Mohon tunggu...
Rismawati Idris Rahardian
Rismawati Idris Rahardian Mohon Tunggu... PEMELAJAR -

PEMELAJAR; MASIH MENGEJA AKSARA DALAM KERTAS. PEMUISI; HIDUP DALAM BUAIAN AKSARA DAN KEMETAFORAAN. PEMUJA KEHARMONISAN; MENCINTAI HIDUP YANG PENUH WARNA.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Antara Kita

31 Oktober 2015   21:39 Diperbarui: 31 Oktober 2015   21:40 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia mengamuk. Ia hancurkan semua benda yang ada di kamarnya. Ia menangis, menangis sejadi-jadinya. Aku mengatahui hal itu, namun aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menyaksikan dari balik pintu kamarnya. Ia masih menangis. Namun, ia menyadari bahwa kamarnya bersebelahan dengan kamar ayah dan ibunya. Ia tak ingin menggangu tidur orangtuanya. Ia tak mau keduanya tahu. Aku berdiri—mematung—dari satu jam yang lalu, tak dapat berkutik dan tak tahu ingin memulai dari mana. Aku tak ingin mengganggu tangisnya. Ya, tepat. Aku biarkan saja dia menangis, menangis untuk menikmati kesedihan itu.

Satu jam berlalu. Dua jam berlalu hingga kini, aku tak sanggup untuk menemuinya. Aku berpikir bahwa ia harus tenang dengan caranya, bukan dengan caraku. Aku masih mengintipnya. Di balik daun pintu yang agak terbuka sedikit itu. Aku masih belum melihat ia tenang. Amarahnya masih meradang, menguasai hati dan pikirannya.  

Aku mulai lelah berdiri—mondar-mandir—di balik pintunya. Suara tangisnya masih terdengar. Aduh! Memilukan. Rasanya aku ingin memeluknya. Aku sudah berdiri lebih dari lima jam yang lalu. Kali ini ia terisak menahan tangisnya. Aku tahu, ia ingin berhenti dari tangisan itu. Ini waktu yang tepat!. Kataku.

Aku berjalan memasuki kamarnya. Membuka pintu kamarnya perlahan. Ruangan itu sangat gelap. Aku dapat merasakan kesedihan dan kekecawaannya dalam gelap. Gelap ini sangat mematikan. Gelapnya malam dan gelapnya kamar itu sama-sama sedang bersekongkol membunuh hatinya. Membunuh jiwanya. Aku tak dapat melihat.. aduh! Kemana tombol lampunya, gumamku.

Aku mencoba meraba-raba dinding kamarnya. Yes! Ketemu, kataku. Ku nyalakan lampu itu dan ku dapati ia terbelenggu dalam daya kekecewaan. Kegelapan berhasil memusnahkan logikanya. Ia tergetak kaku dalam ranjang tidurnya. Aku menggerak-gerakan tubuhnya.

“Hei… heeiii… bangun. Sadarlah. Aku bersamamu”

Aku terus menggerakan tubuhnya. Ia tak berdaya. Pandangan matanya kosong.

Aku terus menatapnya. Ku biarkan ia larut dalam emosi jiwanya—dalam gelora kekecewaaan yang membakarnya—ia tak sadarkan diri.

Lagi-lagi aku menunggunya. Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Kami masih terdiam. Wajahnya ke arahku. Tetapi, tidak pandangan matanya. Aku masih menunggu. Hingga satu jam ia tak merespon ku dengan kata-kata.

Ia berusaha tersenyum dengan begitu getirnya.

“Ia telah pergi. Aku telah membiarkannya.” Katanya sambil terisak-isak.

Aku tak merespon. Aku masih menunggu dirinya stabil.

Ia bangun dari ranjang tidurnya. Ia memberiku telepon genrggamnya. Aku terdiam. Ia seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku makin terdiam dan hanyut dalam layar kaca telepon genggam itu. Pipiku basah. Hatiku tersayat . Aku merasa berduka.

“Kau paham?” katanya, masih terisak.

Kami berdua menangis. Betapa kejam si pengirim pesan singkat ini. Dalam pesan tersebut tertuliskan ungkapan permohonan maaf karena pembatalan sebuah acara pernikahan.

Aku tak berani berkata-kata. Senyumku membeku

Laki-laki itu membatalkan pernikahannya dengan sahabatku. Dalam pesan itu, ia juga mengatakan bahwa laki-laki itu telah memutuskan hubungan mereka yang telah dijalani selama lima tahun belakangan. Lusa mereka akan menikah. Ia pergi. Tak dapat melanjutkan untuk menjadi pengantin laki-laki pada perayaan tersebut.

Namun, yang membuatku begitu terluka, ia mengatakan akan bersedia meminta sahabat laki-laki mereka untuk menggantikan posisinya saat pernikahan, jika ia menghendaki.

“Kau tahu sekarang rasanya terluka? Aku sudah tak punya harapan lagi. Aku benci laki-laki yang tak bertanggung jawab—tak setia—dan tak memahami perasaanku”

Aku memeluknya. Tak sanggup aku berkata-kata. Aku hanya mematung. Ku biarkan diriku masuk dalam kegelapan malam. Ku biarkan diri kami menyatu dalam kelukaan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun