Mohon tunggu...
RIDHOTUL WAHIDAH
RIDHOTUL WAHIDAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi unpam

saay seoraang mahasiswi yang ditugaskan untuk membuat jurnalsebagai tugas akhir di semesster 2 hobi saya basket dan bernyanyisekian terimakasih.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pernikahan Dini dan Pancasila: Alasan Saya Memilih Tidak Pacaran

30 Desember 2024   19:10 Diperbarui: 30 Desember 2024   16:34 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sering kali saya ditanya, "Kenapa kamu nggak pacaran?" Pertanyaan yang terdengar biasa, namun memiliki makna yang sangat dalam bagi saya. Jawaban saya bukan hanya sekadar pilihan hidup, tetapi juga sebuah perjuangan melawan realitas yang sering kali penuh dengan rasa sakit dan luka. Saya memilih untuk tidak pacaran bukan karena ingin terlihat berbeda, tetapi karena saya memahami dampak buruk dari fenomena pernikahan dini yang menghancurkan banyak kehidupan, terutama generasi muda.

Sebagai seseorang yang besar di Nusa Tenggara Barat (NTB), daerah dengan angka pernikahan dini tertinggi di Indonesia, saya menyaksikan langsung bagaimana pacaran sering kali menjadi pintu masuk menuju pernikahan dini yang tak diinginkan. Di NTB, sekitar 25% hingga 30% pernikahan yang terjadi merupakan pernikahan dini, dengan sebagian besar di antaranya melibatkan perempuan usia di bawah 18 tahun (Badan Pusat Statistik NTB, 2021). Data ini menunjukkan betapa tingginya angka pernikahan dini di daerah ini, yang sebagian besar dipicu oleh pola hubungan pacaran yang tidak sehat.

Remaja yang terjebak dalam hubungan pacaran terlalu dini sering kali kehilangan arah hidup. Mereka terbawa dalam perasaan yang mereka anggap cinta, namun tanpa bekal kedewasaan yang cukup. Kehamilan di luar nikah menjadi konsekuensinya, memaksa mereka meninggalkan pendidikan dan menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh beban. Menurut Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTB, lebih dari 40% remaja yang menikah di NTB melaporkan bahwa mereka tidak siap secara mental dan emosional. Hal ini sering kali berujung pada perceraian atau kekerasan dalam rumah tangga.

Hidup dalam Lingkaran Tak Berujung

Di NTB, banyak remaja menikah di usia sangat muda karena terjebak dalam hubungan yang salah. Sebagian dari mereka harus berhenti sekolah hanya untuk menikah. Namun, apa yang mereka temui setelah itu? Kebahagiaan? Sayangnya tidak. Sebagian besar berakhir dengan penderitaan, terpaksa menjadi ibu muda yang harus membesarkan anak seorang diri atau menjadi janda muda yang hidup dalam kemiskinan. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), lebih dari 60% anak perempuan yang menikah dini mengalami tekanan mental dan fisik yang berat.Keputusan saya untuk tidak pacaran adalah langkah untuk memutus lingkaran ini. Saya ingin menunjukkan bahwa ada jalan lain, jalan yang lebih penuh harapan.

Solusi untuk Mengatasi Pernikahan Dini dan Perilaku Merusak

Untuk keluar dari lingkaran pernikahan dini dan perilaku destruktif, ada beberapa langkah yang harus kita ambil:

Pendidikan yang BerkualitasPendidikan adalah kunci utama.

Dengan pendidikan yang baik, pola pikir dapat diubah, dan pintu kesempatan menjadi lebih luas. Berdasarkan penelitian UNESCO, negara dengan tingkat pendidikan perempuan yang lebih tinggi memiliki angka pernikahan dini yang lebih rendah. Oleh karena itu, akses pendidikan bagi remaja, terutama perempuan, harus diperluas.

Pendampingan dan Konseling

Remaja dan pasangan muda perlu bimbingan dari keluarga, guru, dan konselor yang dapat membantu mereka memahami konsekuensi jangka panjang dari hubungan yang tidak sehat. Penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan mental juga penting agar mereka bisa membuat keputusan yang lebih bijaksana.

Memberikan Role Model Positif

Contoh yang baik, baik dari keluarga maupun masyarakat, akan membantu remaja melihat alternatif yang lebih baik dalam hidup mereka. Figur publik yang menunjukkan bagaimana menjaga diri dan membangun masa depan yang cerah juga bisa menjadi inspirasi.

Pemberdayaan Perempuan

Perempuan harus diberi kesempatan yang setara untuk mengakses pendidikan, pekerjaan, dan dukungan yang mereka butuhkan untuk meraih tujuan hidup mereka. Ini adalah langkah penting untuk mengubah paradigma yang salah.

Mengubah Stigma Negatif

Kita perlu mengubah stigma bahwa menjaga kehormatan diri adalah sesuatu yang kuno. Kampanye positif yang menunjukkan bahwa menjaga diri adalah prestasi akan membantu membentuk norma baru yang lebih sehat.

Meningkatkan Peran KeluargaKeluarga adalah fondasi utama.

 Dukungan orang tua yang mendorong pendidikan dan komunikasi terbuka akan membantu remaja membuat keputusan yang lebih baik.

Kaitannya dengan Nilai-nilai Pancasila

Keputusan saya untuk tidak pacaran berakar pada nilai-nilai luhur Pancasila:

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila Kedua)

Pernikahan dini merampas hak remaja untuk berkembang. Dengan menolak pernikahan dini, kita menegakkan prinsip kemanusiaan yang adil, memberikan setiap individu hak untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Persatuan Indonesia (Sila Ketiga)

Pernikahan dini dan perilaku destruktif memecah belah persatuan bangsa. Dengan melawan arus ini, kita menciptakan masyarakat yang lebih seimbang dan bersatu.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila Kelima)Dengan melawan pernikahan dini, kita mendukung keadilan sosial agar setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk hidup lebih baik. 

 

 

 

Kesimpulan

Pernikahan dini bukan takdir. Kita bisa mengubahnya dengan melawan arus, mengutamakan pendidikan, dan memilih masa depan yang lebih cerah. Keputusan saya untuk tidak pacaran adalah langkah kecil untuk keluar dari siklus kehancuran. Mari bersama memilih jalan hidup yang penuh harapan dan keberanian, menciptakan masa depan yang lebih gemilang bagi generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun