Mohon tunggu...
Ridhowati Saputri
Ridhowati Saputri Mohon Tunggu... Freelancer - Saat ini bekerja sebagai penulis Lepas

Mantan Wartawan koran Harian di wilayah Probolinggo

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dunia entertainment bermasalah, Pelaku Kejahatan seksual diberi panggung

5 September 2021   18:35 Diperbarui: 5 September 2021   20:54 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DEMI RATING : Hanya demi rating, tayangan televisi dan hiburan menayangkan kebebasan predator sex seperti pahlawan. Sebuah ironi di Indonesia.

Sudah sejak lama dunia hiburan di Indonesia memiliki masalah yang rumit dan sulit diuraikan bahkan oleh netizen Indonesia yang selama ini dikenal bar-bar. Namun peristiwa yang baru-baru ini terjadi, membuat saya sebagai perempuan menjadi marah dan kecewa dengan kualitas bisnis entertainment yang hanya sekedar melihat profit tanpa melihat dampak sosial secara luas.

Bagaimana tidak seorang laki-laki dengan status residivis dengan kasus Pelecehan seksual anak ketika dibebaskan dari penjara malah disambut seperti atlet olahraga peraih medali emas di Olimpiade. Ironis tapi demi rating segala sesuatu akan dilakukan bahkan ketika melawan namanya nurani bagi korban pelecehan seksual.

Sudah banyak sebenarnya akun tik-tok, Instagram yang menyuarakan ketidakberesan ini. Namun banyak juga orang yang membela kembali eksisnya S ketika tampil di muka publik. Dengan alasan S sudah menjalani hukuman penjara, untuk apa dihukum kembali atas perbuatannya.

Pernyataan-pernyataan seperti ini menandakan bahwa orang Indonesia masih menganggap remeh kasus pelecehan seksual. Dianggap kasus pelecehan seksual sama dengan kasus pencurian barang, perampokan dimana korban kehilangan barang. Padahal Kasus pelecehan seksual jauh lebih berat dampaknya bagi korban daripada kasus pencurian barang dan perampokan .

Di saat yang hampir bersamaan, Komisi Penyiaraan Indonesia (KPI) saat ini juga sedang bergelut dengan masalah oknum pegawainya yang diduga tersangkut kasus pencabulan kepada sesama karyawan. Sehingga menjadi sebuah tanda tanya bagi masyarakat termasuk saya, bagaimana dan kemana kita harus melaporkan siaran televisi yang menayangkan kembali residivis pelaku pencabulan anak dalam siaran Televisi ?

Meremehkan kasus pelecehan seksual

Orang Indonesia masih memiliki kecenderungan menganggap remeh kasus pelecehan seksual. Bahkan ketika terjadi kasus pelecehan seksual, yang disalahkan bukan pelakunya. Namun justru korban pelecehan seksual yang dianggap memancing seksualitas bagi pelaku.

Namanya suatu perbuatan kejahatan, maka yang pantas dan harus disalahkan adalah pelaku. Terlepas apakah dia memiliki trauma masa lalu sehingga melakukan perbuatan yang sama seperti yang pernah dialami, tetap pelaku yang salah ketika pelecehan seksual terjadi. Bukan menjadikan korban sebagai sumber kesalahan, itu terbalik. Namun orang Indonesia masih memandang korban sebagai penyebab sampai terjadinya pelecehan seksual.

Terbukti ketika ada berita kasus perempuan diperkosa, komentar netizen di Indonesia rata-rata hampir sama. "Makanya pakai hijab jangan baju seksi", "Makanya perempuan jangan pulang malam", dan berbagai pesan yang menyudutkan korban.

Pelecehan seksual ada berbagai macam jenisnya. Tidak hanya pemerkosaan, pelecehan juga bisa terjadi dalam bentuk verbal dan visual. Korban yang mengalami tidak hanya remaja dan dewasa, bahkan tidak sedikit bayi dan balita yang juga menjadi korban.

Artinya korban adalah mereka yang berada dalam relasi hubungan yang lemah pelaku.  Mereka tidak memiliki kemampuan untuk melawan terhadap tindakan cabul mau pun tindakan seksual yang tidak diinginkan. Korban pelecehan seksual ini bisa dialami dari berbagai gender baik laki-laki, perempuan bahkan transgender.

Bahkan pernah ada berita yang saya baca di media online, berita tentang kasus pemerkosaan perempuan yang mengakibatkan trauma mendalam pada korban. Justru ayah pelaku ingin korban dinikahkan dengan anaknya demi agar anaknya bisa bebas dari kasus hukum. Beruntung orang tua korban menolak usulan menikahkan anaknya. Sehingga proses hukum pun terus berlanjut.

Menikahkan korban pemerkosaan dengan pelaku pemerkosaan bukan solusi tapi justru menjadi malapetaka bagi korban pemerkosaan. Resiko yang harus ditanggung selain luka batin dan trauma yang tidak sembuh, jika setelah menikah tinggal di rumah suaminya yang notabene adalah pelaku pemerkosaan maka dia akan ikut dirundung oleh keluarga pelaku. Justru korban yang dianggap sebagai perusak masa depan pelaku, akhirnya mental korban akan semakin rusak.

Mengapa orang Indonesia memiliki kecenderungan meremehkan kasus pelecehan seksual ?

Banyak faktor sebenarnya hal ini terjadi, namun yang paling utama adalah orang Indonesia cenderung menganut sistem Patriarki. Patriarki adalah sistem sosial  yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasan  dan mendominasi dalam peran politik, pemerintahan, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. 

Dalam tingkatan pribadi, Budaya patriarki ini adalah pemicu munculnya berbagai tindakan kekerasan dari laki-laki kepada perempuan. Hal ini tidak lepas karena laki-laki merasa diistimewakan oleh masyarakan sehingga merasa memiliki hak untuk mengekspolitasi tubuh perempuan.

Orang tua mengajarkan kepada anak-anak tanpa bekal pendidikan seks. Sehingga anak-anak tidak paham apa yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain padanya.  Hanya beberapa tahun terakhir ini pendidikan seks pada anak diajarkan karena banyak kasus kejadian pelecehan seksual pada anak-anak baik anak perempuan dan anak laki-laki. Bahkan pelaku pelecehan seksual pada anak, pelakunya tidak jarang dari orang terdekat. Seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, kakak, mau pun tetangga.

Saat saya masih SD, ada trend yang berkembang saat itu  anak laki-laki menempatkan kaca dibagian atas sepatunya. Kemudian sepatu itu ditempatkan dibawah rok anak perempuan sehingga celana dalam anak perempuan terlihat dari kaca. Dulu hal ini terlihat lucu, padahal ini sebenarnya adalah bentuk pelecehan seksual. Guru dan orang tua seharusnya mengajarkan  dan emmberikan pemahaman sejak dini tentang seksualitas. 

Seksualitas bukan hal yang tabu untuk dipelajari, malah wajib diajarkan karena situasi anak-anak saat ini jauh berbeda dengan masa 20 tahun yang lalu. Tentunya mengajarkan seksualitas kepada anak harus dilihat tingkat usia anak untuk mencerna dan memahaminya.

Terjadinya kasus pelecehan seksual dari laki-laki kepada anak laki-laki seperti kasus artis S bisa terjadi karena pertama  kemungkinan pernah mengalami peristiwa yang sama.  Kedua bisa juga karena pengaruh dari luar seperti tontonan video porno yang menampilkan hubungan seksualitas laki-laki dewasa dengan anak-anak. 

Namun meskipun mereka pernah menjadi korban, ketika dia menjadi pelaku maka tidak ada pembenaran apapun atas perilakuknya. Jangan pernah membandingkan kasus pelecehan seksual yang pernah dialaminya, dengan kasus kejahatan seksual yang dihadapinya karena berbeda obyek yang mengalami kerusakan dan dampaknya.

Kasus kejahatan seksual memiliki dampak tidak hanya fisik korban, namun yang paling berbahaya adalah dampak mental. Bahkan bisa jadi korban di masa depan akan menjadi pelaku kasus kejahatan seksual yang baru jika tidak mendapatkan penanganan dan pendampingan psikologi.

Dunia entertainment yang banyak diakses oleh masyarakat dari berbagai usia, gender dan kelompok masyarakat lebih baik tidak memberikan tempat bagi pelaku kejahatan seksual untuk tampil di depan publik. Bukan untuk membatasi rejeki orang lain, tapi jangan sampai dengan ditampilkannya pelaku kejahatan seksual orang menganggap remeh masalah perlindungan seksual. 

Di masa depan orang-orang akan menjadikan kasus S sebagai contoh bahwa di Indonesia a pelaku kejahatan seksual bisa diterima kembali oleh publik. Tanpa mempertimbangkan aspek korban yang mengalami trauma karena dilecehkan. Bahkan beberapa media online membuat judul yang lucu tentang bebasnya S.

Berhati lembut, S tak dendam pada pria muda yang menjebloskannya ke penjara.

S disebut tak dendam ke DS remaja yang membuat dirinya dipenjara, Netter ngakak.

Kenapa pelaku malah merasa jadi korban ? Dia pelaku kejahatan seksual yang seharusnya memang wajar dipenjara, tapi kenapa malah dia yang merasa tidak dendam. Padahal dendam itu seharusnya milik korban yang dicabuli, bukan pelaku. 

Buat teman-teman sesama artis S yang saat ini tampil dalam berbagai acara keartisan baik di TV atau pun media sosial  seperti Podcast, pertimbangkan lagi untuk membawa dia sebagai bintang tamu. Jangan hanya tertarik untuk mendapatkan keuntungan viral yang sifatnya sementara, tapi mari anda ikut serta  mendidik masyarakat untuk lebih paham soal kejahatan seksual.

Bahwa hukum tidak hanya hukum positif yang telah dia jalani sebagai pelaku kejahatan. Namun ada hukuman sosial yang juga harus dijalani yaitu tidak lagi menjalankan profesinya sebagai publik figur. Publik figur tidak hanya sekedar viral saja tapi mereka yang bisa memberikan contoh dan kebiasaan yang baik ke masyarakat.

Pertanyaannya, CONTOH APA YANG BISA DITIRU MASYARAKAT DARI PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL ??

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun