinta, dia percaya pada visi dan mimpi Habibie. Mereka menikah dan terbang ke Jerman.
Punya mimpi tak akan pernah mudah. Habibie dan Ainun tahu itu. Cinta mereka terbangun dalam perjalanan mewujudkan mimpi. Dinginnya salju Jerman, pengorbanan, rasa sakit, kesendirian serta godaan harta dan kuasa saat mereka kembali ke Indonesia mengiringi perjalanan dua hidup menjadi satu.
Setelah di Jerman, Habibie dan Ainun harus tinggal di apartemen kecil di Oberfortsbach, desa kecil di pinggiran Jerman Barat. Ainun yang hamil besar mengandung anak pertama tetap setia mendampingi Habibie yang sedang proses mendapatkan gelar S3. Bukan hal yang mudah bagi Ainun, seorang anak gadis cemerlang tinggal di Jerman dengan segala keterbatasannya.
Adegan yang sangat menyentuh, ketika Habibie kehabisan uang untuk pulang naik bis. Beliau harus berjalan kaki ditengah dinginnya salju dengan sepatu yang alasnya sudah bolong. Terpaksa beliau melapisi sepatunya dengan kertas kerja yang berisi desain gerbong-gerbong Kereta Api berkonstruksi ringan.
Setelah beliau lulus S3, Habibie ditawari pekerjaan oleh beberapa perusahaan konstruksi pesawat terbang terkemuka di Jerman. Namun, ternyata sumpah beliau ketika sakit mengalahkan tawara-tawaran tersebut. Beliau lebih memilih untuk mendarma-baktikan ilmunya untuk tanah air. Lantas Habibie mengirimkan surat ke Indonesia. “Indonesian Calling”, itulah yang diyakini Habibie.