Mohon tunggu...
Riduan Situmorang
Riduan Situmorang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Riduan Situmorang seorang alumni dari SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos P. Siantar dan sedang kuliah di FBS Unimed. Lahir di Simandampin, 31 Desember 1987

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bagaimana Meregenerasi Petani?

20 Mei 2019   10:05 Diperbarui: 20 Mei 2019   10:12 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seturut kemudian, lahan pertanian pun menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 tercatat 7,1 juta hektare (ha). Luasan itu menurun jika dibandingkan tahun 2017, yakni seluas 7,75 juta ha.

Padahal, andai kita menyahuti takdir dan menghiasi halaman depan Nusantara ini dengan baik, kita berpotensi besar menjadi negara adiluhung di dunia. Kita punya lahan yang luas. Kita punya iklim yang mendukung. Kita dianugerahi cuaca yang ramah. 

Berkaca pada Israel yang menjadi negara adidaya di bidang pertanian dan perkebunan pada posisi kondisi lahan mereka sangat terbatas, belum lagi cuaca yang tak mendukung, kita semestinya punya potensi yang sangat besar untuk melebihi perolehan mereka. Hanya saja, kendalanya saat ini adalah generasi muda semakin tak meminati potensi pertanian.

Anak muda semakin abai pada lahan pertanian sehingga mereka tak merasa khawatir banyak lahan yang sangat bagus untuk pertanian digusur dan diolah menjadi lahan industri. Jika generasi muda semakin ogah bertani sehingga ke depan kita harus menimpor sembako, lantas apa yang semestinya kita lakukan? Tentu saja sederhana: regenerasi petani. 

Namun, jawaban sederhana ini mengandung tindakan yang tak sederhana. Tak sederhana karena pemerintah tak bisa lagi hanya mendukung, tetapi harus mempropagandakan betapa pertanian itu potensial menjadi sumber kemakmuran ekonomi di masa depan.

Dalam hal ini, pemerintah harus hadir untuk membongkar berbagai mitos bahwa petani ini profesi rendahan, juga bahwa petani itu sangat dekat dengan kemiskinan. Pemerintah harus berada di sisi petani. Harga harus teratur. Jangan lebih banyak beban daripada panen. 

Jangan ketika panen tiba, impor meraja lela. Di samping itu, pemerintah juga harus mendukung modernisasi pertanian. Hal ini perlu supaya petani tak dianggap profesi lumpur semata. Modernisasi dalam artian alat-alat teknologi canggih harus segera didesain.

Saya jadi teringat tahun 2015 yang lalu. Ketika itu, saya bersama dengan PLOt  mengadakan pertunjukan keliling di Jerman. Jerman adalah negara maju. Tetapi, yang membuat saya terkesima bukan soal infrastruktur yang mewah atau gedung yang menjulang. Yang membuat saya terkesima adalah alamnya yang asri. Perkebunan dan pertanian mereka sangat luas. 

Bahkan, di kota sekalipun ada kebun. Yang jauh membuat saya lebih terkesima lagi adalah bukan lahan pertanian, melainkan luas dan rapinya lahan itu, tetapi hampir tak satu pun orang yang kelihatan. Ibaratnya, tak ada pekerja, tetapi hasilnya melimpah.

Beda di tempat kita. Petaninya banyak, tetapi hasilnya minim. Orang Jerman ke lahan naik mobil mewah, tetapi kita malah sebaliknya. Mengapa? Karena menjadi petani di sana bukan soal takdir, tetapi soal pilihan. Mereka orang-orang terlatih. Bertani bukan nasib sial, melainkan sebuah profesi mulia. 

Kita sebenarnya bisa menirunya melalui edukasi bahwa bertani itu tak harus kotor-kotor dan bukan pekerjaan murahan. Ini bisa dilakukan kalau sudah ada integrasi antara ilmu dan teknologi lalu diterapkan dalam perkebunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun