Kota Jakarta baru-baru ini mencatatkan hasil yang cukup mencengangkan dimana indeks kualitas udara terburuk nomor empat di dunia dengan kualitas udara yang tercatat oleh Air Quality Index (AQI) mencapai angka 156 dan masuk pada kategori udara yang tidak sehat. Situs ini juga merekomendasikan agar mengenakan masker, menutup jendela dan mengurangi aktivitas di luar ruangan.
Bukan hanya pencemaran udara saja yang terjadi di Jakarta, namun juga pencemaran sampah di lautan juga menjadi sebuah permasalah serius terkait dengan lingkungan hidup. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2020 wilayah lautan Indonesia sudah tercemar oleh sekitar 1.772,7 gram sampah per meter persegi (g/m2). Jenis sampah yang paling banyak ditemukan adalah sampah plastik, dengan bobot seberat 627,80 g/m2. Jumlah itu memiliki proporsi 35,4% dari total sampah di laut Indonesia pada 2020.
Terkait dengan berbagai macam problematika lingkungan hidup, faktor penyebab salah satunya adalah cara manusia memandang alam itu sendiri. Semenjak renaissance atau masa pencerahan terjadi di Eropa Barat dari abad ke-16, terjadi perubahan yang signifikan antara hubungan manusia dan alam semesta dan konsep inilah yang dijelaskan oleh A.S. Keraf dan Fritjof Capra dalam buku yang berjudul "Filsafat dan Lingkungan Hidup".
Selain itu, dalam karya tersebut menjelaskan tentang pembahasan awal filsafat yang masih bertumpu pada hubungan manusia dan alam semesta yang bersifat organis atau sebagai kesatuan yang tak terpisahkan yang kemudian setelah masa renaissance yang dimana sebuah masa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga menyingkirkan peran dari alam semesta sebagai kesatuan organis.
Akibatnya, relasi manusia dan alam semesta menjadi relasi yang reduksionistis. Alam semesta dinilai manusia hanya sebagai "alat" dalam mencapai tujuan umat manusia. Oleh sebabnya, terdapat perubahan paradigma atau cara pandang manusia terhadap lingkungan hidup dari kosmosentris yang berpusat pada alam semesta menjadi antroposentris atau berpusat pada manusia.
Paradigma antroposentris, pandangan bahwa manusia berada di pusat dan memiliki nilai tertinggi dalam alam semesta, telah lama menjadi landasan budaya dan pemikiran dominan dalam masyarakat modern. Dalam konteks ekologi, paradigma antroposentris dapat dianggap sebagai pandangan bahwa alam hanya berfungsi sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan manusia tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Pandangan ini telah menyebabkan krisis ekologi yang semakin meningkat.
Krisis ekologi merupakan hasil dari kerusakan dan degradasi lingkungan alam yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Dalam era industri modern ini, manusia telah mengubah ekosistem alam secara drastis melalui deforestasi, polusi, perubahan iklim, dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Krisis ekologi yang terjadi ini kemudian mengancam keberlanjutan planet dan keselamatan serta kesejahteraan manusia itu sendiri.
Kuasa antroposentris telah menyebabkan manusia mengabaikan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Sebagai contoh, manusia seringkali mengambil sumber daya alam secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kemampuan regenerasi alam. Eksploitasi berlebihan ini mengakibatkan kehancuran ekosistem, kepunahan spesies, dan kerusakan lingkungan yang tak dapat diperbaiki.
Krisis ekologi juga berdampak negatif terhadap manusia itu sendiri. Perubahan iklim yang disebabkan oleh pelepasan gas rumah kaca dan polusi udara menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti peningkatan penyakit pernapasan serta dapat menimbulkan penurunan kualitas air dan pangan. Selain itu, berkurangnya sumber daya alam juga dapat menyebabkan kemiskinan, migrasi massal, bahkan sampai terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat.
Dalam menghadapi krisis ekologi ini, pergeseran dari pandangan antroposentris menuju pandangan yang lebih holistik dan ekosentris menjadi semakin penting. Pendekatan ekosentris mengacu pada pandangan atau sikap yang menempatkan lingkungan alam dan ekosistem sebagai fokus utama.
Maka dari itu, paradigma ekosentris menekankan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan menghargai nilai intrinsik semua bentuk kehidupan, bukan hanya manusia. Ini mengharuskan kita untuk berpikir lebih jauh dari sekadar kepentingan manusia dan mempertimbangkan dampak setiap tindakan terhadap planet ini dan makhluk-makhluk yang menghuninya.