ekonomi, impor memiliki interaksi negatif bagi perekonomian suatu negara. Hal ini tercermin dari persamaan untuk menghitung Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara.
Dalam konsep dasarPenjumlahan secara agregat konsumsi rumah tangga (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), ekspor (X) dan dikurang impor (M) atau biasa dikenal dengan persamaan (C+I+G+X-M).
Berdasarkan konsep dasar tersebut impor merupakan satu-satunya aktivitas ekonomi yang dihitung sebagai variabel pengurang dalam perekonomian.
Secara prinsip impor menjadi komponen pengurang dikarenakan saat suatu negara melakukan impor maka negara kehilangan potensi nilai tambah dari aktivitas memproduksi suatu barang untuk diperdagangkan.
Berikut ini contoh transmisinya, misalnya produsen baja nasional yang kalah bersaing dengan baja impor, maka produsen baja nasional akan mengurangi produksinya sehingga jumlah tenaga kerjanya juga akan dikurangi dan berujung pada berkurangnya daya beli para pekerja tersebut dan keluarganya. Â
Meskipun memiliki dampak negatif bagi perekonomian, namun tidak mungkin rasanya suatu negara tidak melakukan impor sama sekali. Bahkan untuk negara produsen terbesar di dunia seperti China sekalipun.
Berdasarkan data Bank Dunia, China memang negara eksportir terbesar di dunia, namun uniknya China juga merupakan negara importir terbesar ke dua di dunia setelah Amerika Serikat.
Indonesia tentu menyadari hal tersebut, sehingga yang dilakukan pemerintah bukanlah melarang atau berhenti impor, melainkan menciptakan keseimbangan supply dan demand barang impor di pasar dalam negeri.
Mungkin ada pertanyaannya, mengapa barang impor yang justru dikirim dari luar negeri kok harganya bisa lebih murah dibandingkan dengan yang diproduksi di dalam negeri ? padahal ada biaya kirim, bahkan sudah dikenakan bea masuk dan pajak impor sekalipun.
Tentunya ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut. Diantaranya skala produksi dalam jumlah besar dan dukungan pemerintahnya untuk membuat biaya produksi bisa menjadi lebih rendah, salah satunya melalui penyediaan harga energi yang murah.
Jumlah barang impor yang masuk dalam jumlah berlebih dengan harga murah pula dapat mendistorsi pasar dalam negeri dan menjadi predator pemangsa pasar industri dalam negeri.
Kalahnya industri dalam negeri di negaranya sendiri merupakan salah satu bentuk kegagalan pasar (market failure). Jika mengacu pada mazhab ekonomi John Maynard Keynes, maka pemerintah harus melakukan intervensi atau campur tangan di pasar untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Intervensi pemerintah mungkin membuat pasar menjadi tidak efisien, masyarakat terpaksa membeli  barang impor dengan harga yang kompetitif. Namun hal ini perlu dilakukan pemerintah untuk memproteksi industri dalam negeri yang memiliki multiplier effect besar bagi perekonomian.
Intervensi Fiskal Kurang Efektif
Pemerintah di berbagai negara termasuk Indonesia telah melakukan intervensi untuk mengatasi dampak negatif dari barang impor, salah satunya dengan intervensi fiskal. Barang impor dikenai bea masuk dan pajak dalam rangka impor.
Beberapa tahun terakhir, bahkan kita melihat negara ekonomi terbesar di dunia yakni Amerika Serikat secara agresif mempraktikan intervensi fiskal dengan menaikan bea masuk yang tinggi untuk barang-barang impor utamanya dari negara China, yang kemudian kita kenal dengan istilah perang dagang.
Lalu apakah Indonesia dapat menerapkan hal serupa untuk melindungi industrinya ? rasanya agak sulit, karena Indonesia telah menjalin berbagai perjanjian perdagangan bebas. Salah satunya Asean-China Free Trade Area (ACFTA).
Kesepakatan antara negara negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan perdagangan barang salah satunya hambatan tarif.
Melalui kesepakatan tersebut, hampir seluruh kelompok barang bea masuknya ke Indonesia menjadi 0 persen, begitu pula sebaliknya untuk barang yang akan di ekspor dari Indonesia ke negara mitra ACFTA.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sekitar 30 persen barang impor di Indonesia berasal dari China. Kondisi ini mengharuskan Pemerintah Indonesia untuk mencari cara lain untuk memproteksi negaranya dari serbuan barang impor.
Lalu mengapa pemerintah tidak sekalian saja melarang impor ?
Karena tindakan tersebut dapat memicu retaliasi (tindakan balasan) dari negara lain untuk barang Indonesia yang akan diekspor ke negara lain yang justru bisa memberikan dampak negatif yang lebih besar bagi stabilitas perekonomian nasional.
Saat memasuki era perdagangan bebas, hambatan tarif seperti bea masuk relatif tidak terlalu efektif untuk membendung masuknya barang impor, karena tarif relatif rendah bahkan hingga 0 persen.
Intervensi Kebijakan Perdagangan
Menyikapi hal tersebut, pemerintah berupaya melakukan intervensi lain yakni Intervensi Kebijakan Perdagangan dengan menerapkan Kebijakan Pengendalian Impor.
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah memang tidak melarang impor. Namun mengatur jenis dan jumlah barang impor yang boleh masuk ke Indonesia, kebijakan ini juga lebih dikenal dengan hambatan non tarif.
Dalam kasus baja misalnya, hanya jenis baja yang tidak diproduksi atau kapasitasnya tidak mencukupi permintaan pasar dalam negeri saja yang diizinkan pemerintah untuk diimpor ke Indonesia.
Selain itu jumlah yang diizinkan pun bergantung pada kapasitas produksi nasional. Hal ini bertujuan agar tercipta keseimbangan supply dan demand di pasar. Sehingga tidak terjadi banjir barang impor yang membuat harga barang yang diproduksi industri dalam negeri tidak jatuh.
Dalam praktiknya, kementerian teknis seperti Kementerian Perindustrian dan Pertanian akan menghitung kapasitas produksi nasional. Kemudian data tersebut akan menjadi salah satu dasar Kementerian Perdagangan untuk memberikan persetujuan jenis dan jumlah barang yang boleh diimpor oleh pelaku usaha.
Pentingnya Pemastian
Kebijakan pengendalian impor tidak bisa berjalan sendirian tanpa pihak yang memastikan kebijakan tersebut terimplementasi sesuai dengan yang diharapkan pemerintah. Keterbatasan jumlah sumberdaya yang dimiliki pemerintah, membuat tugas pemastian biasanya diberikan kepada pihak ketiga.
Pihak ketiga tersebut juga memiliki peran yang krusial, bagaimana mereka harus memastikan jenis dan jumlah barang impor yang diimpor pelaku usaha sesuai dengan perizinan impor yang diberikan pemerintah.
Salah satu contoh praktik dari instrumen pemastian adalah Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor (VPTI). Pada instrumen VPTI Kementerian Perdagangan memberikan mandat kepada pihak ketiga yakni surveyor untuk melakukan pemastian pemenuhan persyaratan impor oleh pelaku usaha.
Namun pihak ketiga yang diberikan tugas pemastian, rawan dengan conflict of interest. Karena biaya jasa pemastian oleh pihak ketiga biasanya dibayarkan oleh pelaku usaha, bukan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang jumlahnya terbatas.
Di satu sisi, penugasan/pekerjaan diberikan oleh pemerintah namun "konsumennya" adalah pelaku usaha. Kondisi ini tentunya harus disikapi pemerintah dengan memberikan penugasan bagi pihak ketiga yang orientasinya national interest dan tidak mementingkan keuntungan semata.
Urgensi Penguatan Industri Manufaktur (Pengolahan)
Perubahan paradigma pembangunan ekonomi nasional perlu dilakukan dari yang selama ini masih mengandalkan perdagangan komoditas bernilai tambah rendah menjadi berbasis kemajuan industri nasional penghasil produk bernilai tambah tinggi.
Jepang dan Korea Selatan menjadi contoh sukses negara yang bertransformasi menjadi negara industri maju karena ditopang industri manufaktur yang kuat. Hal ini mustahil tercapai di Indonesia jika di pasar dalam negerinya saja industri nasionalnya kalah bersaingan dengan barang impor.
Dominasi barang impor di pasar dalam negeri dikhawatirkan memicu perubahan paradigma pelaku usaha di Indonesia, mereka lebih memilih berinvestasi di sektor jasa/perdagangan dibandingkan membangun industrinya di Indonesia.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukan komposisi realisasi penerimaan investasi sektor jasa 50,9 persen (2018), 57,5 persen (2019), dan 55,5 persen (2020).Â
Padahal, tahun 2016, investasi sektor manufaktur tercatat Rp 335,8 triliun (54,8 persen), di atas sektor jasa Rp 188 triliun (30,7 persen). padahal sektor manufaktur penyerap tenaga kerja (padat karya) dibandingkan sektor jasa (padat modal dan teknologi).
Padahal data BPS menunjukkan struktur tenaga kerja berdasarkan pendidikan per 2019 masih didominasi lulusan SD (40,51 persen) dan SMP (17,75 persen).Â
Lulusan universitas dan diploma hanya 9,75 persen dan 2,82 persen. Komposisi tenaga kerja dengan pendidikan rendah sulit masuk ke sektor jasa dan lebih terserap di sektor manufaktur.
Belum lagi pada 2030 Indonesia diprediksi akan mencapai bonus demografi. Berdasarkan kajian Bappenas, jumlah penduduk usia produktif diproyeksikan mencapai puncak pada 2030, yakni 64 persen dari total penduduk 297 juta jiwa.Â
Bonus demografi hingga 2030 menjadi momentum baik menuju kemajuan dan kesejahteraan atau bisa pula berujung petaka ekonomi berupa membeludaknya pengangguran.
Terakhir, orkestra Kebijakan Pengendalian Impor harus terus dioptimalkan pemerintah untuk melindungi industri manufaktur nasional dan menuju tahap selanjutnya untuk mendorong lahirnya industri manufaktur yang membawa Indonesia keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah (Middle Income Trap).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H