Mohon tunggu...
Rido Nugroho
Rido Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - Public Policy and ESG Enthusiast

Tulisan adalah awal dari perubahan, tulisan dapat memengaruhi pikiran, hati, dan tindakan orang banyak. Semua dimulai dari tulisan untuk merubah dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bahagia Itu Mudah yang Sulit adalah Ingin Lebih Bahagia dari Orang Lain

13 November 2024   06:09 Diperbarui: 13 November 2024   06:12 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://redrose.consulting/

Kebahagiaan sering kali terasa seperti tujuan yang sulit diraih dalam hidup. Namun, aturan pertama untuk mencapai kebahagiaan sebenarnya sangat sederhana: rendahkan harapan. Ketika kita menurunkan ekspektasi kita terhadap berbagai hal dalam hidup, kita cenderung merasa lebih puas dengan apa yang kita miliki dan tidak terlalu terbebani oleh keinginan yang tidak tercapai.

Masalahnya, banyak dari kita tidak hanya ingin merasa bahagia, tetapi juga ingin lebih bahagia daripada orang lain. Hal ini menimbulkan masalah besar karena kita cenderung berpikir bahwa orang lain hidup lebih bahagia dari kita, meskipun kenyataannya belum tentu demikian.

Media sosial sering menjadi panggung di mana orang-orang menampilkan sisi terbaik dari hidup mereka, membuat kita berpikir bahwa mereka memiliki kehidupan yang sempurna. Padahal, apa yang tampak di permukaan tidak selalu mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Akibatnya, kita terjebak dalam lingkaran perbandingan sosial yang tidak berujung dan akhirnya merasa kurang puas dengan hidup kita sendiri.

Kekayaan, kesuksesan, dan kebahagiaan sebenarnya bersifat relatif. Apa yang kita anggap kaya atau sukses sering kali ditentukan oleh standar yang kita buat berdasarkan apa yang kita lihat di sekitar kita.

Misalnya, jika semua teman kita memiliki mobil baru, kita mungkin merasa perlu memiliki mobil baru juga, meskipun kita sebenarnya sudah puas dengan kendaraan yang kita miliki. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kekayaan objektif yang mutlak. Sebagian besar penilaian kita tentang apa yang seharusnya kita miliki berasal dari perbandingan dengan orang-orang di sekitar kita.

Dalam buku Same as Ever karya Morgan Housel diceritakan, pada tahun 1950-an, masyarakat Amerika merasa lebih bahagia meskipun tingkat pendapatan mereka jauh lebih rendah dibandingkan saat ini.

Salah satu alasan utamanya adalah karena kesenjangan ekonomi yang lebih kecil. Hampir semua orang memiliki tingkat pendapatan yang sama, sehingga tidak ada tekanan sosial untuk menaikkan harapan melampaui pendapatan yang dimiliki. Gaya hidup yang lebih sederhana dan kurangnya eksposur terhadap gaya hidup mewah orang lain membuat orang-orang lebih mudah merasa puas dengan apa yang mereka miliki.

Namun, situasi berubah drastis dengan hadirnya media sosial. Platform seperti Instagram, Facebook, dan TikTok memudahkan kita untuk melihat gaya hidup orang lain dari seluruh dunia. Masalahnya, apa yang kita lihat sering kali hanya versi yang sudah dipoles dari kehidupan seseorang.

Mereka menampilkan momen-momen terbaik, sementara sisi negatif atau kesulitan dalam hidup jarang sekali diperlihatkan. Ini membuat kita terus-menerus membandingkan diri dengan standar yang tidak realistis, sehingga kita merasa kurang bahagia dengan kehidupan kita sendiri.

Ironisnya, media sosial sebenarnya tidak memperkuat komunikasi antar manusia, melainkan lebih fokus pada penampilan. Orang lebih banyak berusaha menampilkan citra diri yang sempurna ketimbang berinteraksi secara tulus. 

Hal ini menciptakan budaya di mana kita berlomba-lomba menunjukkan pencapaian kita, meskipun itu mungkin hanya sekadar ilusi atau kepalsuan. Akibatnya, kita sering merasa tertekan dan iri ketika melihat pencapaian orang lain yang tampaknya lebih baik dari kita.

Ekonomi modern menciptakan lebih banyak kekayaan, namun di sisi lain juga meningkatkan kemampuan kita untuk memamerkan kekayaan tersebut, sekaligus menimbulkan rasa iri terhadap kekayaan orang lain. Konsumsi dan gaya hidup sering kali menjadi penanda status sosial yang dipamerkan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. 

Namun, di balik semua itu, rasa iri dan ketidakpuasan yang muncul sering kali lebih besar daripada kebahagiaan yang diperoleh. Pendapatan dan kekayaan yang lebih besar pun sering kali tidak cukup untuk memenuhi harapan yang terus meningkat.

Kita sering kali lupa bahwa hal-hal yang paling berharga dalam hidup sebenarnya tidak dapat diukur dengan uang. Misalnya, kesehatan, penglihatan, hubungan yang baik dengan orang-orang terdekat, dan kebebasan kita adalah hal-hal yang jauh lebih berharga daripada kekayaan materi.

Namun, karena tidak ada transaksi finansial yang terlibat, kita cenderung mengabaikan nilai sejati dari hal-hal tersebut. Kita lebih fokus pada hal-hal yang dapat diukur dan dibandingkan, sehingga kita mengabaikan hal-hal yang sebenarnya membawa kebahagiaan sejati dalam hidup.

Seperti yang diungkapkan oleh Charlie Munger, aturan pertama untuk hidup yang bahagia adalah memiliki harapan yang rendah dan realistis. Jika kita memiliki harapan yang terlalu tinggi, kita akan selalu merasa tidak puas dan merana sepanjang hidup. 

Sebaliknya, dengan menetapkan harapan yang masuk akal dan belajar menerima hasil yang kita peroleh, baik itu yang bagus maupun yang kurang memuaskan, kita bisa menikmati hidup dengan lebih damai dan bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun