Kebahagiaan sering kali terasa seperti tujuan yang sulit diraih dalam hidup. Namun, aturan pertama untuk mencapai kebahagiaan sebenarnya sangat sederhana: rendahkan harapan. Ketika kita menurunkan ekspektasi kita terhadap berbagai hal dalam hidup, kita cenderung merasa lebih puas dengan apa yang kita miliki dan tidak terlalu terbebani oleh keinginan yang tidak tercapai.
Masalahnya, banyak dari kita tidak hanya ingin merasa bahagia, tetapi juga ingin lebih bahagia daripada orang lain. Hal ini menimbulkan masalah besar karena kita cenderung berpikir bahwa orang lain hidup lebih bahagia dari kita, meskipun kenyataannya belum tentu demikian.
Media sosial sering menjadi panggung di mana orang-orang menampilkan sisi terbaik dari hidup mereka, membuat kita berpikir bahwa mereka memiliki kehidupan yang sempurna. Padahal, apa yang tampak di permukaan tidak selalu mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Akibatnya, kita terjebak dalam lingkaran perbandingan sosial yang tidak berujung dan akhirnya merasa kurang puas dengan hidup kita sendiri.
Kekayaan, kesuksesan, dan kebahagiaan sebenarnya bersifat relatif. Apa yang kita anggap kaya atau sukses sering kali ditentukan oleh standar yang kita buat berdasarkan apa yang kita lihat di sekitar kita.
Misalnya, jika semua teman kita memiliki mobil baru, kita mungkin merasa perlu memiliki mobil baru juga, meskipun kita sebenarnya sudah puas dengan kendaraan yang kita miliki. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kekayaan objektif yang mutlak. Sebagian besar penilaian kita tentang apa yang seharusnya kita miliki berasal dari perbandingan dengan orang-orang di sekitar kita.
Dalam buku Same as Ever karya Morgan Housel diceritakan, pada tahun 1950-an, masyarakat Amerika merasa lebih bahagia meskipun tingkat pendapatan mereka jauh lebih rendah dibandingkan saat ini.
Salah satu alasan utamanya adalah karena kesenjangan ekonomi yang lebih kecil. Hampir semua orang memiliki tingkat pendapatan yang sama, sehingga tidak ada tekanan sosial untuk menaikkan harapan melampaui pendapatan yang dimiliki. Gaya hidup yang lebih sederhana dan kurangnya eksposur terhadap gaya hidup mewah orang lain membuat orang-orang lebih mudah merasa puas dengan apa yang mereka miliki.
Namun, situasi berubah drastis dengan hadirnya media sosial. Platform seperti Instagram, Facebook, dan TikTok memudahkan kita untuk melihat gaya hidup orang lain dari seluruh dunia. Masalahnya, apa yang kita lihat sering kali hanya versi yang sudah dipoles dari kehidupan seseorang.
Mereka menampilkan momen-momen terbaik, sementara sisi negatif atau kesulitan dalam hidup jarang sekali diperlihatkan. Ini membuat kita terus-menerus membandingkan diri dengan standar yang tidak realistis, sehingga kita merasa kurang bahagia dengan kehidupan kita sendiri.
Ironisnya, media sosial sebenarnya tidak memperkuat komunikasi antar manusia, melainkan lebih fokus pada penampilan. Orang lebih banyak berusaha menampilkan citra diri yang sempurna ketimbang berinteraksi secara tulus.Â